Monday, September 14, 2015

Hukum Acara Perdata

I.                 Pengertian, Asas dan Sifat Hukum Acara Perdata
1.      Pengertian Hukum Acara Perdata
Hukum materiil, sebagaimana terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi masyarakat tentang sebagaimana selayaknya berbuat atau tidak berbuat dalam masyarakat. Hukum bukanlah semata-mata sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja, melainkan untuk dilaksanakan atau ditaati. Hukum Harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum materiil, khususnya hukum materiil perdata, dapatlah berlangsung secara diam-diam diantara para pihak yang bersangkutan tanpa melalui pejabat atau instansi resmi. Akan tetapi, sering terjadi bahwa hokum materiil perdata itu dilanggar, sehingga ada pihak yang dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan didalam masyarakat. Dala, hal ini, hokum materiil perdata yang telah dilanggar itu haruslah ditegakkan atau dipertahankan.
Untuk melaksanakan hokum materiil perdata, terutama dalam hal ada pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materiil perdata dalam hal ada tuntutan hak, diperlukan rangkaian peraturan-peraturan  lain disamping hukum materiil perdata itu sendiri. Peraturan hukum inilah yang disebut hokum formil atau hukum acara perdata. Hukum acara perdata hanya diperuntukkan menjamin ditaatinya hokum materiil perdata.
Hukum acara perdata menurut Sudikno Mertokusumo  adalah peraturan hokum yang mengatur sebagaimana caranya menjamin ditaatinya hokum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain hokum acara perdata adalah peraturan hokum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hokum perdata materiil. Lebih konkret lagi dapatlah dikatakan bahwa hokum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan, tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari putusannya.[1] Selain pengertian dari Sudikno mertokusumo, terdapat pendapat beberapa ahli hokum yang lain juga seperti Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata ialah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalanya peraturan hukum perdata. Sedangkan Retno wulansari berpendapat bahwa hukum acara perdata yang juga disebut hukum perdata formil adalah semua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil.[2]
Jadi berdasarkan pendapat para ahli dapat diketahui bahwa hukum acara perdata yang merupakan hukum formil secara umum adalah peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui hakim ( di pengadilan ) sejak diajukan gugatan, dilaksanakanya gugatan, sampai pelaksanaan putusan hakim.
Contohnya dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, dalam Pasal 666 KUHPerdata  ada ketentuan yang mengatur bahwa apabila dahan-dahan, ranting-ranting atau akar-akar dari pohon pekarangan seseorang tumbuh menjalar diatas atau masuk kepekarangan tetangganya, maka yang terakhir ini  dapat memotongnya menurut kehendak sendiri setelah tetangga pemilik pohon menolak atas permintaanya untuk memotongnya. Tuntutan hak yang seperti diatas diuraikan sebagai tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang di berikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting”, ada dua macam yaitu tuntutan hak yang mengandung sengketa yang disebut gugatan, dimana terdapat sekurang-kurangnya dua pihak dan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa yang disebut permohonan, dimana hanya ada satu pihak saja. Peradilan dibagi menjadi dua, yaitu peradilan volunter yang disebut juga peradilan sukarela atau peradilan yang tidak sesungguhnya dan peradilan contentieus atau peradilan sesungguhnya. Tuntutan hak yang merupakan permohonan yang tidak mengandung sengketa termasuk dalam peradilan volunter sedangkan gugatan termasuk peradilan contentieus. Dalam sifat hukum acara perdata bahwa orang yang merasa haknya dilanggar disebut penggugat sedang bagi orang yang ditarik kemuka pengadilan karena ia dianggap melanggar hak seseorang atau beberapa orang itu disebut dengan tergugat. Penggugat adalah seorang yang “merasa” bahwa haknya dilanggar dan menarik orang yang “dirasa” melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara kedepan hakim.\
2.      Asas-Asas dalam Hukum Acara Perdata
1.      Hakim Bersifat Menunggu
Asas dari hukum acara perdata pada umumnya ialah bahwa pelaksanaanya, yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak hakim. Demikianlah bunyi pemeo yang tidak asing lagi ( wo kein klager ist, ist kein reichter, nemo judex sine actore ). Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya “index ne procedat ex officio” ( lihat pasal 118 HIR, 142 Rgb.). Hanya yang menyelenggarakan proses adalah negara. Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009).
2.      Hakim Pasif
Hakim didalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dala arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya di tentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan ( pasal 4 ayat (2) UU No.48 tahun 2009). Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak (secendum allegata iudicare). Hanya peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak. Para pihaklah yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukan hakim. Asas ini disebut verhandlungsmaxime. Jadi pegertian pasif ini yaitu bahwa hakim tidak menentukan luas dari pada pokok sengketa. Hakim tidak boleh menambah atau menguraninya. Akan tetapi itu semuanya tidak berarti bahwa hakim tidak aktif sama sekali tidak aktif. Selaku pimpinan sidang harus aktif memimpin dan memeriksa perkara dan tidak merupakan pegawai atau sekedar alat dari pada para pihak, danharuslah berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan. Karenanya dikatakan bahwa sistem HIR adalah aktif, berbeda dengan sistem Rv yang pada pokoknya mengandung prinsip “hakim pasif”. Asas hakim menurut HIR itu sesuai dengan aliran pikiran tradisionil Indonesia.
3.      Sifatnya  Terbukanya Persidangan
Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari pada asas ini tidak lain untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam peradilan serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat. Asas ini dapat kita jumpai pada Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 : “Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain”. Secara formil asas ini membuka kesempatan untuk “social kontrol”. Asas terbukanya persidangan tidak mempunyai arti bagi acara yang berlangsung secara tertukis. Kecuali apabila ditentukan lain oleh undang-undang atau apabila berdasarkan alasan-alasan yang penting yang dimuat di dalam nerita acara yang diperintahkan oleh hakim, maka persidangan dia lakukan dengan pintu tertutup.
4.      Mendengar Kedua Belah Pihak (penggugat dan tergugat melalui surat-surat)
Didalamnya hukum acara perdata kedua belah pihak diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang, seperti yang dimuat dalam pasal 4 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 mengandung arti bahwa didalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus di beri kesempatan untuk memberi pendapatnya. Asas kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas “audi et alteram partem” atau “eines mannes redeist keines mannes rede, man soll sie horen alle beide”. Bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak di beri kesempatan untuk meneluarkan pendapatanya
5.      Putusan Harus Disertai Alasan-alasan
Semua putusan pegadilan harus memuat alsasn-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (pasal 184 ayat (1), 319 HIR, 618 Rgb.). alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebgai pertanggung jawaban hakim dari pada putusanya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunya nilai objektif. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan yang mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkanya. Putusan MA yang menetapkan, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertanggungjwabkan (onvoldoende gemotiveerd) mrupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan. Kenyataanya sekarang tidak sedikit hakim yang terikat oleh putusan pengadilan tinggi atau mahkamah agung mengenai perkara yang sejens. Bukan karena kita mengikuti asas “the binding force of precedent”, melainkan terikatnya hakim itu karena yakin bahwa putusan yang mengenai perkara yang sejenis itu meyaknkan putusan itu tepat. Ilmu pengetahuan hukum merupakan sumber pula untuk mendapatkan bahan guna mempertanggung jawabkan putusan hakim didalam memeprtimbangakannya. Sifat objektif dari pada ilmu pengetahuan itu sendiri menyebabkan putusan hakim yang bernilai objektif pula.
6.      Beracara Dikenakan Biaya
Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya ( pasal pasal 2 ayat (4) UU No. 48 tahun 2009, 121 ayat 4, 182,183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rgb.). Biaya perkra ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Disamping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara, maka harus pula dikeluarkan biaya. Namun bagi yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara Cuma-Cuma (pro deo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (pasal 23 HIR, 273 Rgb.).
7.      Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilakan perkara orang lain, sehingga pemerikasaan terjadi secara langsung terhadap pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau di wakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya. Dengan demikian hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidakmewakilkan kepada seorang kuasa. Wewenang untuk mengajukan gugatan dengan lisan tidak berlaku bagi kuasa. Dengan memeriksa para pihak yang berkepentingan secara langsung hakim dapat mengetahui lebih jelas persoalannya. Walaupun HIR menentukan, bahwa para pihak dapat dibantu atau diwakili, akan tetapi tidak ada ketentuan bahwa seorang pembantu atau diwakil harus seorang ahli atau sarjana hukum. Menurut RO ada persyaratanya untuk bertindak sebagai prosedur. Antara lain ia harus sarjana hukum ( pasal 186). Pada hakikatnya tujuan dari pada perwakilan wajib oleh sarjana hukum (verplichte procureurstelling) ini tidak lain untuk lebih menjamin pemeriksaan yang objektif, melancarkan jalanya peradilan dan memperoleh putusan yang adil. Adapun mengenai terjadinya perwakilan, antara lain: a. Ketentuan undang-undang, misalnya untuk anak dibawah umur oleh orangtua atau wali, sakit ingatan oleh pengampunya. b. Perjanjian kuasa khusus, untuk perwakilan yang dilakukan oleh pengacara atau penasehat hukum. c. Tanpa surat kuasa khusus, untuk acara gugatan perwakilan kelompok oleh satu atau beberapa orang dari kelompoknya (Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok). Perlu diketahui bahwa wewenang untuk mengajukan gugatan secara lisan tidak berlaku bagi kuasa.[3]
3.      Sifat Hukum Acara Perdata
Dari bahasan mengenai pengertian dan asas hokum acara perdata sesuai optic teoritis dan praktik,maka dapat ditarik konklusi dasar bahwa sifat hokum acara perdata adalah :
1.      Jika ditinjau dari sifat asal dan muasal terjadinya perkara perdata, maka terhadap inisiatif timbulnya perkara perdata terjadi oleh karena adanya gugatan dari orang yang merasa dan dirasa haknya telah dilanggar orang lain. Sehingga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kelangsungan perkara perdata tergantung kepada pihak pengugugat.
2.      Jika ditinjau dari aspek pembagian hokum berdasarkan kekuatan sanksinya maka sifat hokum perdata berdasarkan kekuatan sanksinya maka sifat hokum acara perdata bersifat memaksa (dwingend recht). Apabila dijabarkan lebih detail, sifat memaksa dari hokum acara perdata ini karena disebabkan fungsinya, dalam rangka mempertahankan eksistensi hokum perdata materiil.
3.      Ditinjau dari aspek pendapat Prof. Wirjono Projodikoro, S.H, maka sifat hokum acara perdata adalah kesederhanaan dalam beracara di depan siding pengadilan. Sifat hokum acara perdata Indonesia dalam memohon peradilan semestinya harus sesuai dengan sifat dan cara rakyat Indonesia. Setiawan S.H berpendapat, sederhana yang dimaksud dalam hal ini adalah proses beracara yang tidak rumit.[4]



