Sunday, November 18, 2012

MENGENAL TOKOH: Luhut Pangaribuan


           LUHUT Pangaribuan dikenal luas sebagai seorang advokat ketika kerap muncul dalam wawancara di televisi dalam kapasitas sebagai penasihat hukum Presiden Abdurrahman Wahid. Bicaranya lancar dan jernih, tutur katanya halus tapi di sana-sini masih terdeteksi timbre Batak, pikirannya runtut dan strategis, terasa segudang referensi hukum menancap di benaknya.
Namun, di kalangan pembaca surat kabar, nama ini sudah terbaca sejak pertengahan tahun 1982 ketika membela tertuduh dalam sidang orangtua memakan anaknya di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Intensitas pemberitaan di surat-surat kabar yang menyertakan perannya sebagai pembela meningkat sejak pertengahan dasawarsa 1980-an ketika ia jadi pembela dalam perkara Tanjungpriok dan pemboman BCA. Yang ia bela sejak itu banyak dari kaum papa yang berhadapan dengan negara dan kekerasannya; juga politikus, aktivis, dan mahasiswa yang oleh rezim Orde Baru dianggap sebagai pembangkang. Advokat Lembaga Bantuan Hukum Jakarta ini kemudian sering dikutip pers sebagai otoritas dalam bidang hukum maupun dalam gerakan memperjuangkan masyarakat sipil. Pada tahun 1992 ia diundang ke New York untuk menerima Anugerah Hak-hak Asasi Manusia dari Lawyer Committee for Human Rights. Waktu itu ia duduk semeja dengan Bianca Jagger, mantan istri penyanyi rok Mick Jagger. Selama 18 tahun ia bekerja di LBH Jakarta dan, karena itu, ia lebih dikenal sebagai seorang advokat aktivis. Tahun 1997 ia meninggalkan LBH kemudian membuka Kantor Pengacara LMPP dan menjadi advokat individual. Keluarga Luhut Marihot Parulian Pangaribuan adalah “keluarga Fakultas Hukum UI”. Ia bersama istri dan ketiga anaknya semua kuliah di Fakultas Hukum UI. Istrinya Rosa Agustina T. Sopearno bahkan dosen di sana. Ia menerima P. Hasudungan Sirait dan Nabisuk Naipospos dari TATAP di kantornya di bilangan Kuningan, Jakarta untuk sebuah wawancara akhir Oktober lalu.
             Berikut nukilannya. Mengapa anda menjadi advokat?
             Saya sebenarnya nggak mau jadi advokat. Ketika masih SMA, saya justru ingin menjadi hakim sebab bapak saya seorang panitera. Dia panitera, bisa berbahasa Belanda, dan sekelas dengan Midian Sirait di SD berbahasa Belanda di Narumonda. Panitera adalah amtenar, pegawai negeri, dulu sangat terhormat, sekarang saja dianggap hanya sebagai jurutulis semata. Dalam konteks Balige dulu, menjadi amtenar adalah sebuah kebanggaan sebab kontras dengan orang kebanyakan yang adalah petani. Saya bangga sebagai anak seorang panitera dan ingin lebih tinggi dari bapak saya. Sebagai anak seorang panitera, saya sesekali pergi ke pengadilan menyaksikan sidang. Saya lihat di pengadilan, hakim itu berwibawa. Dia masuk, semua pada berdiri. Dia ngomong, semua harus diam dan minta izin kepadanya bila hendak berbicara. Jadi, itulah yang pertama: saya ingin jadi hakim. Keinginan yang kedua, saya mau jadi seniman, tepatnya pelukis, sebab saya suka melukis. Ingin masuk ASRI Yogya. Cuma, dalam masyarakat Batak, menjadi pelukis itu aib dan tak jelas. Pedagang saja aib, kok. Yang benar adalah amtenar. Akhirnya saya masuk Fakultas Hukum karena mau jadi hakim. Saya diterima kuliah di Fakultas Hukum UI pada tahun 1975.
             Kemudian masuk LBH dan tak pernah jadi hakim? Tunggu dulu, cerita tentang melamar jadi hakim belakangan. Diterima di UI, saya tinggal di Asrama UI di Pegangsaan Timur, kuliah di kampus Rawamangun. Setiap hari sebelum naik bemo menuju Rawamangun, saya jalan kaki dulu dari asrama ke samping RSCM, persimpangan Jalan Kimia dan Jalan Diponegoro. Di depannya persis gedung LBH. Waktu itu LBH masih berusia enam tahun. Pemberitaan mengenai LBH di surat kabar sedang gencar-gencarnya. Di dalamnya ada semangat, ada cita-cita. LBH sedang naik daun. Saya bilang di dalam hati, saya mau kerja di LBH. Ini yang kemudian merangsang saya jadi advokat. Tapi, bukan advokat di luar LBH, melainkan advokat di dalam LBH. Begitu lulus dari UI tahun 1981, saya diterima di LBH dan ketemu Adnan Buyung Nasution. Nggak ada proses. Dua tahun sebelumnya saya memang sudah jadi asisten advokat, yang berhubungan dengan LBH. Waktu itu YLBHI baru terbentuk, sementara LBH sudah berusia lebih dari sepuluh tahun. Nah, saya diterima menjadi sekretaris eksekutif Dewan Pengurus YLBHI selama tiga bulan.
