Saturday, November 17, 2012

Tragedi ROHINGYA

INI ADALAH LATAR BELAKANGNYA MENURUT BEBERAPA SUMBER: Cekidot:::: “NAY PYI TAW, 4 Juni - Dalam perjalanan menuju rumah dari tempat bekerja sebagai tukang jahit, Ma Thida Htwe, seorang gadis Buddha berumur 27 tahun, putri U Hla Tin, dari perkampungan Thabyechaung, Desa Kyauknimaw, Yanbye, ditikam sampai mati oleh orang tak dikenal. Lokasi kejadian adalah di hutan bakau dekat pohon alba di samping jalan menuju Kyaukhtayan pada tanggal 28 Mei 2012 pukul 17:15. Kasus tersebut kemudian dilaporkan ke Kantor Polisi Kyauknimaw oleh U Win Maung, saudara korban. Kantor polisi memperkarakan kasus ini dengan Hukum Acara Pidana pasal 302/382 (pembunuhan / pemerkosaan). Lalu Kepala kepolisian distrik Kyaukpyu dan personil pergi ke Desa Kyauknimaw pada 29 Mei pagi untuk pencarian bukti-bukti lalu menetapkan tiga tersangka, yaitu Htet Htet (a) Rawshi bin U Kyaw Thaung (Bengali/Muslim), Rawphi bin Sweyuktamauk (Bengali/Muslim) dan Khochi bin Akwechay (Bengali/ Muslim). Penyelidikan menunjukkan bahwa Htet Htet (a) Rawshi tahu rutinitas sehari-hari korban yang pulang-pergi antara Desa Thabyechaung dan Desa Kyauknimaw untuk menjahit. Menurut pengakuannya dia berbuat dipicu oleh kebutuhan uang untuk menikahi seorang gadis, dan berencana untuk merampok barang berharga yang dipakai korban. Bersama dengan Rawphi dan Khochi, Rawshi menunggu di pohon alba dekat tempat kejadian. Tak lama Ma Thida Htwe yang diincarnya datang dan berjalan sendirian, ketiganya lalu menodongkan pisau dan membawanya ke hutan. Korban lalu diperkosa dan ditikam mati, tak lupa merenggut lima macam perhiasan emas termasuk kalung emas yang dikenakan korban. Untuk menghindari kerusuhan rasial dan ancaman warga desa kepada para tersangka, aparat kepolisian setempat bersiaga dan mengirim tiga orang pelaku tersebut ke tahanan Kyaukpyu pada tanggal 30 Mei pukul 10.15. Pada pukul 13:20 hari yang sama, sekitar 100 warga dari Rakhine Kyauknimaw tiba di Kantor Polisi Kyauknimaw dan menuntut agar tiga orang pelaku pembunuh diserahkan kepada mereka namun dijelaskan oleh pihak kepolisian bahwa mereka sudah dikirim ke tahanan. Massa yang mendatangi kepolisian tidak puas dengan itu dan berusaha untuk masuk kantor polisi. Polisi terpaksa harus menembakkan lima tembakan untuk membubarkan mereka. Pada pukul 13:50 100 warga Rakhine Desa Kyauknimaw lalu meninggalkan kantor polisi menuju Kantor Pemerintahan untuk menyampaikan keinginannya dengan diikuti oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadi keributan. Pukul 16.00, para pejabat tingkat Kota menerima dan memberikan klarifikasi untuk menghindari kerusuhan, dan penduduk desa meninggalkan kantor pada pukul 17:40. Keesokan harinya, 31 Mei pukul 9 pagi, mereka meninggalkan Yanbye ke Desa Kyauknimaw dengan dua perahu. Mereka pulang dengan membawa santunan sebesar 1 juta Kyat (mata rupiah Myanmar) untuk desa dari Menteri Perhubungan, U Kyaw Khin, 600.000 Kyat dan lima set jubah untuk pemakaman korban serta ditambah 100.000 Kyat dari santunan perwakilan negara. Pada 31 Mei 15:05 Menteri Dalam Negeri dan Keamanan Perbatasan Negara, wakil kepala Kantor Polisi, Kabupaten Kyaukphyu dan Kepala Kantor Polisi Distrik berpartisipasi dalam pemakaman korban dan mengadakan diskusi dengan penduduk desa. Pada 1 Juni pukul 9 pagi Kepala Menteri Negara dan partai di Kyaukpyu mengadakan