Monday, August 20, 2012

Rangkuman buku "Mengenal Hukum"

RANGKUMAN BUKU “MENGENAL HUKUM” KARANGAN PROF . DR . SUDIKNO MERTOKUSUSMO S.H
 BAB I 
 Manusia dan Masyarakat Hukum tidak lepas dari kehidupan manusia. 

Setiap manusia mempunyai kepentingan. Dari sejak kecil beranjak dewasa serta menjelang saat dia meninggal dunia kepentingannya berkembang. Untuk itu ia memerlukan bantuan manusia lain. Dengan kerja sama dengan manusia lain akan lebih mudahlah keinginannya tercapai atau kepentingannya terlindungi. Ia akan lebih kuat menghadapi ancaman-ancaman terhadap kepentingannya, yang dengan demikian akan lebih terjamin perlindungannya apabila ia hidup dalam masyarakat, yaitu salah satu kehidupan bersama yang anggota-anggotanya mengadakan pola tingkah laku yang maknanya dimengerti oleh sesama anggota. Kehidupan bersama masyarakat tidaklah didasarkan pada adanya beberapa manusia secara kebetulan bersama, tetapi didasarkan pada adanya kebersamaan tujuan. Masyarakat tidak akan membiarkan manusia individual berbuat semau-maunya, sehingga merugikan masyarakat. Masyarakat itu merupakan tatanan social psikologis. Manusia akan berusaha dan akan merasa berbahagia apabila ia dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat. Bila tidak berhasil menyesuaikan diri ia akan merasa kecewa dan sedih karena ia merasa sebagai seorang yang tidak dikehendaki. Sudah menjadi sifat pembawaannya bahwa manusia hanya dapat hidup dalam masyarakat. Manusia adalah zoon politikon atau mahluk social. Manusia dan masyarakat merupakan pengertian komplementer. Kontak dapat berarti hubungan yang menyenangkan atau menimbulkan pertentangan atau konflik. Gangguan kepentingan atau konflik haruslah dicegah atau tidak dibiarkan berlangsung terus, karena akan mengganggu keseimbangan tatanan masyarakat. Oleh karena itu, keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu haruslah dipulihkan ke keadaan semua ( restitution in integrum = kembali ke keadaan semula). Jadi, manusia didalam masyarakat memerlukan perlindungan kepentingan. Perlindungan kepentingan itu tercapai dengan terciptanya pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Pedoman, patokan atau ukuran untuk berperilaku atau bersikap dalam kehidupan ini disebut norma atau kaedah social. Dengan kaedah social ini hendak dicegah gangguan-gangguan kepentingan manusia, akan dapat dihindarkan bentrokan antar kepentingan, akan diharapkanterlindungi kepentingan-kepentingan manusia. Kaedah social ini ada yang berbentuk tulis ada pula yang lisan yang merupakan kebiasaan yang diteruskan dari generasi-generasi.

BAB II 
 KAEDAH-KAEDAH SOSIAL 

Kaedah social berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia didalam masyarakat . Tata kaedah tersebut terdiri dari kaedah kepercayaan atau keagamaan, kaedah kesusilaan, kaedah sopan santun dan kaedah hukum, yang dapat dikelompokan seperti berikut : tata kaedah dengan aspek kehidupan pribadi yang dibagi lebih lanjut menjadi kaedah kepercayaan atau keagamaan dan kaedah kesusilaan. Selanjutnya tata kaedah dengan aspek kehidupan antar pribadi yang dibagi lebih lanjut menjadi kaedah sopan santun atau adat dan kaedah hukum. Kaedah kepercayaan atau keagamaan Kaedah kepercayaan atau keagamaan ditujukan kepada kehidupan beriman. Kaedah ini ditujukan terhadap kewajiban manusia kepada Tuhan dan kepada dirinya sendiri. Sumber-sumber asal kaedah ini adalah ajaran-ajaran kepercayaan atau agama yang oleh pengikutnya dianggap sebagai perintah Tuhan. Kaedah kepercayaan atau keagamaan ini bertujuan penyempurnaan manusia oleh karena kaedah ini ditujukan kepada umat manusia dan melarang manusia melakukan perbuatan jahat. Kaedah kesusialaan Kaedah kesusialaan berhubungan dengan manusia sebagai individu karena menyangkut kehidupan pribadi manusia. Sebagai pendukung kaedah kesusilaan adalah nurani individu dan bukan manusia sebagai mahluk social atau sebagai anggota masyarakat yang terorganisir. Kaedah ini dapat melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi mencegah kegelisahan diri sendiri. kaedah kesusialaan ini ditujukan kepda umat manusia agar terbentuk kebaikan akhlak pribadi guna penyempurnaan manusia dan melarang manusia melakukan perbuatan jahat. Kalau terjadi pelanggaran kaedah kesusilaan, misalnya pencurian atau penipuan, maka akan timbulah rasa malu, takut, merasa bersalah, sebagai sanksi atau reaksi terhadap pelanggaran kaedah kesusilaan. Kaedah sopan santun, tata karma atau adat Kaedah sopan santun ditujukan kepada sikap lahir pelakunya yang konkrit demi penyempurnaan atau ketertiban masyarakat dan bertujuan menciptakan perdamaian, tata tertib atau membuat “sedap” lalu lintas antar manusia yang bersifat lahiriah. sopan santun lebih mementingkan yang lahir atau yang formal : pergaulan, pakaian, bahasa. Bahkan tidak hanya ditujukan kepada sikap lahir saja, tetappi seringkali sudah puas dengan sikap semu, atau pura-pura saja. Jadi tidak semata –mata menghendaki sikap batin. Sopan santun menyentuh manusia tidak semata-mata sebagai individu, tetapi tetapi sebagai manusia, sehingga menyentuh kehidupan bersama. Kaedah kesusialaan dan kaedah sopan santun dirasakan belum cukup memuaskan sebab: masih banyak kepentingan-kepentingan manusia lainnya yang memerlukan perlindungan, tetapi belum mendapatkan perlindungan dari ketiga kaedah social tersebut dan kepentingan-kepentingan manusia yang telah mendapatkan perlindungan dari ketiga kaedah tersebut tapi belum cukup terlindungi.