              Waktu itu pengurusnya Bang Buyung, Ali Sadikin, dan Princen. Anda diterima tanpa tes? Lazimkah saat itu? Untuk jadi sekretaris eksekutif Dewan Pengurus YLBHI, saya diterima tidak melalui tes. Untuk jadi pembela umum, saya kemudian tes. Saya bilang ke Bang Buyung, “Bakat saya jadi advokat, bukan jadi sekretaris atau menangani manajemen.” “Maksudmu apa?” kata Bang Buyung. Saya jawab, “Mau tes.” Dia bilang, “Ya, teslah.” Saya lulus. Mulailah jadi pembela umum LBH. Kapan melamar jadi hakim? Ketika testing jadi hakim, saya sudah beberapa bulan bekerja di LBH. Tes pertama, yaitu tes tertulis, di Senayan. Lulus. Nggak pernah ngomong kepada siapa pun untuk dibantu lulus. Jadi, memang ada sekian persen yang lulus murni. Waktu itu sudah punya nama? Belum, wong baru lulus. Ini akhir 1981. Belum siapa-siapalah, orang kebanyakanlah. Terus tes wawancara. Saya kebagian jam 3. Saat itu, sebagai pembela umum LBH, saya menangani kasus pembunuhan di Penjara Cipinang dengan pesta narkoba. Kasus ini terkenal. Mungkin saya ceritakan dulu kasus ini sebelum menjawab anda tentang melamar jadi hakim. Saya ditugaskan membela dan pergi ke Cipinang. Saya tanya [pelakunya], centeng dari Jawa Timur. Panggilannya si Macan. Saya tanya, “Kenapa kamu berkelahi?” Itulah, Pak, pesta. “Pesta apa?” Pesta narkoba. Ada yang mau bebas. “Lo, di sini, ada narkoba?” Ya, Pak. “Apa?” Heroin. “Yang benar, kamu. Kamu bisa beli?” Bisa. Lalu, saya minta duit kepada Tuty Hutagalung, bendahara LBH waktu itu. “Mbak Tuty, saya mau duit, mau beli narkoba.” Dia kasih. Saya berpikir lagi, kalau saya beli di sana, keluar dari sana ketahuan, bisa-bisa dianggap narkoba itu saya bawa dari luar. Gimana caranya? Saya bawalah wartawan Pos Kota, Terbit, dan Sinar Pagi. Berempat kami menemui si Macan. Ketemu si Macan, saya bilang, “Mana barangnya?” Dia kasih. Wartawan melihat dan besoknya dimuat di koran. Dipecat itu orang-orang penjara. Nah, saat tes wawancara untuk jadi hakim, saya datang sekitar pukul 3.30. Terlambat setengah jam. “Lo, sudah terlambat!” kata pewawancara. Mungkin dia berpikir, mau masuk jadi hakim, tes datang terlambat. Ditanya, “Kenapa terlambat?” Mulai pintar ngarang. Saya bilang, “Maaf, Pak, soalnya ini darurat.” Daruratnya apa? “Tadi saya bawa heroin.” Bingung lagi mereka. Saya bilang, “Menurut UU, kalau saya pegang heroin, itu menyimpan. Saya harus serahkan kepada Kapolda.” Padahal, saya menyerahkan heroin itu kepada polisi saja, bukan Kapolda. Mereka tertarik. Itulah jadinya topik wawancara. Setelah kisah heroin itu, mereka bertanya, “Kamu sudah jadi pengacara, untuk apa lagi melamar jadi hakim?” Saya bilang, “Beda, Pak! Kalau jadi hakim, saya bisa membuat hukum. Kalau jadi pengacara, saya nggak bisa membuat hukum. Kalau ingin perubahan, kita harus jadi hakim supaya bisa membuat hukum.” Itulah singkatnya. Pendeknya, saya menguasai pembicaraan. Setelah panjang lebar ngomong, salah satu pewawancara yang psikolog minta saya menggambar pohon. Yang saya ingat, di dalam formulir pendaftaran ada gambar beringin. Saya gambar saja itu, lengkap dan bagus, apalagi saya pintar gambar. Saya tahu kemudian dari seorang petugas, salah satu penguji bilang, “Dari pagi kita mewawancarai, ini yang cocok jadi hakim.” Jadi, saya sudah lulus begitu keluar dari ruang wawancara dan saya tidak pernah berkomunikasi dengan siapa pun untuk bisa lulus. Sampai dapat SK dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1983, saya tidak pernah pergi ke Departemen Kehakiman. SK itu diantar oleh pegawai ke asrama sebab saya masih tinggal di asrama. Dalam SK itu, saya ditempatkan di Pontianak. Tapi, saya nggak pernah pergi sebab sudah sangat menjiwai pekerjaan di LBH. Tahun 1986 saya dipanggil oleh Departemen Kehakiman, mau dikenakan PP 30 karena tidak menjalankan tugas. Direktur Teknis Peradilan, Bu Halimah, bilang, “Kenapa saudara tidak pergi? Ada laporan dari ketua Pengadilan Tinggi.” Saya jawab tidak keberatan ditempatkan di Pontianak. Tapi, saya tidak ada rumah di sana, tidak punya uang, sementara saya punya istri dan satu orang anak. Gaji saya menurut SK cuma Rp 28.200. Tidak diberi ongkos, rumah tak dikasih, dan air di sana katanya beli. Di sana kan rawa-rawa. Akhirnya tak jadi hakim? Setelah bekerja di LBH, saya berpikir jadi hakim itu nggak mungkin, deh. Dari gaji, saya tidak mungkin hidup. Bagaimana bisa dengan Rp 28.200 menghidupi istri, anak, bahkan diri sendiri? Dari dulu saya sudah berpikir, mungkin tertanam di bawah sadar, ya, kalau kita menerima pekerjaan, terima segala risikonya. Artinya, kalau gajimu sedikit, terimalah segitu. Saya bilang saya tidak mungkin hidup dengan gaji segitu, ya, saya tidak terima pekerjaan itu. Saya ingat tulisan Satjipto Rahardjo