diskusi dengan organisasi pemuda Kyaukpyu atas kasus pembunuhan tersebut. Diskusi-diskusi terutama menyinggung menjatuhkan hukuman jera pada para pembunuh dan membantu mencegah kerusuhan saat mereka sedang diadili.” Insiden 10 Orang Muslim Dibunuh Dalam Bis Menurut berita harian New Light dan beberapa blog orang Myanmar menyebutkan bahwa beredar foto-foto dan informasi bahwa “menurut bukti forensik polisi dan juga saksi mata yang melihat tubuh korban, ia diperkosa beberapa kali oleh tiga pemuda Bengali Muslim dan tenggorokannya digorok, dadanya ditikam beberapa kali dan organ wanitanya ditikam dan dimutilasi dengan pisau. Setelah itu lebih dari seribu massa marah dan hampir menghancurkan kantor polisi di mana tiga pelaku ditangkap. Lalu kasus terburuk dan pemicu tragedi Ronghya adalah pembantaian terhadap 10 orang Muslim peziarah yang ada dalam sebuah bus di Taunggup dalam perjalanan dari Sandoway ke Rangoon pada tanggal 4 Juni.” Koran New Light Myanmar edisi 5 Juni memberitakan rincian mengenai pembunuhan sepuluh orang Burma Muslim oleh massa Arakan sebagai berikut: “Sehubungan dengan kasus Ma Thida Htwe yang dibunuh kejam pada tanggal 28 Mei, sekelompok orang yang terkumpul dalam Wunthanu Rakkhita Association, Taunggup, membagi-bagikan selebaran sekitar jam 6 pagi pada 4 Juni kepada penduduk lokal di tempat-tempat ramai di Taunggup, disertai foto Ma Thida Htwe dan memberikan penekanan bahwa massa Muslim telah membunuh dan memperkosa dengan keji wanita Rakhine. Sekitar pukul 16:00, tersebar kabar bahwa ada mobil yang berisikan orang Muslim dalam sebuah bus yang melintas dari Thandwe ke Yangon dan berhenti di Terminal Bus Ayeyeiknyein. Petugas terminal lalu memerintahkan bus untuk berangkat ke Yangon dengan segera. Bus berisi penuh sesak oleh penumpang. Beberapa orang dengan mengendarai sepeda motor mengikuti bus. Ketika bus tiba di persimpangan Thandwe-Taunggup, sekitar 300 orang lokal sudah menunggu di sana dan menarik penumpang yang beridentitas Muslim keluar dari bus. Dalam bentrokan itu, sepuluh orang Islam tewas dan bus juga hancur. Konflik sejak insiden 10 orang Muslim terbunuh terus memanas di kawasan Arrakan, Burma, muslim Rohingya menjadi sasaran. Seperti dilansir media Al-Jazeera, Hal ini dipicu juga oleh bibit perseteruan yang sudah terpendam lama, yaitu perseteruan antara kelompok etnis Rohingya yang Muslim dan etnis lokal yang beragama Buddha. Rohingya tidak mendapat pengakuan oleh pemerintah setempat. Ditambah lagi agama yang berbeda. Dari laporan berbagai berita sampai saat ini sejak insiden tersebut sudah terjadi tragedi pembantaian etnis Rohingya (yang notabene beragama Islam) lebih dari 6000 orang.** VIVAnews - Human Right Watch (HRW) pada Rabu 1 Agustus 2012 mengeluarkan laporan yang menunjukkan kekerasan oleh aparat keamanan terhadap Muslim Rohingya pada bentrokan antara Juni-Juli lalu. Dalam laporan tersebut, HRW mengambil kesaksian 57 warga Rohingya dan Rakhine yang terlibat bentrok. Laporan setebal 56 halaman itu berjudul "Pemerintah Seharusnya Menghentikan Ini: Kekerasan Sektarian dan Pelanggaran di Arakan." HRW mengecam pemerintah Myanmar yang dinilai tidak mampu melindungi warga Rohingya, malah justru ikut serta membunuh dan memperkosa mereka. Dalam laporan, tidak disebutkan nama asli saksi, demi keamanan mereka. Salah seorang Muslim Rohingya berusia 36 tahun mengatakan bahwa tentara