II.            Gugatan Perdata ( Pasal 118 HIR)
Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo, gugatan atau tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah  main hakim sendiri (eigenrichting)[5]. Darwan Prins juga berpendapat bawha gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh pengadilan serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut. Dapat disimpulkan bahwa gugatan adalah  permasalahan perdata yang mengandung sengketa antara 2 (dua) pihak atau lebih yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana salah satu pihak sebagai penggugat untuk menggugat pihak lain sebagai tergugat. Penyelesaian perkara yang mengandung sengketa, disebut yuridiksi contentiosa yaitu kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan antara pihak yang bersengketa.
Ciri khas gugatan adalah:
1.      Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa (disputesdiffirences).
2.      Terjadi sengketa di antara para pihak, minimal di antara 2 (dua) pihak.
3.      Bersifat partai (party), dengan komposisi pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lainnya berkedudukan sebagai tergugat.
  1. Tidak boleh dilakukan secara sepihak (ex-parte), hanya pihak penggugat atau tergugat saja.
  2. Pemeriksaan sengketa harus dilakukan secara kontradiktor dari permulaan sidang sampai putusan dijatuhkan, tanpa mengurangi kebolehan mengucapkan putusan tanpa kehadiran salah satu pihak.
Bentuk gugatan ada 2 (dua) macam, yaitu gugatan lisan dan gugatan tertulis. Dasar hukum mengenai gugatan diatur dalam Pasal 118 ayat (1) Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”) juncto pasal 142 Rectstreglement voor de Buitengewesten (“RBg”) untuk gugatan tertulis dan Pasal 120 HIR untuk gugatan lisan. Akan tetapi yang diutamakan adalah gugatan berbentuk tertulis.[6]
Tuntutan hak yang ada didalam Pasal 118 HIR disebut sebagai tuntutan perdata (burgerlijke voredering) tidak lain adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan lazimnya disebut gugatan . Gugatan dapat dapat diajukan baik secara tertulis (Pasal 118 ayat 1 HIR, 142 ayat 1 Rbg) maupun secara lisan (Pasal 120 HIR, 144 ayat 1 HIR). Asas “Actor Sequitur Forum Rei” adalah asas dalam Hukum Acara Perdata yang menerangkan tentang dimanakah seharusnya gugatan itu diajukan. Berdasarkan pada asas ini, maka pada prinsipnya gugatan Hukum Acara Perdata itu diajukan di pengadilan negeri tempat tinggal tergugat (Pasal 118 H. I. R.  (1)). Asas ini juga pada dasarnya menjadi acuan mengenai kompetensi relatif pengadilan dalam hukum acara perdata. Berikut ketentuan tempat pengajuan berdasarkan ketentuan secara tulisan yang diatur dalam pasal 118 HIR yang merupakan pengembangan asas Actor Sequitur Forum Rei :
a.       Gugatan diajukan pada pengadilan negeri tempat kediaman tergugat apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui;
b.      Apabila tergugat terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih, gugatan diajukan pada tempat tinggal salah seorang dari tergugat yang dipilih oleh penggugat;
c.       Apabila pihak tergugat ada 2 (dua) orang dimana yang seorang adalah pihak yang berhutang dan yang seorang adalah penjaminnya, maka gugatan diajukan pada pengadilan negeri pihak yang berhutang. Dan apabila tempat tinggal tergugat dan turut tergugat berbeda maka gugatan itu diajukan di tempat tinggal tergugat;
d.      Apabila  tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal maka gugatan harus diajukan ke pengadilan negeri tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat;
e.       Dalam hal gugatan mengenai barang tidak bergerak, gugatan dapat diajukan ke pengadilan negeri tempat barang bergerak tersebut terletak apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak diketahui. Namun khusus dalam persoalan ini hanya berlaku bagi gugatan mengenai benda tidak bergerak, bukan yang menyangkut uang sewa dari benda tidak bergerak tersebut. Namun, ketentuan ini berbeda dengan apa yang tercantum dalam pasal 99 ayat (8) R.V. dan Pasal 142 ayat (5) R.Bg. dimana dalam hal gugatan menyangkut benda tidak bergerak, gugatan diajukan ke pengadilan negeri di wilayah dimana benda tidak bergerak tersebut terletak;
f.       Apabila ada sebuah tempat tinggal atau pengadilan negeri yang ditunjuk khusus dalam sebuah akta atau tercanntum dalam sebuah perjanjian, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri tempat tinggal atau pengadilan negeri yang tercantum dalam akta atau perjanjian tersebut. Namun, tidak menggugurkan kemungkinan untuk mengajukan gugatan di tempat tinggal tergugat atas keinginan penggugat.

























III.        Mediasi
A. Pengertian dan Dasar Hukum Mediasi
a. Pengertian Mediasi Sebagai bentuk dari alternative Dispute Rosolutian (ADR), terdapat devinisi yang beragam tentang mediasi yang dikemukakan oleh para pakar hukum. Namun secara umum, banyak mengakui bahwa mediasi adalah proses untuk menyelesaikan sengketa dengan melakukan bantuan pihak ketiga. Peran pihak ketiga itu adalah dengan melibatkan diri dari bantuan para pihak dalam mengidientifikasi masalah-masalah yang disengketakan.
Dalam Perma No. 1 Tahun 2008, pengertian mediasi disebutkan pasal 1 butir 7, yaitu: “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”. Berdasarkan uraian tersebut, mediasi merupakan suatu proses yang ditunjukan untuk memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Tugas utama dari pihak yang netral tersebut (mediator) adalah menolong para pihak memahami pandangan pihak lain sehubungan dengan masalah yang disengketakan. Selanjutnya mediator membantu mereka melakukan penilaian yang objektif dari seluruh situasi untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, guna mengakhiri sengketa yang terjadi.
b. Dasar Hukum Mediasi Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa dasar hukum yang mengatur pengintegrasian mediasi kedalam sistem peradilan pada dasarnya bertitik tolak pada ketentuan pasal 130 HIR maupun pasal 154 R.Bg. Untuk lebih memberdayakan dan mengefektifkannya, Mahkamah Agung menuangkan ketentuan tersebut ke dalan suatu bentuk yang bersifat memaksa, yaitu dengan mengaturnya kedalam UU No. 2 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi. Namun belakangan Mahkamah Agung menyadari bahwa Perma tersebut kurang teraplikasikan sebagai landasan hukum mediasi karena tidak tampak perubahan sistem dan prosedural perkara masih berlangsung secara konvensional melalui proses litigasi. Hal tersebut kemudian mendorong dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi. Perma No. 1 Tahun 2008 tersebut merupakan penyempurna dari Perma No.2 Tahun 2003.
B. Jenis- Jenis Mediasi
Secara umum,  mediasi dapat dibagi kedalam dua jenis yakni Mediasi dalam Sistem Peradilan dan Mediasi di Luar Pengadilan. Mediasi yang berada di dalam pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata dengan mediator terdiri dari hakim-hakim Pengadilan Negeri tersebut sedangkan mediasi di luar pengadilan ditangani oleh mediator swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif penyelesaian sengketa.
a. Mediasi dalam Sistem Peradilan Dalam pasal 130 HIR dijelaskan bahwa mediasi dalam sistem peradilan dilaksanakan dalam bentuk perdamaian yang menghasilkan produk berupa akta persetujuan damai (akta perdamaian). Hukum di Indonesia mengatur bahwa hasil mediasi harus dalam bentuk tertulis. Hal tersebut tidak hanya berlaku untuk mediasi dalam lingkup pengadilan tetapi juga bagi mediasi di luar pengadilan. Dalam Perma No. 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa: jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak. Kesepakatan tersebut wajib memuat klausul-klausul pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai [pasal 17 ayat (1) dan (6)].
b. Mediasi di Luar Pengadilan Pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari, mediasi yang berlangsung di luar pengadilan sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya peraturan hukum adat yang melekat dan mendarah daging pada kebanyakan masyarakat Indonesia. Misalnya seorang kepala adat atau kepala kerabat bertindak sebagai penengah dalam memecahkan sebuah masalah/ sengketa dan memberi putusan terhadap masalah tersebut. Karena mediasi di luar pengadilan ini merupakan bagian dari adat istiadat atau budaya daerah tertentu maka penyebutan dan tata cara pelaksanaannya juga berbada-beda sesuai dengan budaya yang berlaku pada masyarakat dan daerah tersebut. Sampai saat ini, perkembangan mediasi sudah sangat baik. Masyarakat modern yang dulunya cendrung memilih bentuk penyelesaian perkara melalui litigasi, sekarang sudah berubah memilih mediasi. Hal tersebut dapat dilihat dari pengintegrasian proses mediasi kedalam bentuk perundang-undangan. Misalnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan lain sebagainya.
c. Mediasi-Arbitrasi
Mediasi- Arbitrase adalah bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang merupakan kombinasi antara mediasi dan arbitrase. Dalam bentuk ini, seorang yang netral diberi kewenangan untuk mengadakan mediasi, namun demikian ia pun mempunyai kewenangan untuk memutuskan setiap isu yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak. Sedangkan menurut Priyatna Abdurrasyid bahwa mediasi-arbitrae dimulai dengan mediasi, dan jika tidak menghasilkan penyelesaian dilanjutkan dengan arbitrase yang putusannya final mengikat. d. Mediasi Ad-Hoc dan Mediasi Kelembagaan Dengan mengacu pada ketentuan pasal 6 ayat 4 undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mediasi adhoc terbentuk dengan adanya kesepakatan para pihak dalam hal menentukan mediator untuk menyelesaikan perselisihannya, yang mempunyai sifat tidak permanen. Jenis ini bersifat sementara atau temporer saja, karena dibentuk khusus untuk menyelesaikan perselisihan tertentu sesuai dengan kebutuhan saat itu dan ketika selesai maka mediasi ini akan bubar dengan sendirinya. Sebaliknya, mediasi kelembagaan merupakan mediasi yang bersifat permanen atau terbentuk secara institusional/ melembaga, yakni suatu lembaga mediasi yang menyediakan jasa mediator untuk membantu para pihak.
C. Tugas dan Fungsi Mediator
Berdasarkan Perma Nomor 2 Tahun 2008 tentang Prosedur mediasidi Pengadilan , pasal 1 ayat 6 menyebutkan bahwa: “Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian,” dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada setiap proses mediasi, mediator memegang peranan yang sangat penting. Mediasi tidak akan terlaksana tanpa usaha seorang mediator untuk mempertemukan keinginan para pihak dan mencari solusi yang sama-sama menguntungkan atas permasalahan yang terjadi.
Dalam praktik, mediator sangat membutuhkan kemampuan personal yang memungkinkannya berhubungan secara menyenangkan dengan para pihak. Kemampuan pribadi yang terpenting adalah sifat tidak menghakimi, yaitu dalam kaitannya dengan cara berfikir masing- masing pihak. Dengan bekal berbagai kemampuan yang dimilikinya, mediator diharapkan dapat menjalankan peranannya untuk menganalisis dan mendiagnosa sengketa yang ada. Kemudian mendisain dan mengendalikan proses mediasi untuk menuntun para pihak mencapai suatu kesepakatan. Adapun hal-hal yang perlu dilakukan oleh seorang mediator dalam praktik, antara lain sebagai berikut:
a. Melakukan diagnosis konflik
b. Mengidientifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis para pihak
c. Menyusun agenda
d. Memperlancar dan mengendalikan komunikasi
e. Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan tawar- menawar
f. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting, dan menciptakan pilihan-pilihan untuk memudahkan penyelesaian problem.
Dalam kaitannya dengan itu, tugas mediator adalah mengarahkan dan memfasilitasi lancarnya komunikasi dan membantu para pihak agar memperoleh pengertian tentang perselisihan secara keseluruhan sehingga memungkinkan setiap pihak membuat penilaian yang objektif. Dengan bantuan dan bimbingan mediator, para pihak bergerak kearah negosiasi penyelesaian sengketa mereka. Menurut Fuller[7] salah seorang pakar hukum menyebutkan bahwa fungsi dari seorang mediator ada 7, yakni:
a. Sebagai “katalisator”, mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi.
b. Sebagai “pendidik”, berarti seorang harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para puhak.
c. Sebagai “penerjemah”, berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
d. Sebagai “nara sumber” berarti seorang mediator harus mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia.
e. Sebagai “penyandang berita jelek”, berarti seorang mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk itu, mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak terkait untuk menampung berbagai usulan.
f. Sebagai “agen realitas”, berarti mediator harus berusaha memberikan pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/ tidak masuk akal tercapai melalui perundingan.
g. Sebagai “kambing hitam”, berarti seorang mediator harus siap disalahkan, misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.