 BAB III 
 KAEDAH HUKUM 

 Telah diketahui bahwa disamping kaedah kepercayaan atau keagamaan, kaedah kesusilaan dan kaedah sopan santun masih diperlukan kaedah hukum. Kaedah hukum ditujukan terutama kepada palakunya yang konkrit, yaitu di pelaku pelanggaran yang nyata-nyata berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia, melainkan untuk ketertiban masyarakat agar masyarakat tertib, agar jangan sampai jatuh korban kejahatan, agar tidak terjadi kejahatan. Kaedah hukum mengutamakan perbuatan lahir. Pada hakikatnya apa dibatin, apa yang difikirkan manusia tidak menjadi soal. Yang penting adalah bahwa lahirnya, apa yang tampak dari luar, ia patuh pada peraturan lalu lintas. Kaedah hukum berasal dari luar diri manusia. Masyarakatlah secara resmi diberi kuasa untuk member sanksi atau menjatuhkan hukuman. Kaedah hukum dan kaedah social lainnya Kaedah hukum dapat dibedakan dari kaedah kepercayaan, kaedah kesusilaan dan sopan santun, tetapi tidak dapat kepisahan, sebab meskipun ada perbedaannya ada pula titik temunya. Antara kaedah kepercayaan atau kegamaan dan hukum banyak titik temunya. Pasal 29 UUD misalnya menjamin kebebasan beragama bagi setiap pendudukan . Pembunuhan, pencurian, perzinahan tidak dibenarkan oleh kedua kaedah itu. Batas yang tajam tidak dapat ditarik antara antara kaedah kesusilaan dan kaedah hukum. Kesusialaan sering melarang beberapa perbuatan tertentu yang oleh hukum sama sekali tidak dihiraukan, sepertinya misalnya berbohong, kumpul kebo atau hidup bersama tanpa nikah. Sebaliknya kadang-kadang hukum membolehkan apa yang dilarang oleh kesusilaan. Contohnya : suto menggugat noyo yang hutang uang kepadanya, tetapi tidak melunasinya. Hakim dalam putusannya menolak gugatan suto, karena dianggap tidak terbukti. Menurut hukum karena gugatan suto ditolak oleh pengadilan, maka noyo tidak perlu memenuhi kewajibannya melunasi hutangnya kepada suto. Apabila gugatan ditolak oleh pengadilan, maka menurut hukum tergugat tidak ada kewajiban apa-apa terhadap penggugat. Tetapi kesusilaan tidak membebaskan orang yang hutang dari kewajibannya melunasi hutangnya. Hukum itu sebagian besar merupakan peraturan kesusilaan yang oleh penguasa diberi sanksi hukum : perbuatan-perbuatan pidana yang diatur dalam KUHP hampir seluruhnya merupakan perbuatan-perbuatan yang berasal dari kaedah kesusilaan atau kepercayaan. Hukum menurut legalitas, yang berarti bahwa yang dituntut adalah pelaksanaan atau penataan kaedah semata-mata, sedangkan kesusilaan menurut moralitas, yang berarti bahwa dituntut adalah perbuatan yang didorong oleh rasa wajib. Kaedah hukum berisi kenyataan normative (apa yang seyogyanya dilakukan) : das Sollen dan bukan berisi kenyataan alamiah atttau peristiwa konkrit : das sein. Dalam hukum yang penting bukanlah apa yang terjadi , tetapi apa yang seharusnya terjadi. Contohnya dihukumnya pencuri bukanlah merupakan akibat pencurian. Orang tidak dihukum karena (sebagai akibat) mencuri, tetapi pencuri harus dihukum berdasarkan undang-undang yang melarangnya. Disini tidak berlaku hukum sebab akibat. Telah dikemukakan bahwa kaedah hukum itu bersifat pasif. Agar kaedah hukum itu tidak berfungsi pasif dan berfungsi aktif maka diperlukan “rangsangan”. Rangsangan untuk mengaktifkan kaedah hukum adalah peristiwa konkrit ( das Sein ). Karena kaedah hukumlah peristiwa konkrit itu menjadi peristiwa hukum. Peristiwa hukum adalah peristiwa yang relevan bagi hukum, peristiwa yang oleh hukum dihubungkan dengan timbulnya atau lenyapnya hak dan kewajiban. Peristiwa konkrit (das Sein) untuk menjadi peristiwa hukum memerlukan das Sollen. Lazimnya yang dianggap merupakan beda yang menonjol antara kaedah hukum