Myanmar ikut berada dalam barisan etnis Rakhine di Arakan, turut menembaki warga. Polisi hanya melihat saat warga Rohingya disabet parang dan tongkat. "Mereka (Arakan) membakar rumah-rumah. Ketika (warga Rohingya) mencoba memadamkan api, paramiliter menembaki mereka. Massa memukuli mereka dengan tongkat besar. Kami mengumpulkan 17 mayat dengan bantuan tentara. Saya cuma bisa mengenali satu orang, namanya Mohammad Sharif. Saya lihat peluru menembus dada kirinya," kata saksi. Saksi lainnya yang berusia 28 tahun membenarkan hal ini. Dia mengatakan bahwa tentara menembaki mereka dari dekat. Dia bahkan mengatakan korban saat itu berjumlah 50 orang. Saksi lain berusia 36 tahun mengatakan korban jatuh terdiri dari wanita dan anak-anak. "Saya lihat enam orang tewas. Satu wanita, dua anak-anak, dan tiga lelaki," kata dia. Seorang wanita Rohingya di Sittwe berusia 38 tahun mengatakan pada HRW bahwa pada Juni lalu 50 orang Arakan mengepung rumahnya. Saat itu, sama sekali tidak ada kehadiran polisi dan aparat keamanan. "Mereka menunjuk rumah kami dan bilang 'Ini adalah rumah Muslim' lalu 10 orang naik ke atas. Ipar saya berusaha kabur dengan lompat keluar jendela. Ketika melompat, orang-orang di luar menangkap dan menggorok lehernya. Kami sembunyi di balik pintu yang sulit ditembus. Mereka bilang 'keluar atau kami bakar, pilih mana?'," kata wanita itu. Suami wanita tersebut adalah seorang pengusaha yang kerap berhubungan dengan polisi. Ketika suaminya menelepon kenalan polisinya, tidak diangkat. Dia, suami, mertua, dua pembantu dan tetangganya dipukuli. Beruntung, massa lainnya melerainya. Jika tidak, dipastikan mereka tewas. Lalu massa mengarak mereka ke kantor polisi. Sepanjang perjalanan, mereka jadi bulan-bulanan massa. "Ketika kami sampai, ada 200-300 orang polisi. Beberapa dari mereka teman suami saya. Dia (suami) bertanya, 'kenapa tidak melindungi kami?' polisi itu menjawab 'Kami belum mendapat perintah untuk bergerak. Kami masih menunggu perintah'," lanjutnya lagi. Pemerintah Myanmar melaporkan 77 orang tewas dalam peristiwa tersebut. Namun, jumlahnya diperkirakan jauh lebih banyak daripada itu. Dalam laporan HRW, aparat dikatakan melarang Muslim Rohingya untuk mengubur kerabat mereka yang tewas dengan cara Islami, beberapa akhirnya dikremasi. "Saat kekerasan terjadi pada 8 Juni, mayat-mayat ditumpuk dekat jembatan. Kami tidak boleh mengambilnya, untuk mengubur secara agama. Saat ini, jika seseorang melihat ke bawah jembatan, mereka bisa melihat mayat di bawahnya," kata seorang saksi lain. (eh) TRIBUN-TIMUR.COM--Inilah pemantik awal tragedi Rohingya: * 28 mei 2012: Gadis Buddha Ma Thida Htwe (28) dari Desa Kyauknimaw dilaporkan tewas ditikam di hutan di dekat jalan menuju Kyaukhtayan, sepulang bekerja sebagai tukang jahit. * 28 mei 2012: Saudara korban U Win Maung melaporkan kasus ini ke kepolisian setempat sebagai kasus pembunuhan dan pemerkosaan. * 29 mei 2012: Polisi datang di Kyauknimaw guna pencarian barang bukti dan langsung ditetapkan tersangka dari suku Bengali Muslim. Ketiganya, yakni Rawshi bin U Kyaw Thaung , Rawphi bin Sweyuktamauk, Khochi bin Akwechay. * 29 mei 2012: Hasil penyelidikan, tersangka Rawshi dibantu Rawphi dan Khochi merampok, memerkosa, dan membunuh untuk mendapatkan perhiasan korban guna pesta nikah. * 30 mei 2012: Amarah tersulut, sebanyak 100 warga Kyauknimaw mendatangi Markas Kepolisian