D. Proses Mediasi di Pengadilan Negeri
Dalam Perma nomor 1 Tahun 2008, prosedur pelaksanaan mediasi dibagi dalam dua tahap sebagaimana yang diatur dalam Bab II, yaitu: Tahap Pramediasi dan tahap mediasi . Tahap-tahap tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:
a.       Tahap Pramediasi
Tahap pramediasi merupakan tahap persiapan kea rah proses tahap mediasi, yang terdiri atas[8]
 1) Hakim Memerintahkan Menempuh Mediasi Langkah pertama yang dilakukan seorang hakim pada tahap pramediasi adalah sebagai berikut
a) Memerintahakan lebih dahulu menempuh mediasi Perma telah memberikan fungsi dan kewenangan kepada hakim sebagai berikut:
(1) Memerintahkan para pihak yang berperkara wajib lebih dahulu menempuh penyelesaian melalui proses mediasi
(2) Kewajiban menempuh lebih dahulu penyelesaian proses mediasi bersifat imperative, dan bukan regulative sehingga harus ditaati oleh para pihak.
(3) Saat hakim penyampaian perintah pada siding pertama, berarti keberadaan dan fungsi siding pertama hanya acara tunggal, yaitu memerintahkan para pihak wajib lebih dahulu untuk menempuh proses mediasi.
b) Syarat Menyampaikan Perintah Syarat yang harus dipenuhi agar penyampaian perintah yang mewajibkan para pihak mesti lebih dahulu menempuh mediasi, diatur dalam pasal 2 ayat 3.
2) Hakim Wajib Menunda Persidangan Tindakan selanjutnya yang harus dilakukan oleh seorang hakim dalam tahap ini diatur dalam pasal 7 ayat (2), yaitu:
a) Hakim Wajib Menunda Persidangan Bersamaan dengan perintah yang mewajibkan para pihak lebih dahulu menempuh mediasi, hakim wajib menunda persidangan perkara. Secara mutlak hakim dilarang melakukan pemeriksaan perkara tetapi harus menundanya.
b) Memberi Kesempatan Menempuh Mediasi Pada saat hakim menyampaikan perintah agar para pihak harus lebih dahulu menempuh mediasi dibarengi dengan menuda pemeriksaan perkara, hakim harus menjelaskan bahwa meksud penundaan itu adalah dalam rangka memberi kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.
3) Hakim Wajib Memberi Penjelasan tentang Prosedur dan Biaya Mediasi
Tindakan berikutnya yang harus dilakukan oleh seorang hakim yaitu:
 a) Wajib Memberi Penjelasan Prosedur Mediasi :
Pada sidang pertama hakim juga wajib memberi penjelasan tata cara dan prosedur mediasi yang meliputi tata cara pemilihan mediator, cara pertemuan, perundingan, jadwal pertemuan, tenggang waktu berkenaan dengan pemilihan mediator, proses mediasi dan penendatanganan hasil kesepakatan.
b) Menjelaskan Biaya Mediasi Hakim juga wajib menjelaskan hal-hal yang brekenaan dengan biaya mediasi, terutama biaya yang disebut dalam pasal 10 ayat (3) dan (4), yaitu: (a) Bila mediasi dilakukan ditempat lain, biaya ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan. (b) Bila mediator yang disepakati bukan hakim tetapi berasal dari luar lingkup daftar mediator yang ada di pengadilan, biaya mediator tersebut ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan para pihak.
 4) Wajib memilih mediator
Tata cara pemilihan mediator diatur dalam pasal 8 yaitu:
a. Para pihak berhak memilih mediator. Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut:
i. . Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan;
ii.  Advokat atau akademisi hukum;
iii. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa;
iv. Hakim majelis pemeriksa perkara;
v. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d. Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri.
b. Tidak tercapai kesepakatan Apabila para pihak atau kuasa mereka tidak menghasilkan kesepakatan dalam memilih mediator sampai batas waktu yang telah ditetapkan, para pihak wajib memilih mediator dari daftar pengadilan yang telah tersedia. Hak para pihak untuk memilih mediator dari luar pengadilan telah tertup.
c. Ketua majelis berwenang menunjuk mediator Jika para pihak gagal memilih mediator dari daftar maupun luar daftar mediator yang disediakan pengadilan, kemudian gagal pula memilih mediator dari daftar pengadilan dalam waktu satu hari kerja sebagai tindak lanjut dari kegagalan pertama maka penunjukan mediator dilimpahkan kewenangannya kepada ketua majelis hakim yang memriksa perkara secara ex-officio, yang dituangkan ke dalam penetapan.
1. Proses Mediasi oleh Mediator Luar
Perlakuan khusus proses mediasi yang menggunakan mediator di luar daftar mediator yang dimiliki pengadilan. Perlakuan tersebut mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. Proses mediasinya 40 hari
b. Tindakan para pihak selanjutnya adalah menghadap kembali pada hakim yang memeriksa perkara dan meminta penetapan akta perdamaian atau menyatakan pencabutan gugatan apabila proses mediasi mengahasilkan kesepakatan.
I. Tahap Mediasi Tahap mediasi terdiri atas[9]
1. Para Pihak Wajib Menyerakan Foto Kopi Dokumen
Setelah mediator terpilih atau ditunjuk, para pihak wajib menyerahkan foto kopi dokumen yang memuat duduk perkara dan fotokopi surat-surat yang diperlukan paling lambat dalam jangka waktu tujuh hari kerja terhitung dari tanggal para pihak memilih mediator atau ketua mejelis menunjuk mediator. Penyerahan dokumen ini tidak hanya kepada mediator tetapi juga kepada pihak lain, artinya para pihak secara timbale balik saling menyerahkan dikumen dan surat-surat yang dimaksud.
2. Kewajiban dan Peran Mediator
Setelah para pihak saling memberikan dokumen perkara, selanjutnya adalah mediator menentukan jadwal pertemuan yang benar-benar realistis dan harus dihadiri oleh para pihak dengan atau tanpa di dampingi oleh kuasa hukum mereka. Mediator juga dapat melakukan kaukus apabila dianggap perlu dan mengundang ahli dengan syarat-syarat disetujui oleh para pihak.
3. Sistem Proses Mediasi
Sistem proses mediasi dibedakan kedalam 2 sistem, yaitu:
a. Tertutup untuk umum Sistem ini merupakan prinsip dasar. dalam pasal 6 disebutkan: “proses mediasi pada asasnya tertutup untuk umum, kecuali para pihak menghendaki lain”.
b. Terbuka untuk umum atas persetujuan para pihak Kebolehan melakukan proses pertemuan mediasi terbuka untuk umum, menurut pasal 6 pula, kecuali para pihak menghendaki lain”. Dalam arti para pihak menyetujui dan kehendak atau persetujuan itu harus dinyatakan dengan tegas.
4. Mediasi Mengahasilkan Kesepakatan Apabila mediasi menghasilkan kesepakatan, maka para pihak wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis dengan dibantu oleh mediator dan ditandatangani oleh para pihak setelak kesepakatan tersebut diperiksa oleh mediator untuk menghindari terjadinya kesepakatan yang betentangan dengan hukum. Dalam kesepakatan ini, wajib dicantumkan klausula-klusula pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai.
5. Proses Mediasi Gagal
Apabila proses mediasi gagal, yaitu dalam jangka waktu yang telah ditentukan (40 hari kerja) dan telah dipenpanjang selama 14 hari atas namun mediasi tidak menghasilkan kesepakatan maka mediator wajib memberitahukan kegagalan tersebut kepada hakim secara tertulis. Setelah menerima pemberitahuan tersebut maka hakim segera melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.
Ada dua pilihan ketika mediasi mengalami kegagalan, dalam kaitannya dengan kelanjutan proses tersebut, yakni:
1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, jika upaya mediasi tidak dapat dicapai, para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan upaya penyelesaian melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.[10]
2. Berdasarkan Perma Nomor 01 Tahun 2008, jika dalam waktu yang telah ditetapkan, mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan tersebut kepada hakim di Pengadilan Negeri yang sedang menangani perkara tersebut, selanjutnya akan melalui persidangan di pengadilan.
Pelaksanaan mediasi di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama atau tempat lain yang disepakati oleh para pihak. Pada dasarnya tidak ada pembebanan biaya apapun dari pengadilan untuk proses mediasi. Apabila mediasi dilaksanakan di ruang pengadilan tingkat pertama tidak dikenakan biaya, sebaliknya jika mediasi dilakukan di tempat lain, maka pembiayaan dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan.[11]
Pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih dahulu dibebankan kepada pihak penggugat melalui uang panjar biaya perkara. Pada saat mencapai kesepakatan, maka biaya pemanggilan para pihak ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan para pihak itu sendiri, namun jika mediasi gagal, pembebanan biaya pemanggilan diberikan kepada pihak yang oleh hakim dihukum membayar biaya perkara.[12]
Penggunaan jasa mediator dari kalangan hakim tidak ada pemungutan biaya. Akan tetapi penggunaan mediator yang bukan berasal dari hakim pembayaran biaya ditanggung bersama oleh para pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak. Pembiayaan untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam proses mediasi ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.[13]
E. Upaya Perdamaian
Perdamaian yang demikian ini dilaksanakan pada saat mediasi mengalami kegagalan. Pada tiap tahapan pemeriksaan pengadilan, dari pemeriksaan awal sampai sebelum putusan, dibuka seluas-luasnya untuk usaha perdamaian. Pada pasal 21 Perma No. 01 Tahun 2008 disebutkan:
“Para pihak, atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus.”
Hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mengusahakan agar tetap tercipta perdamaian yang dimaksud. Penyampaian keinginan para pihak untuk berdamai harus disampaikan kepada hakim pemeriksa perkara dan berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja, sejak hari penyampaian tersebut.
Upaya perdamaian dapat diajukan para pihak secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama terhadap perkara yang sedang diproses atau diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus. Hakim pemeriksa pada tingkatan itu wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama 14 (empat belas) hari kerja sejak menerima pemberitahuan tentang kehendak para pihak menempuh perdamaian. Mengenai tempat pelaksanaannya dilaksanakan padapengadilan di tingkat pertama atau tempat lain atas persetujuan para pihak.
F. Daya Mengikat Kesepakatan Mediasi
Konsekuensi logis dari penerapan mediasi dalam proses penyelesaian sengketa di pengadilan yakni kesepakatan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sekaligus penyelesaian itu harus selesai dalam tingkat peradilan pertama atau dengan kata lain tidak dapat diajukan banding. Oleh sebab itu pelaksanaannya tidak dapat terlepas dari Pasal 130 HIR/154 RBg terutama ayat 2 dengan penyebutannya sebagai berikut:
“Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat(akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu,surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.”
Dalam tingkatan ini juga dikuatkan dengan pernyataan pasal 130 HIR/154 RBg ayat 3 yang berbunyi:“Keputusan yang sedemikian tidak diizinkan banding.” Dasar hukum di atas menegaskan kesepakatan yang dicapai oleh para pihak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan hasil putusan dalam proses pengadilan. Jadi para pihak diwajibkan untuk menepati hasil kesepakatan serta tidak dapat diajukan banding atas hasil kesepakatan mediasi tersebut.
Para pihak dengan bantuan mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian. Dengan cara mengajukan gugatan yang dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa.
Syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian, sebagai berikut:[14]
a. sesuai kehendak para pihak;
b. tidak bertentangan dengan hukum;
c. tidak merugikan pihak ketiga;
d. dapat dieksekusi;
e. dengan itikad baik.
Dalam hal perkara yang telah berhasil mendapatkan kesepakatan perdamaian ini tidak dibenarkan untuk mengajukan gugatan pada kasus yang sama karena pasti dinyatakan ne bis in idem. Mediasi yang demikian hanya mengikat kedua belah pihak dan karena itu apabila salah satu pihak tidak mentaatinya, persoalan tetap harus diajukan ke depan persidangan pengadilan (litigasi).