yang intinya menyarankan supaya psikolog menciptakan modul-modul tes untuk penerimaan pegawai negeri yang dapat menyaring mereka yang bersedia hidup sederhana. Ada cita-cita jadi hakim, tapi dengan pertimbangan harus menerima risiko hidup sederhana, saya tidak ambil itu. Kemudian saya jadi advokat. Saya menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Saya mulai dengan asisten advokat tahun 1979, kemudian diterima resmi tahun 1981 di LBH, sampai kemudian semua kedudukan yang ada di LBH pernah saya jabat, kecuali jadi ketua YLBHI. Seluruhnya 18 tahun ketika saya meninggalkan LBH dan YLBHI pada tahun 1997. Terakhir saya direktur LBH. Akhirnya, di ujung itulah muncul PBHI. Mengapa muncul PBHI? Masing-masing punya alasan. Hendardi, Mulyana, dan saya dapat dukungan dari Mochtar Lubis meski Mulyana kembali ke YLBHI. Saya jadi ketua majelis nasional untuk PBHI selama dua periode. Selama 18 tahun di LBH, kasus apa yang paling menarik menurut anda yang pernah anda tangani? Saya pernah baca di beberapa media, dan diulangi oleh seorang pejabat DKI, bahwa Ali Sadikin mengatakan, “Kalau ditanya siapa advokat yang terhebat di dunia, saya jawab itu Luhut Pangaribuan.” Saya kaget. Artinya, saya punya banyak kesempatan di LBH dan saya berusaha maksimal dengan segala talenta yang ada pada saya membuat kasus itu mendapat perhatian orang banyak sehingga bisa diselesaikan. Secara kategoris kasus-kasus itu menyangkut politik Islam, mahasiswa, sampai yang individual. Salah satu kasus sehubungan dengan politik Islam adalah perkara Tanjungpriok. Coba tanya A.M. Fatwa. Saya cukup lama menangani kasus Tanjungpriok. Yang menemukan seluruh tersangka pertama kali itu adalah saya, di daerah Kelapadua. Ada tahanan politik di situ. Saya bertemu dengan semua tokoh itu. Beberapa kali kesempatan saya diminta jadi jurubicara Keluarga Amir Biki untuk berbicara dengan wartawan, terutama wartawan asing, karena saya begitu intens menangani kasusnya. Kasus menarik lain yang saya tangani adalah H.R. Darsono dan Bang Buyung dalam contempt of court. Yang paling seru waktu menangani Fatwa. Saya mau berkelahi benaran dengan hakim, juga dengan jaksa Bob Nasution. Bob berteriak waktu Fatwa mau dibawa, “Siapa yang menghalang-halangi, saya katakan ini melawan UU.” Saya bilang, “Atas nama hak asasi manusia, saya bawa dia karena sakit ke Rumah Sakit Islam.” Ada tarik-menarik. Tapi sekarang, kalau saya ketemu dengan Bob Nasution, cium pipi saya dia itu. Kira-kira sebulan yang lalulah. Fatwa akhirnya bisa saya bawa ke RS Islam sebab dia pingsan. Memang sandiwara, maksud saya dibuat. Yang tahu sandiwara itu dulu kami bertiga saja: Fatwa, istrinya, dan saya. Dari mulai mencari obat supaya dia mencret sampai kemudian supaya dapat keterangan dokter. Advokat lain tidak tahu. Saat itu tarik-menarik waktu, sebentar lagi Fatwa bebas demi hukum. Yang namanya pledoi cuma sehari. Tiba-tiba ia mencret, pingsan, dibawa ke klinik pengadilan. Kebetulan ada dokter Bariah di sana sedang menangani kasus pembunuhan. Hampir ketahuan sandiwara ini ketika dr. Bariah membuka matanya kemudian menyenternya. Fatwa melawan waktu matanya dibuka. Berarti, nggak pingsan. Untung dia tanggap waktu saya bilang, “Jangan, Pak!” Akhirnya dia bisa masuk RS Islam, dibawa dengan ambulans. Baik Abdul Hakim Garuda Nusantara maupun Denny Kailimang tidak tahu ini. Saya ngomong begini karena Fatwa sudah membukanya waktu peluncuran bukunya di Hotel Shangrila. Imam Prasodjo mengatakan waktu itu: kalau begitu, kurang nilai perjuangan Fatwa ini. Mengapa anda mau menciptakan sandiwara itu? Waktu itu saya melihat perkara ini perkara jadi-jadian, perkara politik. Kedua, ada peluang mencari bebas demi hukum. Dia tahanan dan waktu itu sudah ada KUHAP. Kasus menarik lain? Kasus si Macan di LP Cipinang yang tadi saya ceritakan. Dari situ orang percaya bahwa kejahatan dan pelanggaran hukum yang paling banyak terjadi berlangsung di LP. Mulyana bilang, “Kalian advokat itu berhenti di pintu penjara, padahal di penjara begitu banyak persoalan hukum.” Kemudian kasus yang menyangkut tokoh-tokoh mahasiswa: Budiman Sudjatmiko dan PRD (termasuk Romo Sandyawan), mahasiswa ITB yang dipecat Rudini seperti M. Fadjroel Rachman dan Syahganda Nainggolan, lalu Bonar Tigor Naipospos di Yogya. Selama 18 tahun di LBH dan YLBHI sepertinya anda tak pernah berhenti? Dalam 18 tahun itu saya nonstop. Anak saya tiga. Satu pun saya tak ikut menunggui istri waktu kelahiran mereka. Waktu itu saya di Manado, kemudian di Bogor dalam kasus Johnny Sembiring. Pikiran kami dulu di YLBHI: kalau kami nggak bekerja, dunia Indonesia itu seolah-olah berhenti.
               Lalu, mengapa anda berhenti dari LBH dan YLBHI, kemudian jadi advokat individual?