Kyauknimaw untuk menghakimi tersangka. Sebelum datang, polisi membawa tersangka ke Tahanan Kyaukpyu. Di markas kepolisian, massa sempat beringas dan diperingatkan dengan tembakan dari polisi. Pejabat daerah memberi penjelasan kepada massa hingga bubar. * 31 mei 2012: Massa kembali ke Kyauknimaw dengan membawa uang santuan 1 juta Kyat dari Menteri Perhubungan U Kyaw Khin. Ada pula uang duka 600 ribu Kyat dan 100 ribu Kyat dari negara. Korban lalu dimakamkan dan utusan pemerintah berdikusi dengan warga guna meredam amarah. * 1 juni 2012: Utusan pemerintah dari Kementerian Negera Myanmar kembali berdikusi bersama pemuda Kyaukpyu guna mencegah terjadinya konflik. * 2 juni 2012: Beredar foto dan informasi jika korban diperkosa berulang kali lalu dibunuh serta dimutilasi oleh ketiga pemuda dari suku Bengali Muslim. Informasi ini diberitakan Harian New Light serta beredar luas melalui blog. * 3 juni 2012: Amarah warga kembali tersulut setelah muncul berita. Massa terdiri ribuan warga hendak menghancurkan Markas Kepolisian Kyauknimaw. * 4 juni 2012: Sebanyak 10 Muslim peziarah dari Burma dibantai massa saat menumpangi bus dalam perjalanan dari Sandoway ke Rangoon di Taunggup. Ini diduga terkait kasus pembunuhan Ma Thida dan merupakan aksi balas dendam. * 5 juni 2012: Harian New Light memberitakan, pembantaian terjadi saat bus berhenti di persimpangan Thandwe-Taunggup. Sekitar 300 warga merazia penumpang bus dan mencari warga Muslim. Saat razia, terjadi bentrokan dan warga Muslim penumpang bus dibantai. Bus juga dihancurkan. Dari situlah pembantaian bermula dan berlanjut hingga saat ini. Melibatkan etnis Rohingya Muslim dan etnis lokal beragama Buddha. Etnis Rohingnya merupakan satu-satunya etnis Muslim di negara ini. Etnis pemeluk Buddha, yakni Bamar, Karen, Kayah, Arakan, dan Mon. Etnis itulah mayoritas di negara ini. TEMPO.CO, Jakarta - Himpunan Mahasiswa Buddhis (Hikmahbudhi) mengecam tindak kekerasan terhadap suku muslim Rohingya. "Ini merupakan suatu bentuk diskriminasi dan pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan," kata Ketua Pengurus Pusat Hikmahbudhi Adi Kurniawan kepada Tempo, Senin, 30 Juli 2012. Menurut Adi, penindasan terhadap minoritas Rohingya ini berakar dari persoalan lama terkait status kewarganegaraan suku Rohingya yang tak diakui sebagai salah satu suku bangsa di Myanmar. Apa pun bentuk dan alasannya, kata Adi, kekerasan dan penindasan merupakan tindakan yang merugikan karena menimbulkan penderitaan bagi orang lain. Hikmahbudhi mendesak pemerintah RI mengambil inisiatif melalui ASEAN agar segera merumuskan solusi terhadap kasus yang terjadi. Adi juga berharap Indonesia mendorong seluruh anggota ASEAN meratifikasi Konvensi 1954 tentang Status Orang Tak Berkewarganegaraan serta Konvensi 1961 mengenai Pengurangan Keadaan Tak Berkewarganegaraan. Pemerintah Myanmar diharapkan meninjau UU Kewarganegaraan yang berlaku di negaranya. "Salah satu sumber persoalan adalah tidak terakomodasinya suku Rohingya dalam UU Kewarganegaraan Myanmar maupun negara tetangganya, yaitu Bangladesh," tutur Adi. Inilah yang menyebabkan suku Rohingya menjadi tak berkewarganegaraan, yang berarti tanpa pengakuan perlindungan dari negara mana pun di dunia Hikmahbudhi juga berusaha mengingatkan pemerintah Myanmar tentang Pasal 15 dari Deklarasi Universal HAM 1948, yang menyatakan setiap orang berhak mempunyai