http://mediasidalamperkaraperdata.blogspot.com/


IV.      Surat Kuasa
Kuasa merupakan suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seseorang lain yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan (Pasal 1792 KUHPerdata). Dengan kata lain, pemberian kuasa adalah suatu persetujuan mengenai pemberian kekuasaan/wewenang (lastgeving) dari satu orang atau lebih kepada orang lain yang menerimanya (penerima kuasa) guna menyelenggarakan/melaksanakan sesuatu pekerjaan/urusan (perbuatan hukum) untuk dan atas nama (mewakili/mengatasnamakan) orang yang memberikan kuasa (pemberi kuasa). Pada pokoknya, pemberian kuasa merupakan suatu persetujuan “perwakilan” melaksanakan perbuatan hukum tertentu. Dalam praktek, pemberian kekuasaan tidak terbatas hanya dapat dilakukan dari seseorang kepada seseorang lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1792 KUHPerdata tersebut di atas. Tapi, dapat dilakukan dari satu orang atau lebih pemberi kuasa kepada satu orang atau lebih penerima kuasa. Tidak semua perbuatan hukum dapat dikuasakan atau diwakilkan kepada orang lain. Misalnya, mengangkat anak/adopsi, membuat wasiat/testament (Pasal 932 KUHPerdata), melangsungkan perkawinan kecuali ada alasan kuat/penting (Pasal 79 KUHPerdata). Pasal 1793 KUHPerdata menyebutkan beberapa bentuk pemberian kuasa, yakni : pemberian kuasa otentik (akta otentik), pemberian kuasa dibawah tangan (akta dibawah tangan), pemberian kuasa dengan sepucuk surat biasa, pemberian kuasa lisan dan pemberian kuasa diam-diam. Pemberian kuasa otentik (akta otentik) adalah pemberian kuasa yang dibuat oleh dan/atau dihadapan pejabat umum yang berwenang (Notaris) dan kuasa seperti ini kekuatan pembuktian formil yang sempurna.
A.    Pengertian Surat Kuasa Secara Umum
Surat Kuasa pada umumnya telah datur dalam Bab  XVI, Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1792 s/d 1819, sedangkan secara khusus telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yaitu sebagaimana pada pasal 123 HIR. Pengertian surat kuasa sebagaimana pasal 1972 KUH Perdata, berbunyi bahwa :
“Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.
Dari pasal tersebut, ada dua pihak yaitu pemberi kuasa dan penerima kuasa, keduanya telah mengadakan persetujuan, pemberi kuasa memberikan atau melimpahkan sesuatu urusannya kepada pihak penerima kuasa untuk melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang telah ditentukan dalam surat kuasa tersebut, hal mana penerima kuasa bertanggung jawab melakukan perbuatan sepanjang yang dikuasakan dan tidak melebihi kewenangan yang diberikan dari pemberi kuasa.
B.     Jenis Surat Kuasa
Pemberian kuasa terbagi atas 2 (dua) jenis, yakni: pemberian kuasa secara umum dan pemberian kuasa secara khusus yang diatr pada Pasal 1795 KUHPerdata.
1.      Surat Kuasa Umum
Kuasa umum sebagaimana pasal 1795 disebutkan bahwa : “ Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus yaitu mengenai hanya satu kepetingan tertentu atau lebih, atau secara umum yaitu meliputi segala kepentingan sipemberi kuasa”.
Berdasarkan pasal tersebut kuasa umum bertujuan pemberian kuasa pada seseorang adalah untuk mengurus kepentingannya, yaitu :
i. Melalukan tindakan pengurusan yang diberikan kepadanya;
ii.  Pengurusan yang berhubungan dengan kepentingan pemberi kuasa;
iii. dan titik berat kuasa umum hanya meliputi perbuatan penguruan pemberi kuasa.
Ditinjau dari segi hukum surat kuasa umum ini tidak dapat  dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa, karena sifatnya umum meskipun hanya satu persoalan yang dikuasakan secara khsus namun bukan untuk tampil di depan sidang Pengadilan.
2.      Surat Kuasa Khusus
Dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia, apabila seseorang ingin mengajukan suatu gugatan perdata di pengadilan negeri mengenai permasalahan hukum yang berkaitan dengan pemenuhan prestasi dalam perjanjian atau pun perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum terhadap dirinya, dan dia bermaksud menunjuk seorang atau lebih advokat sebagai penerima kuasanya dalam mewakili dan/atau memberikan bantuan hukum pada proses pemeriksaan perkara di persidangan, maka orang tersebut harus memberikan kuasa kepada advokat yang ditunjuk dalam bentuk Surat Kuasa Khusus yang dibuat dan ditandatangani serta diperuntukkan khusus untuk itu. Hal pemberian Kuasa dengan Surat Kuasa Khusus yang demikian ini, berlaku pula bagi pihak yang digugat oleh pihak lain, yang pada akhirnya diwakili oleh seorang advokat sebagai penerima kuasa.
C.    Bentuk Pemberian Kuasa Khusus Ditinjau dari Cara Pemberiannya
Sebagaimana pasal 123 HIR disebutkan bahwa : ” Bila dikehendaki, kedua belah pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa, yang dikuasakannya untuk melakukan itu dengan surat kuasa teristimewa, kecuali kalau  yang memberi kuasa itu sendiri hadir, Penggugat dapat juga memberi kuasa itu dalam surat pemintaan yang ditandatanganinya dan dimasukkan menurut ayat pertama pasal 118 atau  jika gugatan dilakukan dengan lisan menurut pasal 120 maka dalam hal terakhir ini, yang demikian itu harus disebutkan dalam catatan yang dibuat surat gugat ini”.
Berdasarkan  pasal ini, seseorang dapat mewakilkan perkaranya di depan Pengadilan untuk mengurus kepentingannya, dan dalam mewakilkan ini dapat berbentuk:
a.       Kuasa secara lisan.
Kuasa secara lisan dapat dilakukan sekaligus bersamaan dengan pengajuan gagatan bila Penggugat seorang yang buta huruf, dimana kehendak mengajukan gugatan dan pemberian kuasa secara lisan kemudian diformulasikan dengan bentuk tulisan oleh Ketua  Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk untuk mencatatnya sebagaimana ketentuan pasal 120 HIR.
Kuasa yang ditunjuk di depan persidangan saat perkaranya berlangsung, hal ini diperbolehkan dengan syarat, bahwa penunjukan tersebut dilakukan secara tegas dan jelas, kemudian Ketua Majelis Hakim memerintahkan pada Panitera Pengganti untuk mencatatnya dalam berita acara. Penunjukan semacam ini dianggap sah dan memenuhi syarat formal sebagai kuasa untuk mewakili di depan persidangan.
Pemberian Kuasa secara lisan ini dari segi waktu pemberian kuasa, terdiri dari dua bagian yaitu:
i.                    Pemberian Kuasa yang dinyatakan di depan Ketua Pengadilan.
Bentuk ini hanya berlaku bagi Penggugat yang buta huruf, yaitu ketika Penggugat mengajukan gugatan secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan, Penggugat sekaligus menunjuk kuasa untuk mewakilinya. Yaitu Penggugat menyampaikan kepada Ketua Pengadilan mengenai identitas penerima kuasa dan menyampaikan kewenangan-kewenangan yang dikuasakan oleh Penggugat kepada penerima kuasa itu.
Selanjutnya peristiwa pemberian kuasa itu, dicatat oleh Ketua Pengadilan ke dalam gugatan yang yang dibuatnya.
Dalam bentuk yang seperti ini, pemberian kuasa sudah dianggap memenuhi syarat-syarat pemberian kuasa sebagaimana yang tersebut di muka, karena mengenai identitas pihak-pihak yang berperkara dan objek perkara, telah jelas disebutkan dalam gugatan yang disampaikan secara lisan itu. Terlebih mengenai di Pengadilan mana diajukan, secara nyata Penggugat telah menghadap secara langsung kepada Ketua Pengadilan di mana perkara tersebut diajukan.
ii.                  Pemberian Kuasa yang dinyatakan di muka persidangan.
Bentuk            ini berlaku bagi semua pihak, baik Penggugat, Tergugat, maupun turut Tergugat, asalkan pemberian kuasa itu dinyatakan di depan Majelis Hakim dengan kata-kata yang tegas (expressis verbis) di persidangan. Yaitu dengan cara menyampaikan kepada Ketua Pengadilan mengenai identitas penerima kuasa dan menyampaikan kewenangan-kewenangan yang dikuasakannya kepada penerima kuasa itu. Selanjutnya peristiwa pemberian kuasa itu dicatat dalam BAP.
Dalam bentuk yang seperti ini, pemberian kuasa sudah dianggap memenuhi syarat-syarat pemberian kuasa sebagaimana yang tersebut di muka, karena dengan cara ini berarti pemberian kuasa dilakukan pada saat perkara telah didaftarkan/ surat gugatan telah terdaftar, sehingga mengenai identitas pihak-pihak yang berperkara, objek perkara, dan di pengadilan mana perkara diajukan, telah jelas sebagaimana yang dimaksud dalam perkara yang bersangkutan.