               Tidak terasa, ketika bekerja di YLBHI, ternyata sampai tahun 1997 saya masih menumpang di rumah mertua. Ada cerita yang lucu, mungkin mukjizat dalam kaca mata rohani. Waktu membela Romo Sandyawan, anak saya yang pertama diterima di SMP Kanisius. Perlu uang empat juta rupiah. Saya nggak punya duit. Dari mana? Gaji saya di YLBHI tak sampai satu juta. Bahkan, ketika saya keluar dari YLBHI tahun 1997 gaji saya Rp 900 ribu sekian, tak sampai Rp 1 juta. Istri saya dosen di UI. Nggak ada uang segitu. Nah, kami rapat di Driyarkara dalam rangka membela Romo Sandyawan. Hadir Gubernur Serikat Yesus, Pastor Danu. Dari balik pintu dia memanggil saya dan kasih duit. Saya tanya, “Untuk apa?” Tarik-tarikan, akhirnya duit pindah ke tangan saya. Jumlahnya Rp 4 juta. Itu yang saya pakai mendaftar anak saya di Kanisius. Dari pastor ke pastor. Ini mukjizat. Saya kira mereka tidak ada komunikasi. Kemudian saya sakit, batu di empedu, operasi di Cikini, tapi tidak sukses dalam arti, malah kemudian penyumbatan semakin banyak. Akhirnya dokter bilang harus direparasi. Ada yang mengusulkan ke Belanda, tapi saya tidak punya duit. Di situlah saya mulai merenung. Saya mulai kesulitan uang untuk berobat di rumah sakit, kesulitan membiayai sekolah anak yang sudah mulai besar-besar. Di sini pun datang mukjizat. Saya tertolong hanya karena satu omongan dari Sidney Jones. Dia bilang, “Luhut, kau coba pergi ke Kedutaan Belanda karena waktu Gus Dur berobat ke Australia, dia dapat bantuan dari Kedutaan Australia. Mungkin kedutaan punya dana untuk itu.” Saya disarankan ke Kedutaan Belanda. Waktu itu sekretaris politiknya saya kenal. Saya telepon mau ketemu dengannya dan cerita mengenai kesehatan saya. Dia bilang, nggak ada dana di Kedutaan, “Tapi tiket bisa saya kasih.” Jadi sudah dapat dua tiket KLM untuk saya dan istri. Dia bilang akan coba kirim saya ke Den Haag. Terus kemudian ada pendeta di sana yang mau menolong. Rupanya kawan-kawan NGO sudah mengabarkan. Begitu saya sampai di Belanda, pendeta ini menjaminkan depositonya untuk pengobatan saya. Saya tak kenal pendeta ini, tak pernah ketemu. Jadi ini berkat omongan Sidney Jones. Selama 18 tahun, apa strategi anda sebagai advokat? Saya nggak tahu, ya. Mungkin ada talenta dan punya motivasi. Saya kira banyak kasus yang saya tangani yang mendorong lahirnya Undang-Undang tentang legal standing. Dulu saya lawyer Walhi untuk menggugat Indorayon. Ketika itu Bupati J.P. Silitonga dan mantan Dubes Indonesia untuk Australia August Marpaung mau berkelahi tentang hutan lindung. Legal standingnya diterima, di mana-mana dikutip, itu yang kemudian menjadi substansi dalam Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup. Selalu ada kreasi-kreasi, termasuk juga waktu saya mendampingi Bang Buyung dan Yap Thiam Hien dalam kasus contempt of court. Mungkin sudah ada motivasi, ada talenta, kemudian ada kesempatan. Kebetulan di LBH itu, bantuan hukum itu ada aspek politiknya. Tidak hanya teknis saja apa yang disebut dengan konsep bantuan hukum struktural. Jadi, kami tak hanya menyembuhkan penyakitnya, tapi juga sebab musbabnya. Itu sebabnya jadi serba keras. Kami tidak hanya menyerang—kalau perkara itu antara jaksa dan advokat—tapi juga siapa yang membuat perkara ini. Kasus-kasus politik lebih banyak dan pemerintah yang membuat perkara ini. Jadi, kami berhadap-hadapan dengan pemerintah. Makanya ada di antara orang-orang LBH yang lebih radikal ditahan. Bang Buyung, Princen, dan Yap pernah ditahan. Saya termasuk penganut Suardi Tasrif: advokat walau melawan jangan sampai ada alasan untuk menahannya. Kalaupun melawan-lawan, saya tak pernah ditangkap.
               Menurut anda, model pengacara seperti apa yang cocok di negeri ini?
               Sebenarnya model advokat dengan bantuan hukum di LBH itu mungkin yang cocok. Pertanyaannya, apakah advokat seperti itu bisa bertahan hidup secara individu. Saya terus terang lebih suka bekerja di LBH dibandingkan dengan pekerjaan saya sekarang sebagai advokat individual karena, sebagai advokat individual, saya lebih terbatas. Sementara itu, sebagai advokat bantuan hukum itu tidak terbatas dalam arti, kita memikirkan hukum atau kebaikan hukum di Republik ini.
               Kenapa?
               Karena hanya dengan pendekatan yang lugas, terus terang, dan langsung itu kemudian yang bisa mengubah [keadaan] ke arah yang lebih baik. Masalahnya, sebagai personal, sebagai individu, saya harus hidup. Menjelang keluar dari LBH sepuluh tahun lalu, saya bilang kepada The Jakarta Post dalam wawancara, ternyata orang tidak bisa hidup hanya berdasarkan idealisme sebab dengan idealisme, saya sudah membuktikan tidak bisa membeli obat, membayar rumah sakit, tidak bisa melunasi uang sekolah anak saya. Oleh karena itu, saya harus mencari uang, kemudian saya ada di kantor ini. Tapi, sebagai pembawa perubahan, advokat individual itu sangat terbatas karena dibatasi oleh kepentingan klien. Kami tak boleh mengatakan jangan peduli dengan kepentingan klien, jangan didikte, hukum dong yang terutama. Itu tidak feasible, itu nonsense. Bahwa setiap orang punya kepentingan, itu sah. Bahwa kepentingannya itu dispute, itu soal yang kedua. Mungkin di situlah kami perlahan-lahan, tapi karena perlahan-lahan itulah perubahan jadi lambat. Kepentingan klien itu sah-sah saja. Tidak berarti kami dengan sendirinya pegawai si klien. Ada keseimbanganlah di sana, tapi ini yang membuat jadi lambat. Yang diperlukan langsung, kami bikin jadi tak langsung.
            Ada nggak ukuran sejauh mana kepentingan klien dibela seorang advokat?