kewarganegaraan, sehingga tak seorang pun boleh dibatalkan kewarganegaraannya secara sewenang-wenang atau ditolak haknya untuk mengubah kewarganegaraannya. Ia juga mengimbau komunitas internasional untuk terus memberikan dukungan bagi perjuangan rakyat Burma dalam menegakkan demokrasi dan HAM. Sampai saat ini, sudah sekitar 650 dari satu juta muslim Rohingya tewas selama bentrokan yang terjadi di wilayah barat Rakhine, Myanmar. Sementara sekitar 1.200 orang lainnya dinyatakan hilang dan 90 ribu muslim Rohingya kini telantar. Pemerintah Myanmar sendiri tidak mengakui muslim Rohingya sebagai warga negaranya. Mereka dianggap sebagai imigran gelap, meski sudah tinggal selama beberapa generasi. Karena inilah, muslim Rohingya terpaksa mengungsi ke berbagai negara terdekat, seperti di Bangladesh sekitar 400 ribu jiwa, di Thailand 60 ribu jiwa, di Pakistan 40 ribu jiwa, dan di Malaysia sekitar 40 ribu jiwa. Populasi muslim Rohingya di Myanmar sekitar 4 persen atau hanya sekitar 1,7 juta jiwa dari total penduduk negara itu, yang sekitar 42,7 juta jiwa. Jumlah itu menurun drastis dari catatan pada dokumen Images Asia ''Report On The Situasion For Muslim In Burma pada Mei 1997, yang menyebutkan bahwa umat muslim di Myanmar mendekati 7 juta jiwa. Agenda Tersembunyi Tragedi Rohingya Myanmar Posted on 29 Juli 2012 by Widya Wicaksana Nasib Muslim Rohingnya semakin mengkhawatirkan. Di negaranya sendiri dianggap sebagai illegal Citizens, dan di luar negara tidak diterima. Ribuan orang Muslim Rohingya menjadi korban pembantaian. Tidak hanya itu, presiden Myanmar, Thein Sein melontarkan pernyataan kontroversial mengusir Muslim Rohingya sebagai penyelesaian konflik bernuasa etnis dan agama di negara itu. Bahkan dia menawarkan kepada PBB jika ada negara yang bersedia menampung mereka. Bagi Direktur Global Future Institute, Jakarta, yang terjadi di Arakan ini bukan hanya Muslim Cleansing, tapi juga Budha Cleansing. Menurut pengamat internasional ini, yang menjadi korban bukan hanya masyarakat muslim maupun Budha, tapi juga terjadi benturan peradaban di Myanmar. “Ada permainan korporasi tertentu yang berkolaborasi dengan Junta militer Myanmar,” kata penulis buku “Tangan-tangan Amerika di Pelbagai belahan Dunia” itu. “Kayaknya, di Arakan ini pemicunya mirip dengan Ambon, sebuah masalah kriminal yang kemudian dipolitisasi. Untuk itu harus dipahami skema besarnya. Yang sesungguhnya terjadi adalah Cleansing masyarakat.” Tegas Hendrajit. Simak selengkapnya wawancara eksklusif Purkon Hidayat dari IRIB Bahasa Indonesia dengan Hendrajit, Direktur Global Future Institute Jakarta mengenai persoalan di balik tragedi kemanusiaan yang menimpa Muslim etnis Rohingya di Myanmar. Kalau kita lihat dari perspektif korban, persoalan inikan sudah bertahun-tahun. Memang faktanya suku Rohingya ini merupakan mayoritas di Arakan, tapi dianggap sebagai illegal citizens. Bahkan kini, jumlahnya tinggal sejutaan karena sebagian sudah migrasi ke negara lain. Saya melihat persoalan ini, entah itu Karena yang Budha maupun Rohingya yang Muslim, bagi saya tetap sebagai prakondisi yang rawan di Myanmar sendiri. Jadi artinya ada sesuatu yang sebetulnya harus dilihat dari gambaran yang jauh lebih besar. Saya amat menyayangkan baru-baru ini di Jakarta misalnya ada yang menyebut fenomena di Myanmar sebagai Muslim Cleansing. Bagi saya, ini bukan hanya Muslim Cleansing, tapi