b. Kuasa secara tertulis.
a. Kuasa yang ditunjuk dalam surat gugatan.
Kuasa  ini oleh pihak Penggugat dalam surat gugatannya sekaligus ditunjuk kuasanya, dan ini yang berkembang hingga sekarang, cuman pencantuman dan penjelasannya dalam surat gugatan itu  didasarkan pada surat kuasa khusus.
Surat kuasa khusus ini semula sangat sederhana yaitu cukup menunjuk kuasa dari pemberi kuasa yang berisi memberi kuasa kepada seseorang untuk mewakilinya menghadap di semua Pengadilan, kemudian dengan perkembangan hukum di Indonesia yang sangat pesat, surat kuasa khusus telah dibenahi dan disempurnakan oleh Mahkamah Agung dengan dikeluarkan surat-surat edaran dimana surat kuasa khusus tersebut harus memenuhi  persyaratan sehingga  dapat dipergunakan untuk mewakili seseorang di depan persidangan.
1)      Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor : 2 tahun 1959 tanggal 19 Januari 1959
Surat kuasa khusus dianggap memenuhi ketentuan pasal 123 HIR, yaitu :
-    Menyebutkan  dengan jelas dan  spesifik surat kuasa untuk berperan di Pengadilan;
-    Menyebutkan identitas dan kedudukan para pihak (Penggugat / Tergugat);
-    Menyebutkan secara ringkas dan konkrit pokok dan obyek sengketa yang diperkarakan antara pihak yang berperkara;
-    Menyebutkan kompetensi relatif, yakni: di PA / PN mana kuasa tersebut akan dipergunakan untuk mewakili pemberi kuasa.
Persyaratan tersebut merupakan syarat komulatif, sehingga apabila tidak terpenuhinya syarat tersebut, surat kuasa khusus ini cacat formil, sehingga surat kuasa tidak sah, berakibat surat gugatan juga tidak sah dan dengan sendirinya gugatan tidak dapat diterima.
2)      Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor : 5 tahun 1962 tanggal 30 Juli
Surat edaran ini memberi petunjuk pada Hakim untuk menyempurnakan surat kuasa sesuai dengan SEMA No. 2 tahun 1959, yaitu dengan memanggil pemberi kuasa atau kuasa hukumnya untuk menyempurkan surat kuasanya, jika tidak bersedia memperbaiki tentunya surat kuasa tersebut tidak memenuhi persyaratan perkara tidak dapat diterima.
3)      Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor : 1 tahun 1971 tanggal 23 Januari
Surat edaran ini merupakan penegasan kembali  terhadap surat kuasa khusus  dan mereka dianggap telah mengetahui persyaratan surat kuasa khusus, dan apabila terjadi ada surat kuasa khusus yang tidak memenuhi persyaratan hakim tidak perlu memperingatkan untuk disempurnakan;

4)      Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor : 6 tahun 1994 tanggal 14 Oktober 1994 (foto copy terlampir).
Pada dasarnya, substansi dan jiwa SEMA Nomor : 6 tahun 1994 ini sama dengan SEMA Nomor : 2 tahun 1959 dan No. 1 tahun 1971 oleh karena itu syarat yang disebutkan didalanya sama dengan  SEMA No. 2 tahun 1959.
Surat kuasa khusus dapat dibuat antara kedua belah pihak, tidak harus di depan Notaris atau panitera, dan yang perlu diperhatikan adalah :
(a)    Harus menyebut subyek, identitas para pihak harus jelas, baik pemberi kuasa, penerima kuasa dan pihak yang hendak digugat, (harus mencantumkan Rt. / Rw, Desa / Kelurahan, Kecamatan dan Kabupaten / Kota),
(b)   Harus menyebut obyeknya dengan jelas, apa saja yang hendak dikuasakan untuk digugat, banyak pengacara yang mengabaikan ini, semisal kuasa hukumnya menerima kuasa dalam sarat kuasa hanya mengajukan cerai gugat, namun dalam surat gugatannya banyak sekali yang digugat, ada khadlonah, harta bersama, nafkah terhutang dsb.
(c)    Antara surat kuasa dengan surat gugatan hendaknya tanggal pembuatannya dibedakan, jangan sama tanggalnya, karena tidak dapat dibedakana kapan pembuatannya.
(d)   Jika penerimaan surat kuasa perkara telah berlangsung, dalam surat kuasa dapat / cukup menunjuk nomor perkaranya, dan jika penerima kuasa sebagai Tergugat  dan hendak mengajukan gugatan rekonpensi obyek sengketanya yang akan diajukan harus dijelaskan pula.
(e)    Ketidakjelasan  tersebut di atas menjadikan surat kuasa cacat dan perkara tidak dapat diterima. (lihat Putusan MA No. 3412 K/Pdt/1983 tanggal 24 Agustus 1983).
c. Surat kuasa Istimewa.
Pasal 1796 KUH Perdata, menyebutkan bahwa : “Pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Untuk memindahtangankan benda-benda atau untuk meletakkan hipotik di atasnya, atau lagi untuk membuat suatu perdamaian, ataupun sesuatu perbuatan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas”, ini mengatur pemberian kuasa istimewa yang dapat dikaitkan dengan pasal 157 HIR / 184 RBG.
Surat kuasa khusus terdapat juga dalam bentuk Surat Kuasa istimewa ini adalah surat kuasa yang dibuat hanya terbatas untuk tindakan tertentu yang sangat penting, perbuatan hukum tersebut hanya dapat dilakukan oleh dirinya sendiri, dan tidak dapat dilakukan oleh kuasa bersdasarkan surat kuasa biasa dan untuk menghilangkan ketidakbolehan tersebut dibuatlah surat istimewa sehingga  suatu tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh  yang bersagkutan secara peribadi dapat diwakilkan pada kuasanya seperti, sumpah decisoir eed/penentu, Pengucapan ikrar talak di depan persidangan, atas surat kuasa istimewa ini, Hakim dapat memberi ijin kepada kuasa untuk mengucapkanya, sesuai bunyi sumpah / ikrar talak yang akan diucapkan kuasa. Surat kusa istimewa ini harus berbentuk Akta Otentik yaitu yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris / Panitera.
D.    Hak dan Kewajiban Para Pihak (Pemberi dan Penerima Kuasa)
KUHPerdata tidak memerinci hak-hak pemberi kuasa dan penerima kuasa, hanya mengenai kewajiban-kewajiban penerima kuasa dan pemberi kuasa (Pasal 1800-1803, Pasal 1805 dan Pasal 1807-1811 KUHPerdata). Namun demikian, dari ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban-kewajiban tersebut, mengandung pemahaman sebaliknya mengenai hak-hak pemberi kuasa dan penerima kuasa. Khusus untuk hak penerima kuasa sebagai berikut :
Penerima kuasa berhak untuk memperhitungkan/memperoleh upah meskipun hakekat pemberian kuasa terjadi secara cuma-cuma/gratis (Pasal 1794 KUHPerdata). Jika diperjanjikan, besarnya upah sesuai dengan yang disebutkan dalam perjanjian antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Sebaliknya, jika tidak diperjanjikan, maka berlaku Pasal 411 KUHPerdata, yang berbunyi “Semua wali, kecuali bapak atau ibu dan kawan wali, diperbolehkan memperhitungkan sebagai upah tiga perseratus dari segala pendapatan, dan dua perseratus dari segala pengeluaran dan satu setengah perseratus dari jumlah-jumlah uang modal yang mereka terima, kecuali mereka lebih suka menerim upah yang kiranya disajikan bagi mereka dengan surat wasiat, atau dengan akta otentik tersebut dalam Pasal 355; dalam hal demikian mereka tidak boleh memperhitungkan upah yang lebih”.
Penerima kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberi kuasa yang berada ditangannya hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat dituntutnya akibat pemberian kuasa (Pasal 1812 KUHPerdata). Hak ini disebut dengan hak retensi.
Adapun kewajiban-kewajiban penerima kuasa dan pemberi kuasa berdasarkan Pasal 1800-1803, Pasal 1805 dan Pasal 1807-1811 KUHPerdata, sebagai berikut:
a.      Kewajiban Penerima Kuasa
Melaksanakan kuasanya dan bertanggung jawab atas segala biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa serta wajib menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal dunia dan dapat menimbulkan kerugian jika tidak segera diselesaikannya.
1.      Bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan atas kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya.
2.      Memberi laporan kepada penerima kuasa tentang apa yang telah dilakukan serta memberikan perhitungan tentang segala sesuatu yang diterimanya berdasarkan kuasanya, sekalipun apa yang diterima itu tidak harus dibayar kepada penerima kuasa.
3.      Bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya bila tidak diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya dan bila kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu, sedangkan orang yang dipilihnya ternyata orang yang tidak cakap atau tidak mampu.
4.      Membayar bunga atas uang pokok yang dipakainya untuk keperluannya sendiri, terhitung dari saat ia mulai memakai uang itu, begitu pula bunga atas uang yang harus diserahkan pada penutupan perhitungan, terhitung dari saat ia dinyatakan lalai melakukan kuasa.