            Memang ada kode etik advokat. Kode etik itu lebih ke tataran etika, sanksinya abstrak. Lebih pada kesadaran yang bersangkutan. Memang dikatakan semakin tinggi kode etik suatu profesi, semakin mulialah profesi itu. Walaupun ada nonsense-nya. Berkaca dari situ, advokat kurang memperhatikan kode etik karena kode etik mengatakan harus mendahulukan kepentingan hukum, kepentingan masyarakat, tidak menangani perkara yang tidak ada dasarnya. Posisi advokat di Indonesia dalam kaitan dengan penegak hukum lain—hakim, jaksa—bagaimana? Formil dalam Undang-Undang Advokat dikatakan bahwa advokat sekarang penegak hukum walaupun menurut saya, secara konseptual itu tidak pas. Yang namanya menegakkan hukum itu to enforce the law. Advokat tidak enforce the law sebab bila enforce the law, dia harus memiliki alat-alat kekerasan seperti senjata, pentungan, borgol, dan penjara. Advokat tak punya itu. Yang punya itu adalah polisi atau negara. Lagi pula, sistem peradilan kita juga tidak memberi tempat yang memadai bagi pengacara. Cara bekerja hukum di negeri ini masih didominasi negara; polisi, jaksa, dan hakim masih mendominasi. Dalam banyak hal, menurut saya, advokat itu masih ornamen. Karena strukturnya begitu, maka tak banyak sebenarnya yang bisa langsung dilakukan oleh advokat. Hakim kita sangat monopoli. Di Amerika hakim pasif. Di sini hakim aktif. Aktif tidak hanya bertanya di pengadilan, tapi juga menentukan kesalahan dan hukuman. Di AS yang menentukan adalah juri, yang berasal dari masyarakat. Di pengadilan kita, hakim bisa bilang, “Jaksa cukup ya, jangan bertanya lagi”; “Advokat sudah cukup, ya, jangan bertanya lagi.” Posisi advokat di Amerika apakah lebih leluasa? Ya, sebab di sana untuk menemukan keadilan, dua yang merasa benar itu diadu, ya seperti cerita Salomo dan bayi di dalam Alkitab. Untuk mengetahui anak siapa yang diperebutkan masing-masing, Salomo mengadu kedua ibu yang masing-masing mendaku bahwa bayi itu anaknya. Singkatnya, konsep mereka [Amerika], kebenaran itu muncul dari percikan, dari tubrukan, seperti api. Di Indonesia: berunding, modelnya seminar, seperti musyawarah untuk mufakat. Jadi, peran advokat di Amerika besar. Kalau kita lihat sejarah, advokat itu diadakan karena perkembangan hak-hak asasi manusia. Kalau tak ada advokat, nanti dikritik. Tapi dalam arti struktur, masih belum ada tempat sebenarnya bagi advokat. Di sana sudah merupakan bagian. Posisi organisasi advokat sendiri, dari Peradin sampai yang sekarang ini, bagaimana? Yang pernah dicatat berperan cukup lumayan dalam konstelasi pembangunan hukum di Republik ini adalah Peradin. Yang masih saya ingat, kontribusi Peradin yang pertama adalah ketika membela orang-orang PKI yang sudah dianggap manusia tidak berguna. Mereka [Peradin] bersuara lantang sehingga kemanusiaan orang itu terangkat: bagaimanapun perbedaan politik, mereka manusia di hadapan hukum. Kontribusi kedua ialah mendorong hak-hak asasi manusia menjadi substansi [peraturan perundang-undangan] di Republik ini. Ide tentang Mahkamah Konstitusi datang dari Peradin. Saya ingat persis: di awal 1980-an, waktu MPR bersidang, Peradin yang dimintai pendapat memasukkan ide Mahkamah Konstitusi. Juga ide-ide tentang hak-hak asasi manusia di dalam KUHAP berasal dari Peradin. Setelah itu, yang ada adalah kesibukan mengurus diri sendiri. Muncul Ikadin, muncul AAI, masing-masing belum terkonsolidasi, muncul Peradi. Yang pasti, organisasi-organisasi itu masih dalam proses konsolidasi, belum ada yang substansial mereka gagasi. Artinya, advokat itu belum terkonsolidasi dalam satu organisasi yang melakukan suatu gerakan nyata dalam perubahan hukum di Republik ini. Belum! Harus dalam satu wadahkah advokat itu? Bukan itu yang saya maksud, tapi mereka terkonsolidasi dalam satu organisasi masing-masing sebab sekarang malah diperlukan organisasi advokat berdasarkan spesialiasi, misalnya yang menyangkut hukum pasar modal, hak atas kekayaan intelektual, dan sebagainya. Baik. Apakah anda melihat korelasi kemahiran orang Batak bicara dengan profesi advokat yang mereka pilih? Itu harus dicek. Saya tak tahu apakah itu kesan atau fakta. Dugaan saya itu adalah kesan, seolah-olah Batak mendominasi profesi advokat. Apakah betul? Coba lihat persentasenya. Cukup banyak. Di daftar AAI DKI hampir 20 persen Batak? OK, tapi nanti harus dilihat periodisasinya. Saya kira ada hubungannya dengan bagaimana praktik-praktik diskriminasi dalam masyarakat kita sekarang ini, lo. Ini ada kaitannya dengan politik kontemporer di Indonesia sekarang. Ketika memasuki wilayah-wilayah publik sekarang ini, kita ditanya, “Kamu datang dari mana?” Maka, keterbatasan masuk wilayah publik menyebabkan orang memilih masuk wilayah privat. Jadi, ada hubungannya saya kira, ketika belakangan ini hampir tersumbat pintu memasuki wilayah-wilayah publik, pilihan menjadi tidak banyak. Dari segi jumlah, saya amat-amati bahwa kesempatan yang semakin rendah untuk memasuki wilayah publik memaksa kita mencari alternatif di wilayah privat. Seperti yang dialami orang Cina—mungkin ini bisa jadi blessing in disguise untuk kita—mengapa masyarakat Cina bisa menguasai ekonomi Indonesia ini. Menurut saya, faktor yang terbesar adalah karena kita mendiskriminasi orang