juga Budha Cleansing. Kalau melihat skema konfliknya mengarah pada konflik peradaban. Tapi intinya ini masuk pada desakan untuk menghantam pola rezim Myanmar sendiri. Kalau dilihat lebih jauh ada permainan korporasi tertentu yang berkolaborasi dengan Junta militer. Saya lihat, selain mengorbankan warga dan masyarakat juga membenturkan peradaban. Dan kebetulan dalam konteks di Arakan ini yang memang kondusif adalah isu agama. - Tadi Anda menyebutkan adanya kolaborasi antara Junta militer dengan korporasi asing. Bagaimana bentuknya ? Pada tahun 1988, muncul sistem baru di Myanmar. Walaupun rezim otoriter militer yang memimpin, tapi Myanmar menggunakan sistem pasar. Ketika itu ada undang-undang baru yang namanya The Union of Myanmar Foreign Investment Law. Payung hukum ini adalah perlindungan terhadap sektor eksplorasi dan pengembangan sektor minyak dan gas alam yang melibatkan korporasi-korporasi asing. Pada kasus Arakan ini adalah pertarungan soal minyak dan gas bumi. Pada tahun 2005, perusahaan gas Cina menandatangani kontrak gas dengan pemerintah Myanmar untuk mengelola eksplorasi minyak. Kita harus lihat, sebagaimana kasus yang terjadi di Indonesia seperti di Sampang, Mesuji dan lainnya yang menunjukkan bahwa konflik-konflik horizontal menandakan ada sesuatu yang yang diincar dari sisi geopolitik. Yang menarik dari sisi rezim militer di Myanmar dari era Ne Win hingga sekarang ini, ternyata melibatkan perusahaan asing semacam Chevron AS maupun Total Perancis, padahal kedua negara ini kan di permukaan mengangkat isu hak asasi manusia. Jelas ada pertarungan bisnis yang bermain melalui pintu belakang dari rezim militer Myanmar. Saya melihat konflik soal Islam dan Budha yang belakangan ini semakin memanas, bahkan ada istilah konyol dari presidennya, “Udah saja Rohingya itu diusir dari Myanmar,” Masalah ini harus dilihat sebagai hilir saja, hulunya adalah adanya satu hal yang diincar di Arakan yaitu minyak dan gas alam. - Jadi Arakan ini menyimpan sumber daya migas yang besar ya ? Cukup besar ya saya kira. Dengan dasar itu, eksplorasi minyak dan gas bumi itu menjadi incaran bukan hanya Cina tapi juga AS. Apalagi Chevron leading bermain di situ, ada juga Petro China, Tiongkok Petroleum, Petronas Malaysia dan lain. Repotnya rezim militer ini memproteksi lewat undang-undang The Union of Myanmar Foreign Investment Law. Cina dan beberapa negara yang diluar AS dan Eropa Barat kelihatannya lebih unggul. Sementara AS ketinggalan. Nah, yang menarik masalah Muslim di Arakan ini cenderung memberi ruang bagi pendekatan symmetric Bill Clinton yang diterapkan oleh Obama dan Hillary Clinton. Dengan dasar, “Konflik wilayah itu perlu advokasi hak asasi manusia nih, LSM, LSM perlu masuk.” Dari pintu ini, mereka masuk dengan memakai konflik Islam dan Budha tersebut. Tapi tampak sasaran strategisnya adalah sama yaitu penguasaan minyak dan gas bumi. Berkaitan dengan stetemen presiden Myanmar, Thein Sein yang mengatakan bahwa penyelesaian kasus konflik bernuasa etnis dan agama di Myanmar adalah mengusir muslim etnis Rohingya dari negara ini. Bahkan dia menawarkan kepada PBB jika ada negara yang bersedia menampung mereka. Anda melihatnya seperti apa masalah ini ? Sebetulnya kalau dilihat dari konteks pernyataan presiden Myanmar yang menunjukkan kekonyolan-kekonyolan yang tidak didasari oleh satu kerangka yang benar, tapi itu malah