b.      Kewajiban Pemberi Kuasa
Memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa menurut kekuasaan yang telah diberikannya kepada penerima kuasa. Jika sebaliknya (kecuali disetujuinya), maka pemenuhan beserta segala sebab dan akibat dari perikatan-perikatan tersebut menjadi tanggung jawab penerima kuasa sepenuhnya.
1.      Mengembalikan persekot dan biaya yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa untuk melaksanakan kuasanya, begitu pula membayar upahnya bila tentang hal ini telah diadakan perjanjian, sekali pun penerima kuasa tidak berhasil dalam urusannya, kecuali jika penerima kuasa melakukan suatu kelalaian.
2.      Memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian-kerugian yang dideritanya sewaktu menjalankan kuasanya, asal dalam hal itu penerima kuasa tidak bertindak kurang hati-hati.
3.      Membayar bunga atas persekot yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa, terhitung mulai hari dikeluarkannya persekot itu.
Bertanggung jawab untuk seluruhnya (tanggung renteng/tanggung menanggung) mengenai segala akibat dari pemberian kuasa terhadap penerima kuasa yang diangkat oleh beberapa orang pemberi kuasa untuk menyelenggarakan suatu urusan yang harus mereka selesaikan secara bersama.
E.    Berakhirnya Surat Kuasa
Berdasarkan Pasal 1813 KUHPerdata, pemberian kuasa berakhir :
1.      Dengan Penarikan Kembali Kuasa Penerima Kuasa;
Pemberi kuasa bukan hanya dapat menarik kembali kuasanya bila dikehendakinya, tapi dapat pula memaksa pengembalian kuasa tersebut jika ada alasan untuk itu. Terhadap pihak ketiga yang telah mengadakan persetujuan dengan pihak penerima kuasa, penarikan kuasa tidak dapat diajukan kepadanya jika penarikan kuasa tersebut hanya diberitahukan kepada penerima kuasa. Pengangkatan penerima kuasa baru untuk menjalankan urusan yang sama menyebabkan penarikan kembali kuasa atas penerima kuasa sebelumnya terhitung sejak hari (tanggal) diberitahukannya pengangkatan penerima kuasa baru tersebut.
2.      Dengan Pemberitahuan Penghentian Kuasanya Oleh Penerima Kuasa;
Pemegang kuasa dapat membebaskan diri dari kuasanya dengan memberitahukan penghentian kuasanya kepada pemberi kuasa dan pemberitahuan tersebut tidak mengesampingkan kerugian bagi pemberi kuasa kecuali bila pemegang kuasa tidak mampu meneruskan kuasanya tersebut tanpa mendatangkan kerugian yang berarti.
3.      Dengan Meninggalnya, Pengampuan Atau Pailitnya, Baik Pemberi Kuasa Maupun Penerima Kuasa;
Setiap perbuatan yang dilakukan pemegang kuasa karena ketidaktahuannya tentang meninggalnya pemberi kuasa adalah sah dan segala perikatan yang dilakukannya dengan pihak ketiga yang beritikad baik, harus dipenuhi terhadapnya.
4.      Dengan Kawinnya Perempuan Yang Memberikan Atau Menerima Kuasa (sudah tidak berlaku lagi).
Selain karena alasan-alasan yang disebutkan dalam Pasal 1813 KUHPerdata, berakhirnya pemberikan kuasa dapat pula terjadi karena telah dilaksanakannya kuasa tersebut dan karena berakhirnya masa berlaku atau jangka waktunya.













http://www.hukumacaraperdata.com/tag/surat-kuasa-khusus/
V.             Surat Gugatan
A.    Pengertian tentang Gugatan
Menurut RUU Hukum Acara Perdata pada Pasal 1 angka 2, gugatan adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, gugatan/tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah  main hakim sendiri (eigenrichting). Darwan Prinst juga berpendapat bahwa gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh pengadilan serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut[15].
B .Bentuk-bentuk surat gugatan
Bentuk gugatan perdata yang dibenarkan undang-undang dalam prakatik dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Berbentuk lisan
Bentuk gugatan lisan diatur dalam pasal 120 HIR (pasal 144 RBG) yang menegasakan:
Bilamana penggugat buta huruf maka surat giugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya.
Ketentuan ini dibuat untuk mengakomodasi kepentingan anggota masayarakat buta huruf yang sangat besar jumlahnya pada masa pembentukan ketentuan ini. Ketentuan ini sangat bermanfaat membantu masyarakat buta huruf yang tidak mampu membuat dan memformulasi gugatan tertulis. Mereka dapat mengajukan gugatan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang oleh undang-undang diwajibkan untuk mencatat dan menyuruh catat gugat lisan, dan selanjutnya Ketua PN memformulasinya dalam bentuk tertulis. Selain itu, ketentuan ini melepasakan rakyat kecil yang tidak mampu menunjuk seorang kuasa atau pengacara, karena tanpa bantuan pengacara dapat memperoleh bantuan pertolongan dari Ketua PNuntuk membuat gugatan yang diinginkannya.
Tanpa mengrangi penjelasan diatas, ada pihak yan berpendapat, ketentuan ini tidak relevan lagi. Bukankah tingkat kecerdasan masyarakat sudah jauh meningkat dibanding masa lalu. Namun demikian, memperhatikan luasanya Indonesia, serta tingkat kecerdasan yang tidak merata terutama di pelosok pedesaan, dihubungkan dengan mahalnya biaya jasa pengacara, ketentuan Pasal 120 HIR, dianggap masih perlu dipertahankan dalam pembaruan hukum acara perdata yang akan datang. Terlepas dari hal diatas, terdapat beberapa segia yang perlu dibicarakan mengenai pengajuan gugatan secara lisan. Yang terpenting diantaranya adalah sebagai berikut

2. Bentuk tertulis
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR (Pasal 142 RBG). Menurut pasal ini gugatan perdata harus dimasukkan kepada PN dengan surat permintaan yang ditanda tangani oleh penggugat atau kuasanya. Memperhatikan ketentuan ini, yang berhak dan berwenang membuat dan mengajukan guagatan perdata adalah sebagai berikut :
1.      Penggugat sendiri
2.       Kuasa

C.    Elemen dan Syarat Surat Gugatan

Secara umum dan teoritis dalam membuat suatu surat gugatan menurut pandangan doktrina dikenal adanya dua buah pola penyusunan yaitu[16] :
1.      Substantierings Theorie yaitu dimana teori ini menyatakan bahwa gugatan selain harus menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hokum tersebut. Bagi penggugat yang menuntut suatu benda miliknya misalnya dalam gugatan tidak cukup hanya menyebutkan bahwa ia adalah pemilik benda itu, tetapi juga harus menyebutkan sejarah pemilikannya, misalnya karena membeli, mewaris, hadiah dsb. Teori sudah ditinggalkan
2.      Individualiserings Theorie yaitu teori ini menyatakan bahwa dalam dalam gugatan cukup disebutkan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan, tanpa harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului dan menjadi sebab timbulnya kejadian-kejadian hokum tersebut. Bagi penggugat
 yang menuntut suatu benda miliknya, misalnya dalam gugatan cukup disebutkan bahwa ia adalah pemilik benda itu. Dasar terjadinya atau sejarah adanya hak milik atas benda itu padanya tidak perlu dimasukan dalam gugatan karena ini dapat dikemukakan di persidangan. pengadilan dengan disertai bukti-bukti. Teori ini sesuai dengan system yang dianut dalam HIR/Rbg, dimana orang boleh beracara secara lisan, tidak ada kewajiban menguasakan kepada ahli hukum dan hakim bersifat aktif.