Cina. Dulu tak bisa terbayang Cina jadi menteri. Belakangan ada. Pernahkah kita membayangkan kepala sekolah, Kapolsek, lurah itu Cina? Buat kita hal itu aneh karena pikiran kita sudah terjajah. Jadi, yang terbuka buat dia adalah sektor privat. Ia meninggikan entrepreneurship-nya sehingga dia mahir di sana. Nah, dalam situasi negara semakin memberi kesempatan kepada swasta, dia semakin mendominasi karena dia sudah punya sejarah panjang. Justru orang Batak tidak mendukung ke arah partikelir ini. Saya punya pengalaman untuk menjelaskannya. Ketika saya SD di Balige, setiap sore jam 3 ada orang Cina menjual bakpao naik sepeda. Waktu kecil saya melihat makanan itu enak sekali, tapi saya tak punya duit. Bapak saya pegawai negeri. Tak ada uang jajan. Makan hanya boleh di rumah. Hari Minggu uang diberikan untuk kolekte, maka saya rajin ke gereja walau pas kolekte saya kabur supaya uang itu bisa dipakai untuk jajan. Entah dari mana gagasan ini datang. Saya bilang kepada Li Kiung, tukang bakpao itu, “Kalau saya bantu jual bakpao, saya dapat apa?” Kamu mau? Kalau kamu jual tiga, dapat satu. Karena tak mau sendiri berjualan, saya ajak tetangga, keponakan Midian Sirait itu. Kami berjualan mula-mula tanpa sepengetahuan orangtua, hingga suatu kali ketahuan oleh bapak teman saya itu. “Kamu jadi partiga-tiga,ya?” Partiga-tiga itu aib rupanya. Rendah. Sekolah kamu tinggalkan. Jangan ikutin dia itu. Saya kebetulan tak ketahuan orangtua saja. Sekolah dan amtenar itu terhormat. Saya kira itu umum pada masyarakat Batak. Saya tidak melihat ada budaya Batak yang potensial membuat dia mahir berprofesi sebagai advokat. Barangkali betul bahwa orang Batak selalu bicara, tapi yang namanya advokat tidak sekadar bicara, tapi drafting juga. Harus hati-hati mengambil kesimpulan bahwa ada budaya orang Batak yang mendukung keberhasilannya menjadi advokat. Hipotesa bisa, tapi belum tentu bisa jadi teori. Tapi, dari dulu Fakultas Hukum favorit bagi orang Batak. Cukup banyak orang Batak di jurusan itu? Ya, mereka jadi hakim, jadi jaksa, bukan advokat. Saya kira masih hipotesa budaya Batak berpotensi jadi advokat sebab advokat itu lebih entreprenuer, lebih mandiri, sementara kita masih amtenar. Bagaimana dengan kemahiran marhata? Itu kalau anda batasi advokat dalam urusan litigasi saja, tapi advokat itu drafting juga, bukan ngomong tok, tidak hanya di pengadilan. Secara umum bagaimana anda melihat advokat Batak. Ada yang khas? Saya nggak tahu apakah ini khas. Yang pasti, sama juga seperti yang lain, saya malah—kalau kita berbicara uang dalam hukum—curiga budaya uang ini ikut berpengaruh. Ini misalnya dengan pinggan panungkunan. Dulu pinggan itu berisi sirih, sekarang duit. Kalau itu dipraktikkan di pengadilan, salah lagi ‘kan? Uang do na mangatur sude hukum on. Jadi saya nggak tahu, mungkin budaya dalam arti negatif. Nggak tahu. Anda kelihatannya jauh dari kelompok pengacara Batak itu? Kimianya lain saya kira, tapi saya juga say hello kepada mereka. Mungkin ada segi-segi yang membedakan. Yang pasti soal background. Saya 18 tahun penuh dengan ideologi, perjuangan, dan lagu-lagu kebangsaan. Mereka itu kan branded, merek-merek terkenal. Mereka sudah bicara Versace dan sebagainya, saya masih dengan lagu kebangsaan. Jadi agak beda. Kalau saya melihat Otto Hasibuan dulu selagi saya masih di LBH, mobilnya Honda Civic, saya masih dengan lagu “Maju tak Gentar”. Sekarang tentu sudah bukan itu lagi mobilnya Advokat sering dikaitkan dengan mafia peradilan. Seperti apa situasinya? Orang mungkin akan langsung cenderung pada oknum, mentalitas yang rendah. Saya melihatnya karena kemacetan sistem. Sistem peradilan kita sudah cukup lama macet. Otomatis: di mana ada kemacaten, di situ ada jasa. Sederhana saja, macet lalulintas Jakarta , ada polisi cepek. So simple situasinya. Nggak tahu nanti dari yang anda wawancara, di antara advokat ada yang bilang apakah saya salah dengan cerita ini. Seorang advokat mengatakan tentang para penegak hukum lain: mereka bergaji kurang, saya tambahi gajinya; mereka bahagia, anak mereka bahagia. Apa yang salah? Tentu saja dia ngotot bisa obyektif. Itu nonsense. Nggak mungkin bisa obyektif. Saya kebetulan ikut beberapa tim untuk perancangan Undang-Undang. Di antara anggota tim itu ada pejabat tinggi. Salah satu menceritakan pengalamannya ketemu dengan seorang advokat. “Bang, ini ada perkara. Ada duitnya. Kita bagi dua saja; buat abang separo, buat saya separo.” Itu dia bilang. Di mana obyektifnya begitu? Nonsense. Saya tidak melihat hal ini sebagai imoralitas, tapi lebih sebagai kemacetan sistem. Sistem kita sendiri sudah tidak mampu membaca—kalau diumpamakan sebagai software—instruksi, apa yang dia lakukan. Itu yang terjadi sekarang. Saya ada contoh ketika menjadi anggota tim seleksi untuk Komisi Yudisial. Ada seorang bekas Kapolda, saya kira, ditanya. “Pak, gaji anda berapa?” Disebutkanlah sebab semua sudah tahu berapa sebenarnya gajinya. “Olahraga Bapak apa?” Golf. “Sudah berapa tahun?” Sudah 20 tahun. “Lo, bapak gaji segini kok bisa main golf.” Dibayarin orang. Makanya, banyak hakim agung main golf. Duitnya dari mana? Ya, seperti Kapolda tadi: dibayarin. Pertanyaan saya, “Emangnya ada yang gratis? Dua puluh tahun dibayari golf, emang