menjebaknya dalam pertarungan besar. Dia sudah masuk ke dalam perangkap The Clash of Civilizations. Sebab kalau dasarnya adalah ideologis dalam kerangka kontraskema global harusnya dia enggak memakai istilah-sitilah itu. Dia justru masuk ke dalam perangkap itu. Di sana, seakan-akan Islam dan Budha bertempur, padahal dua-duanya korban. Kalau kita lihat dalam konteks skema ini, modus dari rezim militer memproteksi korporasi model Total, Chevron, Petrochina dan lain-lain. Itu caranya ekstrim seperti pembakaran desa-desa. Nah di sana, warga yang menjadi korban. Cleansing yang paling efektif tanpa melibatkan penguasa adalah konflik agama. Kalau di Indonesia mungkin Cleansing agama tidak laku, tapi Cleansing suku sama dasyatnya. Malah lebih efektif karena mereka paham betul masalah kesukuan di Indonesia lebih mudah disulut daripada masalah agama. Di Burma ini terperangkap masalah tersebut. Di sini, pernyataan presiden Myanmar justru membuatnya masuk ke dalam perangkap. Yang menarik sikap seperti Aung San Suu Kyi walaupun dalam bahasa yang agak terselubung, ia menyatakan bahwa etnis Muslim jadi sasaran. Seharusnya dia menegaskan bahwa Budha juga jadi korban. - Maksudnya jadi korbannya gimana ? Maksudnya dalam skema korporasi global itu. Misalnya yang terjadi di Papua, yang disasar adalah benturan antarasuku dari tujuh suku itu. Dalam urusan duit aja bisa pecah apalagi urusan yang melibatkan simbol-simbol tradisional kesukuan masing-masing. Kayaknya, di Arakan ini pemicunya mirip dengan Ambon ya, sebuah masalah kriminal yang kemudian dipolitisasi. Untuk itu harus dipahami skema besarnya. Yang sesungguhnya terjadi adalah Cleansing masyarakat. Ini pra kondisi dari sesuatu yang dulunya tidak bisa ditangani secara tepat dalam konteks keadilan antara mayoritas dan minoritas yang menjadi bom waktu. Dan bom waktu itu meletus jika prakondisi ini dipicu. Nah triggering factor itu kan enggak mungkin alami seperti sekarang ini. Jika terjadi benturan maka daerah itu akan dinyatakan sebagai kawasan darurat, menjadi close area. Nah di situlah agenda sebenarnya baru dimunculkan. Makanya harus dipahami apa agenda besar sebenarnya. Yang disayangkan dalam rezim militer mulai dari Ne Win sampai sekarang ini yang seakan-akan sosialis negara justru pada dasarnya kapitalis negara. Sejatinya, dengan undang-undang The Union of Myanmar Foreign Investment Law, Myanmar pada dasarnya sedang mengarah pada pasar, tapi di bawah kendali penuh negara. Dan dia memproteksi korporasi-korporasi untuk berkolaborasi dengan penguasa. Tentu dengan segala bayaran sosialnya. Kebetulan korporasi yang masuk seperti Chevron, Total, PetroChina dan sebagainya, isi kepalanya bukan hanya sebagai Company. Seperti juga Freeport, pikiran korporasi ini seperti negara. Jadi ketika menentukan lokasi seperti Arakan itu perhitungannya bukan feasibility study lahan bisnis saja, tapi geopolitiknya dihitung juga seperti komposisi populasi penduduk. Kalau itu masih wajar. Karena semua itu harus memenej. Tapi yang ada dipikiran opensif jahat korporasi itu adalah “Apa yang bisa dimainkan” dari fakta-fakta yang ada. Kasarnya, “kalau diadu domba mainkannya bagaimana?” Nah komposisi-komposisi ini sudah dihitung oleh mereka. Selain perlunya politik pemilihan lokasi juga yang harus dilihat adalah Winning Coalition dari korporasi itu. (IRIB Indonesia / PH)

No comments:

Post a Comment