Berdasarkan ketentuan pasal 8 ayat 3 Rv maka syarat-syarat surat gugatan berisikan aspek-aspek sebagai berikut[17] :
Syarat-syarat surat gugatan
1. Ditujukan (dialamatkan) kepada PN sesuai kompetensi relative
Surat gugatan secara formil harus ditujukan dan dialamatkan kepada PN sesuai dengan kompetensi relatif. Harus tegas dan jelas tertulis PN yang dituju, sesuai dengan patokan kompetensi relatif yang diatur dalam Pasal 118 HIR. Apabila surat gugatan salah alamat atau tidak sesuai dengan kompetensi relatif :
-          Mengakinatkan gugatan mengalami cacat formil , karena gugatan disampaikan dan dialamatkan kepada PN yang berada di luar wilayah hukum yang memeriksa dan mengadilinya.
-          Dengan demikian gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verkland) atas alasan hakim tidak berwenang mengadili
2. Diberi Tanggal
Bertitik tolak dari ketentuan pasal 118 ayat (1) HIR dihubungkan dengan pengertian akta sebagai alat bukti pada dasarnya tidak mewajibkan pencantuman tanggal sebagai syarat formil. Oleh karena ditinjau dari segi hukum :
1.       Pencantuman tanggal, tidak imperatif dan bahkan tidk merupakan syarat formil surat gugatan
2.       Dengan demikian, kelalaian atas pencantuman tanggal, tidak mengakbatkan surat gugatan mengandung cacat formil
3.       Surat gugatan yang tidak mencantumkan tanggal, sah menurut hukum, sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk menyataka gugatan tidak dapat diterima.
Namun demikian, sebaikanya dicantumkan guna menjamin kepastian hukum atas pembuatan dan penandatanganan surat gugatan, sehingga apabila timbul masalah penandatanganan surat gugatan berhadapan dengan tanggal pembuatan dan penanda tanganan surat kuasa , segera dapat diselesaikan.
3. Ditandatangani penggugat atau Kuasa
1. Tanda tangan ditulis dengan tangan sendiri.
2. Cap jempol disamakan dengan tanda tangan dengan berdasarkan St. 1919-776
4. Identitas para pihak
Penyebutan identitas dalam surat gugatan, merupakan syarat formil keabsahan gugatan. Surat gugatan yang tidak menyebut identitas tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada. Syarat identitas yang harus disebut dalam surat gugatn bertitik tolak dari ketentuan pasal 118 ayat (1) HIR, identitas yang harus dicantumkan cukup memadai sebagai dasar untuk
Menyampaikan panggilan  atau Menyampaikan pemberitahuan.
Dengan demikian, oleh karena tujuan utama pencantuman identitas agar dapat disampaikan panggilan dan pemberitahuan, identitas yang wajib disebut, cukup meliputi :
a.       Nama Lengkap
-          Nama terang dan lengkap, termasuk gelar atau Alias (jika ada)
-          Kekeliruan penyebutan nama yang serius.
-          Penulisan nama tidak boleh didekati secara sempit atau kaku (Strict Law) tetapi harus dengan lentur (Flexible)
-          Penulisan nama perseroan harus lenkap dan terang
-          Alamat atau tempat tinggal
-          Penyebutan identitas lain tidak imperative


5. Fundamentum Petendi
Fundamentum petendi berarti dasar gugatan atau dasar tuntutan (grondslag van de lis). Dalam praktik peradilan terdapat beberapa istilah yang akrab digunakan, antara lain
1.       Positum atau bentuk jamak disebut posita gugatan, dan
2.   Dalam bahasa Indonesia disebut dalil gugatan.
a. unsur fundamentum petendi
Fundamentum petendi yang dianggap lengkap memnuhi syarat, memuat dua unsur:
1) Dasar hukum (Rechtlijke Grond)
Memuat penegasan atau penjelasan mengenai hubungan hukum antara:
i. Penggugat dengan materi dan atau objek yang disengketakan, dan
ii.     Antara penggugat dan tergugat berkaitan dengan materi atau objek sengketa

2) Dasar fakta (Feitelijke Grond)
Memuat penjelasan pernyataan mengenai :
§ Fakta atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan atau disekitar hubungan hukum yang terjadi antara penggugat dengan materi atau objek perkara manapun dengan pihak tergugat.
§ Atau penjelasan fakta-fakta yang langsung berkaitan dengan dasar hukum atau hubungan hukum yang didalilkan penggugat
b. Dalil gugat yang dianggap tidak mempunyai dasar hukum
Beberapa masalah dalil gugatan yang dianggap tidak memenuhi atau tidak memiliki landasan hukum:
i. Pembebasan pemidanaan atas laporan tergugat, tidak dapat dijadikan dasar hukum menuntut ganti rugi
ii.  Dalil gugatan brdasarkan perjanjian tidak halal
iii.                Gugatan tuntutan ganti rugi atas pebuatan melawan hukum (PMH)
iv.                Dalil gugatan yang tidak berdasarkan sengketa, dianggap tidak mempunyai dasar hukuman
v.                  untutan ganti rugi atas sesuatu hasil yang tidak dirinci berdasarkan fakta dianggap gugatan yang tidak mempunyai dasar hukum.
vi.                Dalil gugatan yang mengandung saling pertentangan
vii.              Hak atas objek gugatan tidak jelas

6. Petitum Gugatan
Supaya gugatan syah dalam arti tidak mengandung cacat formil harus mencatumkan petitum gugatan yang berisi pokok tuntutan penggugat berupa deskripsi yang jelas menyebut satu-persatu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan penggugat yag harus dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat . Dengan arti lain petitum gugatan berisituntutan atau permintaan trhadap pengadilan untuk dinyatakan dan ditetapkan sebagai hak penggugat atau hukuman kepada tergugat atau kepadakedua belah pihak.
Cara penyusunan surat gugatan
a.       Substantiaring Theorie
Menghendaki agar penyusunan suatu surat gugatan itu menguraikan secara jelas dan nyata peristiwa-peristiwa hukum yang mendahuluinya.
b.      Individualstering Theorie
Menghendaki kejadian-kejadian yang disebutkan dalam surat gugatan cukup menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan, tidak perlu kejadian yang mendahului diuraikan dalam surat gugatan karena dapat dikemukakan pada sidang tahap pembuktian.






VI.        Surat Jawaban, Masuknya pihak ke-3 & Sita Jaminan
            Surat jawaban adalah suatu hal yang penting dalam hukum acara perdata dalam hal ini kita bisa melihat bahwa bahwa tahapan in dilakukan oleh tergugat, dari tututan hak yang diberikan oleh penggugat pada dirinya dan tahap selanjutnya adalah replik dan duplik dalam hal ini penulis akan membahas mengenai isiny dan dasar-dasar yang ada pada surat jawaban ini.
            Walaupun sebenarnya dalam surat jawaban itu sebaenar tidak ada keharusan di dalamnya dalam bentuk tertulis ataupun lisan didalamnya, dalam hal ini hanaya ada diatur  dalam pasal 121 ayat 2 HIR(pasal 145 ayat 2 Rbg) hanya menentukan bahwa tergugat dapat menentukan bahwa tergugat dapat menjawab baik secara tertulis maupun lisan[18].
            Dalam jawaban di dalamnya biasanya di bagi menjadi 2 bagian utama dalam jawaban ya saaat ini ,untuk menjawab dalam hal ini:
1.      Jawaban yang tidak lansung mengenai pokok perkara: isinya dialamnya mengenai eksepsi/ tangkisan/ Keberatan[19]
2.      Jawaban langsug mengenai pokok perkara: yang isinya mengenai pengakuan dan/atau penyangkalan dan/atau Referte (verweer ten principale)
            Dalam bahasan sealnjutanya akan dibahas mengenai isi bantahan yang ada pada bantahan tidak langsung  yang biasa disebut eksepsi yang iatur dalam pasal 136 HIR, dan menurut KBBI ( Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah sebagai berikut pengecualian; 2 Huk tangkisan atau pembelaan yg tidak menyinggung isi surat tuduhan (gugatan), tetapi berisi permohonan agar pengadilan menolak perkara yg diajukan oleh penggugat krn tidak memenuhi persyaratan hukum: dl perkara itu pembela mengajukan -- kpd jaksa krn terdakwa menderita penyakit jiwa. Dalam hal ini kita bisa melihat bahwa di dalamnya dalam hal ini eksepsepsi dibagi menjadi 2 pokok lagi , yaitu dalam hal ini , yaitu :
1.      Eksepsi prosesuil; adalah eksepsi yang didasarkan pada Hukum Acara Perdata pada dasarnya bisa dikatakan bahwa di dalamnyaa mengenai hal-hal yang bersifat formilnya. Termasuk dalam eksepsi ini misalnya:
  • eksepsi yang menyatakan hakim tidak berwenang memeriksa gugatan yang diajukan penggugat dalam hal ini dapat dibagi menjadi dua hal lagi , yaitudalam kompetensi relatif yang di atur dalam pasal 118 HIR[20] dan dalam hal ini kewenangan absolut yang diatur dalam pasal 134 HIR[21];
  • eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang diajukan penggugat sudah pernah diputuskan oleh hakim; (Nebis in indem)
  • eksepsi yang menyatakan bahwa penggugat tidak mempunyai kedudukan  sebagai penggugat  (eksepsi diskualifikasi);
  • dan sebagainya.
2.      Eksepsi materiil
Eksepsi materiil adalah eksepsi yang didasarkan pada hukum Perdata Materiil. Termasuk dalam eksepsi ini, antara lain adalah :
  • eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan penggugat belum sampai waktunya untuk diajukan  (dilatoire exceptie), jadi eksepsi yang bersipat menunda;
  • eksepsi yang bersifat menghalangi dikabulkannya gugatan penggugat (paremtoire excepsi), misalnya eksepsi yang menyatakan bahwa piutang yang dituntut oleh penggugat sudah hapus karena pembebasan atau karena kopensasi pembayaran. 
Ada beberapa contoh yang konkrit dalam yang sering terjadi dalam  sehingga tergugat melakauakaan eksepsi.
·         Gugatan yang diajukan pada pengadilan yang tidak berwewnang untuk mengadilai perkara tersebut, contohnya: Tergugat berdomisil di jakarata selataan , anamun gugatanya dimasukan ke pengadilan di Jakarta barat.
·         Gugataan salah alamat, karena dari gugatan dan juga didalam sana tidak punya hubungan hukum,contohnya A(penggugat) dan B (tergugat) A melakauakan perjanjian pinjam pakai kepada C, namun uangnya diapakai oleh B, namun B digugat A karena C tidak mau bertanggung jawab.
·         Penggugat bukan kualitasnya untuk menggugat, contohnya:A melakukan perjanjian pinjam pakai dengan B. karena A sakit, lalu C sebagaai sahabat karib A menggugat C agar mebayar hutangnya
·         Perkara tidak jelas, contohnya  dalam hal ini seharusnya gugatanya wanprestasi tetapi disini isinya menegenai wanprestasi
·         Penggugat telah memberi tambahan jangka waktu tambahan, contohnya : A sebagai penggugat memeberi waktu tambahan kepada B untuk melunasi hutangya , jadi hurtangya belum dapat di gugat karena dalam hal ini tuntutan belum dapat dipenuhi.
            Dalam bagian ini kita bisa melihat bahwa di dalamnya mengenai eksepsi di dalamanaya dibahas ,mengenai  hal –hal di dalamnya  adaalaha sebai berikut:
1.      Eksepsi dapat dialakauakan kapanpun selama pengadilan tingkat pertama berlangsung
2.      Tergugat dapat menyatakan/ menagjuakan eksepsi  saat pemeriksaan  sesudah dan sebelum  putusan diajukan.
Di dalam gugatan dalam kompetensi absolut dapat dilkukan setiap saat di dalamnya, namun dalam hal ini juga bisa hakim menyataakan bahawa ia tidak berwenang untuk mengajukan perkara dengan bilamana; perkara yang diajukan di dalamanya jika di luar dari kewenangan nya dan hakim juga menyatakan diri secara ex-officio yang menyatakan bahwa dirinya tidak berwewnang dalam memerriksa hal tersebut.
       Jawaban langsug terhadap surat gugtatan biasanya disebut dengan konvensi.Dalam Konvensi isinya biasanya adalah tentang pengakuan dan/atau penyangkalaan dan/atau referte. Istilah konvensi sebenarnya merupakan istilah untuk menyebut gugatan awal atau gugatan asli. Istilah ini memang jarang digunakan dibanding istilah gugatan karena istilah konvensi baru akan dipakai apabila ada rekonvensi (gugatan balik tergugat kepada penggugat). Di dalam penjelasan Yahya Harahap (hal. 470), Anda dapat menemukan bahwa ketika penggugat asal (A) digugat balik oleh tergugat (B) maka gugatan A disebut gugatan konvensi dan gugatan balik B disebut gugatan rekonvensi.
Description: http://userfiles.hukumonline.com/image/Istilah%20dalam%20putusan%20arbitrase-IH-070213-for180213-pic.jpg
Contohnya konpensi:
§  Pengakuan dalam hal ini, jika A berhutang dengan B sebesar 1 milyar rupiah, maka A menagkui hal tersebut bahawa hal itu benar adanya.
§  Penyangkalan dalam hal ini , Jika Aberhutang dengan B sebesar 20 Milyar, maka B menyangkal bahwa hutangnya hanya 18 milyar, dan 2 milayr lagi adalah bunga yang ada di hutang tersebut
§  Referte dalam ha ini , tergugat menajawab seperti tidak menjawab ia atau tidak tapi seperti tidak tahu , jadi rfete seperti kondisi tidak menajawab tetapi masuk kedalam jawaban yang ada pada surat jawaban.
           