ada yang gratis?” Begitulah. Maksud saya banyak yang kontradiktif dan tak ada satu kebijakan atau pemikiran ke arah pembenahan itu. Kalau sidak-sidak, itu nonsense. Nah, keadan hari ini macet dan tidak ada yang menyadari, apalagi memikirkan bagaimana supaya tidak macet. Apa menurut anda obat untuk kemacetan ini? Tentu saya tidak berpretensi punya jawaban yang sudah jadi. Paling tidak, saya menyadarinya, bisa menjelaskan bahwa kemacetan memang sudah terjadi. Sederhana saja: coba ambil satu putusan di pengadilan. Baca apa yang dikatakan jaksa dalam rekuisitor, dakwaan, pleidoi; apa berita acara polisi; apa yang ada di berita acara pengadilan! Nggak nyambung itu! Diktum-diktumnya tidak nyambung dengan apa yang dibicarakan. Ada pengalaman saya ketika jadi asisten advokat semasa mahasiswa dulu. Saya membuat pleidoi dan, menurut saya, itu pleidoi terbaik di dunia. Saya dengan serius mengikutinya di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Perkaranya sumir sehingga langsung diputuskan seketika itu juga. Terus hakim baca putusan: “Menimbang pleidoi dari penasihat hukum yang pada pokoknya meminta supaya membebaskan terdakwa…” Padahal, saya tidak bilang membebaskan terdakwa dalam pleidoi itu. Nggak nyambung ‘kan? Begitulah saya kira keadaannya. Lalu, saya baca puluhan putusan Mahkamah Agung. Itu copy-paste. Pertimbangannya copy-paste. Nah, itulah sebabnya tidak ada yurispudensi tetap. Masih ngutip Regentschapsgerecht gitu. Tak ada dikutip menurut Mahkamah Agung Republik Indonesia, padahal sudah 62 tahun merdeka. Macetnya sistem hukum atau sistem peradilan membuat banyak jasa ekstra. Itulah yang kita sebut sebagai mafia peradilan. Semakin pintar dia menunjukkan jalan (seperti di Puncak kalau macet jalur Jakarta-Bandung atau sebaliknya), semakin dipilih dia sebagai penunjuk jalan. Tapi, jangan lupa, dengan menggunakan jasa seperti itu, anda bisa tembus betulan, bisa juga tersesat. Probosutedjo tersesat. Orang yang menawarkan jasa nggak bisa disalahkan. Belakangan ini muncul kritik dari kawan-kawan yang berlatar aktivis dalam posisi anda sebagai pembela Newmont. Bagaimana anda mengklarifikasi itu? Saya juga mendengarkan itu dan ingin berdialog dengan mereka. Saya kan masuk di tengah jalan. Sebelum masuk, saya tidak tahu banyak. Ada dua hal yang saya lakukan. Pertama, saya tanya sahabat saya yang bernama Mas Achmad Santosa. “Ota, saya diminta Newmont untuk ikut. Apa saran dan informasi yang boleh saya tahu?” Dia bilang bahwa dia tak punya lagi informasi karena tidak terlibat langsung. “Itu kan profesional biasa saja,” katanya, walaupun belakangan saya tidak tahu apakah dia termasuk yang mengkritik saya. Yang kedua, saya pergi ke Teluk Buyat. Paling tidak, menurut mata telanjang saya, saya tidak melihat seperti yang dituduhkan. Saya kemudian bertanya apakah LSM tidak tunduk pada cek dan ricek atau introspeksi. Apakah yang mereka katakan sudah pasti benar? Berhadap-hadapan seperti ini sejarahnya, sih, sudah panjang. Ketika di LBH pun, saya selalu berposisi begitu. Itu sebabnya hubungan saya dengan aktivis di LBH tetap baik-baik saja walau tidak mesra sebab walaupun saya NGO, saya harus tanya dong profesionalitasnya. Tidak berarti pengusaha pasti salah, orang miskin selalu benar. Belum tentu. Itu sebabnya bila pejalan kaki atau pengendara motor ditabrak mobil, pasti pengendara mobil yang salah. Setuju nggak dengan stereotipe ini? Nggak dong. Motor bisa salah, pejalan kaki bisa salah. Kita bisa salah. Ada kecenderungan itu. Yang terakhir ini ada sidang perdata sebab Newmont digugat lagi setelah putusan pidana. Ada pemeriksaan tempat ke Teluk Buyat. Tadinya hakim yang berkeinginan. Saya bilang [kami] setuju. Sebab apa? Yang menjadi barang bukti utama adalah Teluk Buyat. Lalu, kawan-kawan LSM mengatakan bahwa ia tercemar dan rusak. Nah, Teluk Buyat masih ada di sana, mari kita pergi ke sana dan kita lihat. Mereka menolak. Mereka bilang tidak relevan lagi sebab limbahnya tidak lagi dibuang di situ. Gimana ini? Mustinya dia bilang, “OK, kita bawa ke laboratorium.” Kami juga usulkan ini. Apa kesimpulan yang bisa diambil dari sini? Sebagai advokat aktivis, anda cukup bisa mengerti nggak jalan pikiran kawan-kawan dengan sikap seperti itu? Saya kurang bisa melihat karena begini. Di LBH itu kan ada litigasi dan nonlitigasi. Yang di litigasi melihat segi teknis dan aspek profesionalitasnya. Yang di nonlitigasi pada pokoknya berpihaklah: yang namanya tambang itu kurang ajar, pencoleng semua, perusak lingkungan. Saya tidak dalam posisi begitu. Di tambang mungkin ada perusak lingkungan, ada pencoleng, tapi mungkin ada juga yang baik sebab advokat pun ada yang pencoleng, ada pencuri, ada juga saya kira yang baik. Pertanyaan saya, apakah NGO itu semua orang baik? Beda dengan manusia yang lain? Saya tidak tahu. Saya kira sama juga dengan manusia lain bahwa di NGO ada pencoleng, ada juga yang baik. Posisi saya yang begini bukan sekarang saja. Waktu di LBH pun saya begitu. Makanya saya katakan hubungan saya dengan aktivis itu baik-baik saja, tapi tidak mesra. Anda terusik dengan sikap mereka? Media termasuk yang bersikap seperti para aktivis itu. Dinamika saja sih, menurut saya. Artinya, buat saya hal itu sebagai balancing dalam membela. Saya