dengan kaedah social lainnya ialah sanksinya. Sanksi terhadap pelanggaran kaedah hukum dapat dipaksakan, dapat dilaksanakan diluar kemauan yang bersangkutan, bersifat memaksa. Kalau dikatakan bahwa sanksi pada kaedah hukum itu bersifat memaksa atau menekan ini tidak berarti bahwa sanksi terhadap pelanggaran kaedah social lainnya sama sekali tidak bersifat memaksa atau menekan. Dalam upacara bendera misalnya semua karyawan berseragam Korpri. Kalau ada seorang karyawan yang tidak berseragam Korpri maka ia akan merasa kikuk atau tidak tenang. Ketaatan pada kaedah hukum bukan semata-mata didasarkan pada sanksi yang bersifat memaksa, tetapi karena didorong oleh alasan kesusilaan atau kepercayaan. Jadi sanksi hanyalah merupakan akibat dan tidak merupakan tidak cirri hakiki hukum. Tidak setiap kaedah hukum disertai sanksi. Kaedah hukum tanpa sanksi ini disebut lex imperfecta. Ketentuan yang tercantum dalam pasal 298 BW misalnya, yaitu bahwa seorang anak berapapun umurnya wajib menghormati dan menyegani orang tuanya, merupakan lex imperfect. Ketentuan ini tidak ada sanksinya. Tidak semua pelanggaran kaedah dapat dipaksakan sanksinya. Beberapa kewajiban tidak dapat dituntunt pemenuhannya menurut hukum secara paksa. Ini terjadi misalnya dengan kewajiban yang berhubungan dengan apa yang dinamakan perikatan alamiah ( obligato naturalis, natuurlijke verbintenis), suatu perikatan yang tidak ada akibat hukumnya. Ini terjadi misalnya pada kewajiban yang timbul dari perjanjian mengenai permainan dan pertaruhan, yang lebih dikenal dengan perjudian. Sekalipun pada umumnya kaedah hukum itu disertai sanksi namun tidak terhadap semua pelanggaran kaeddah hukum dikenai sanksi.
Hukum dan kekuasaan Yang dapat memberi atau memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaedah hukum adalah penguasa, karena penegakan hukum dalam hal ada pelanggaran adalah monopoli penguasa. Hukum ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sahlah yang dapat menciptakan hukum. Jadi hukum bersumber pada kekuasaan yang sah. Didalam sejarah tidak jarang kita jumpai hukum yang tidak bersumber pada kekuasaan yang sah atau kekuasaan yang menurut hukum yang berlaku sesungguhnya tidak berwenang. Revolusi misalnya merupakan kekuasaan yang tidak sah dan sering merupakan kekerasan atau kekuatan fisik. Sebaliknya hukum sendiri adalah kekuasaan. Kalau dikatakan bahwa hukum itu kekuasaan tidak berarti bahwa kekuasaan itu hukum.
Eigenrichting Telah diketengahkan di muka bahwa pelaksanaan sanksi adalah monopoli penguasa. Perorangan tidak diperkenankan melaksanakan sanksi untuk untuk menegakan hukum. Memukul orang yang telah mengingkari janji atau menipu diri kita merupakan tindakan menghakimi sendiri aksi sepihak atau eigenritching. Dasar psikologis dari Hukum Hukum merupakan bagian internal dari kehidupan bersama. Kalau manusia hidup terisolir dari manusia lain, maka tidak akan terjadi sentuhan atau kontak bagi yang menyenangkan maupun yang merupakan konflik. Dalam keadaan semacam itu hukum tidak diperlukan. Didalam masyarakat walau bagaimanapun primitifnya manusia selalu menjadi subjek hukum menjadi penyandang hak dan kewajiban.
Hukum dan etik Yang menjadi tolak ukur adalah melanggar kaedah hukum atau tidakkesalahan orang diukur dengan kenyataan apakah ia melanggar kaedah hukum atau tidak.kalau melanggar kaedah hukum itu salah kalau tidak melanggar tidak salah. Pada hakekatnya yang tidak melanggar kaedah hukum itu baik, yang melanggar itu buruk. Telah dikemukakan bahwa asas hukum itu didukung oleh pikiran bahwa dimungkinkan memisahkan antara baik dan buruk. Karena itulah kaedah hukum itu disebut juga kaedah etis.

No comments:

Post a Comment