tentu butuh orang yang mengingatkan saya sebab saya bisa juga khilaf dalam perjalanan itu. Tapi, tidak berarti mereka pasti benar, lalu saya ikut mereka. Lalu, ada juga sebutan—tapi, susah sebenarnya mengatakan ini—anda sekarang sudah kaya. Sekaya apa sebenarnya? Saya kira dari dulu saya kaya, ha-ha-ha. Yang namanya kaya itu subyektif. Tinggal bagaimana anda mendefinisikan apa yang anda nikmati. Kita sekarang minum kopi [sambil wawancara]. Nah, minum kopi seperti ini bagi saya hanya bagian orang kaya, ha-ha-ha. Kita memang mau mendapatkan uang supaya dengan uang itu, kita bisa hidup. Tapi, uang bukan merupakan tujuan, melainkan sarana. Kita perlu hidup layak. Memang dibandingkan dengan waktu di LBH, tentu saya sekarang jauh lebih layak. Dulu gaji saya yang terakhir di LBH tidak sampai Rp 1 juta, sekarang bergantung pada negosiasi [dengan klien]. Ada tugas begini. Ya, saya katakan kalau bertugas begini, golom-golomnya mesti sekian. Kayak pendeta juga, ha-ha-ha. Ya, itu saja. Dibandingkan dengan pengacara lain, kalau soal yang begitu, saya nggak ada apa-apanya. Sebagai implikasi dari satu sistem, memang betul bahwa kemungkinan advokat mempunyai uang lebih dibandingkan dengan sarjana hukum yang ada di birokrasi jauh lebih besar. Karena apa? Karena advokat bekerja berdasarkan konsensual dan—tentu—ada nasib-nasibannya. Saya cerita sedikit. Sekarang saya ketua dewan kehormatan Ikadin dan anggota kehormatan di Peradi. Begitu UU Advokat lahir—di situ diatur soal fee advokat yang disebutkan “secara wajar”—saya memimpin rapat di Hotel Indonesia. “Saudara-saudara, saya mau bicara soal fee. Saya mengusulkan kita membuat standar, seperti dokter melakukannya buat praktek mereka, supaya ada kepastian. [Tarif] dokter kan ada standarnya. Dokter umum sekian, dokter spesialis sekian.” Saya dimaki-maki semua orang. Kata mereka, “Nggak relevan itu!” Dan ini dulu bagian yang paling susah ketika mau jadi advokat. Waktu saya mau keluar dari LBH, salah satu yang terpikir ialah bagaimana cara minta duit menentukan jasa itunya. Saya keliling-keliling. Saya dengarkan Hotma Sitompul, saya dengarkan Surya Nataatmadja, mungkin juga Otto Hasibuan sebab saya nggak punya ide tentang ini. Saya berpikir sedehana saja: perihal ini nggak diajarkan di Fakultas Hukum. Di buku pun tak ada. Sekali waktu saya ketemu Hotma. Saya tanya, “Lae, gimana sih caranya?” Hotma menjawab, “Wah, saya juga nggak tahu. Tapi, bukan menentukan berapa itu yang mengagetkan saya.” Dia membuka laci dan mengeluarkan cek yang nilainya sangat besar, tidak pernah saya bayangkan ada cek sebesar itu. Sepuluh atau satu miliar [rupiah]. “Ini Lae,” kata Hotma. “Ketika ditanya berapa, tiba-tiba datang saja angka itu. Nah, yang mengagetkan saya, kok klien mau.” Sampai sekarang, kata Hotma, dia begitu saat menentukan berapa. Katanya dia berdoa dulu setiap pagi. [Ha-ha-ha.] Pelajaran kedua dari Hotma. “Jadi, Lae, kamu jangan menggerutu sama Tuhan. Periksa dulu doamu, sudah benar atau belum.” Maksudnya apa? “Mobilnya apa, Lae?” Saya nggak punya mobil. Itu mobil LBH. “Ya, sudah, kau periksa doamu. Kalau kau berdoa, ‘Tuhan, tolong saya diberikan kendaraan’. Banyak kan kendaraan? Masak kau tugaskan Tuhan mencari kendaraan apa yang pas.” Mesti bagaimana, dong? “Kau bilang sama Tuhan, ‘Tuhan, saya mau Mercedez Benz seri S 500 warna hitam.’ Ya, begitu.” Dengan B sekian, ha-ha-ha… Ya, betul. Spesifik, katanya. Jadi, saya dengarkan mereka waktu berkeliling-keliling untuk mengetahui bagaimana cara menentukan jasa. Pengalaman Hotma dan advokat lain dalam menentukan [harga itu] memperlihatkan bagaimana kemungkinan advokat secara umum memang bisa mendapatkan lebih. Itu sebabnya sekarang advokat menjadi cita-cita semua sarjana hukum yang ada di mana-mana. Sekarang ini advokat adalah puncak karier sebagaimana halnya: Kapolri, ketua Mahkamah Agung, jaksa agung, jenderal. Siapa advokat ideal di Indonesia, selain Yap Thiam Hien? [Lama berpikir] Nggak ketemu itu. Kelebihan Yap apa? Ya, dia itu nyaris sempurna. Tentu tak ada manusia yang sempurna. Pertama, dia nggak pernah berbohong. Kedua, dia nggak pernah sesen pun ambil uang. Rumahnya di Jalan Mawardi, yang ia beli tahun 1950-an, nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan rumah kebanyakan advokat lain. Nggak ada apa-apanya! Makanya, saya ditraktir oleh dia dulu dengan bubur ayam dan gudeg di warung pinggir jalan. Dia wajar apa adanya. Bagaimana dengan Suardi Tasrif? Dia bilang ke saya, “Saudara Luhut, kalau jadi advokat yang sukses, anda harus main golf.” Kenapa, Pak? “Karena di lapangan golf putusan-putusan diambil. Kalau anda nggak main golf, anda di luar putusan.” Sampai sekarang saya masih berpikir sebab saya belum main golf. Saya nggak tahu benar apa nggak itu. Jadi, saya tak menyebut Pak Suardi Tasrif sebagai advokat ideal karena dia menasihati saya main golf. (selesai) Tulisan ini termuat pada Majalah TATAP edisi 03 November-Desember 2007. Bila tertarik ingin memilikinya, tersedia paket eksklusif Majalah TATAP (7 edisi) seharga Rp200 ribu plus bonus buku Dampak Operasi PT Inti Indorayon Utama terhadap Lingkungan Danau Toba, editor Jansen Sinamo. Call 021 480 1514 untuk info dan pemesanan. Stok terbatas.

No comments:

Post a Comment