            Dalam jawaban selain konpensi juga ada yang anamanya rekopensi , seperti yang ada pada gambar diatas, digambarkan begitu. Menurut M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 468) istilah (gugatan) rekonvensi diatur dalam Pasal 132a HIR yang maknanya rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya. Dalam penjelasan Pasal 132a HIR disebutkan, oleh karena bagi tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya. untuk menggugat kembali penggugat, maka tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan memajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya terhadap gugatan lawannya.
            Pada asasnya gugatan balasan dalam hal ini  dapat diajukan dalam setiap perkara pengecualianya adalah  dalam 4 hal yang disebut dalam 132a HIR[22], ialah: 
1.      Jika penggugat dalam gugat asal mengenai sifat , sedang gugat balasan  itu mengenai dirinya sendiri sendiri dan sebaliknya;
2.      Jika pengadilan negeri,kepada siapa gugat asal itu dimasukan ,tidak berhak ,oleh karena berhubung dengan pokok perselisiahan, memerikasa guagatan asal;
3.      Dalam perkaranya perselisiahan tentang menjalankan putusan;
4.      Jika dalam pemeriksaaab tingkat pertama tidak dimasuakan gugatan balasan, maka dalam tingkat banding  tidak boleh memajukan gugatan balasan
Manfaat dari rekovensi:
1.      Menghemat biaya
2.      Mempermudah prosedur pemeriksaan
3.      Mempercepat penyelesaian sengketa
4.      Menghindarkan putusan yang bersifat saling bertentangan
            Masuknya pihak ke-3 di dalam hukum acara perdata  yang biasanya didalamnya bukan hanya penggugat dan juga bukan bagian tergugata jadi dalam hal ini pihak ke-3 bisa masuk kedalam suatu sengketa ada beberapa jenis di dalamanya,yaitu:
a.       Intervensi
b.      Vrijwaring : atau bisa di bialang pihak penjamin
c.       Derdenverzet: perlawanana dari pihak ke-3 agar dia tidak dirugikan
            Dalam hal intervensi dalam hal ini kita bisa melihat bahawa makna dari kata intervensi adalah masuknya pihak ke-3 karena suatu hal tertentu, artiny jadi dalam hal ini pihak ke-3 disini masuk kedalam suatu kasus tau sengketa perdata atas keinginanya sendiri dalam hal ini tanpa ada paksaan dari pihak-pihak lain yang berpekara didalamnya. Jenis-jenis berpekara di dalamnya ada beberapa jenis  ,yaitu:
·         Voeging adalah masuknya pihak ke-3 mencampuri sengketa yang sedang berlangsung  anatara tergugat dan penggugat dengan bersiakap memeihak pada salah satu pihak saja atau bisa di bilang dalam hal ini ia menggabungkan dirinya dengan salah satu pihak saja di dalamnya, hal ini diataur di pasal 279-282 BRv.
·         Tussenkomst dalam hal ini ini masuknya pihak ke-3 di dalamnya mengenai hal denagan ini adalah pada  saaat perkara atau sengketa tersebut di dalamnaya , namun dalam hal ini si pihak ke-3 di dalamanya tidak memihak ke pihak mana pun , pihak tergugat ataupun pihak penggugat ,jadi posisinya dari hal ini pihak ke-3nya ada di tengah-tengah dan juga tidak memihak manapun ,jadi dalam hal ini adalah pihak ke-3 dari adalah membela kepentinganya sendiri.
            Vrijwaring seperti yang ada di atas bahwa pihak ke-3 disini adalah sebagai penjamin jadi di dalamanya dalam status ini kita bisa melihat bahwa, di dalam sengketa atau suatu perkara  ikut sertanya pihak ke-3 karena bukan dari keinginan dirinya sendiri , anamun karena kemauan dari pihaknya sendiri sesudah maupun sebelum dari perjanjian itu lahir di dalamnya . Biasanya dalam hal ini ,penjamin adalah jaminan orang untuk menjamin suatu hutang tertentu hal ini diatur dalam pasal 70-76 BRv.
            Derdenverzet  adalah masuknya pihak ke-3 karena suatu hal ,untuk memebela dirinya sendiri dalam hal ini   iya disini dalam hal ini, ia membelan dirinya sendiri dalam hal ini karena ia merasa dirugikan dalam hal adanaya sengketa antara pihak tergugat dan pihak penggugat. Hal ini merupakan adalah upaya hukum luar biasa ,hal ini disebut demikian karena pada dasarnya adalah suatu putusan dalam asasnya dalam hal ini adalah mengikat pihak-pihak yang berperkara saja (pasal 1917 KUHPerdata), namun pihak ke-3 dalam hal ini adalah bisa kita lihat adalah kepentingan pihak ke-3 jika dirugikan dalam putusan ini adalah dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut.
            Replik dalam hukum acara perdata adalah dalam hal ini adalah tahapan dalam beracara setelah mendapatakan surat jawaban dari tergugat kepada penggugat, jadi dalam hal ini pihak penggugat  perlu membalas surat jawaban  itu ,karena itu dalam hal ini replik itu penting.
            Duplik adalah sauatu balasan yang dilakuakan oleh tergugat untuk membalas dari repliek yang di berikan ,agar hakim dapat meliahat dahlil yang diajukan oleh terggugat .
              Sita jaminan adalah suatu tindakan hukum yang sah di mata hukum, hal ini adalah  dialakauakan di depan pengadilan tempat dajukan gugatan atas suatu barang ,barangnya bisa barang bergerak, maupun tidak bergerak, dan berwujud maupun tidak berwujud. Baik barang yang dimiliki atau pun arang yang tidak dimiliki oleh pihak yang mengajukan sita dari hal tersebut, kesimpulanya adalah siata jamian adalah tindakan dalam hukum yang memeiliki suatu tujuan untuk  menajamin dari hal pelaksanaan dari suatu putusan penagdialan.hal ini juga diatur dalam pasal 227 ayat(1)[23]. Untuk  siata jamaiana barang bergrak  adalah baraang  yang harus dista terlebih dahula sebelum benda tak bergerak , sesuai dengan peraturan dalam pasal 197 ayat (1) HIR[24], dan  peraturan yang lebih lengkapanya da di dalam pasal 197-199 HIR.
            Jenis-jenis sita jaminan:
1.       Conservatoir Beslag diatur dalam pasal 227 HIR [25] jenis sita yang dapat dilakauak untuk jenis benda apapun.
2.      Revndicatoir Beslag daitur dalam pasal 226 HIR, merupaka sita jaminan yang dikuka terhadap barang penggugat yang dikuasai oleh tergugat.
3.      Maritale Beslag daiatur dalam pasal 823a BRv hal ini adala siata dalam pernikahan yang biasaya dilakauakan oleh istri agar barang-barang dalam pernikahan dapat diamankan smapai putusan pengadilan.
4.      Pand Beslag diatur dalam pasal 751a BRv , adalah sita yang dimintakan oleh oleh seorang pemilik rumah yang menyewakan rumahanya , untuk menyita perabotan di dalam rumah yang ia sewakan untuk sebagai jaminan untuk membayar harga sewaan yang perlu diabayar.
5.      Vergelijkende Beslag diatur dalam pasal 463 BRv , dalah permintaan sita yang dapat diakukan oleh pihak yang telah permintaan siata pertamanaya dikabulkn oleh pengadilan  dan telah dilaksanakan.yang ia dapat hanayalah sisa hak dari yang belum diterima oleh penggugat
            Persamaan  pokok  dari sita jaminan dan sita ekseutorial, yaitu
·         Pada saat pelaksaan siata dimulai dari barang bergerak,pengecualianaya jiaka pada barang yang di persengketakan adalah abrang tetap maka pada sita jaminan dapat alngsung dilakukan.
·         Pelakasanaannya dan tata cara pada sita ajaaiana dan sita eksekutorial adalah sama diatur dalam pasal 197 ayat(2),(5),dan(6) HIR.
·         Terdapat pendafataran dari berita acara penyitaan dari keduanaya jenis tersebut diatur dala pasal 198 HIR
·         Terdapat larangan memindah tanagan kan/menyewkan/memperjualbelikan/mengalihakan barang sitaan dan hal tersebut diatu dalam pasal 199 HIR
·         Terdapat laranagan terhadap barang-barng yang dita adalah, hewan dan perkakas yang benar-benar  digunakan untuk menjalan  sauatu usaha untuk mecari nafkah, diatur dalam pasal 197 ayat(8) HIR.
            Perbedaan dari sita jaminan dan sita eksekutorial  adalah:
·         Tujuan pada sita jamian  adalah untuk menjamin gugatan sebelum puutusan BHT(berkeuatan hukum tetap), sedangakan sita eksekutorial dilakauakan untuk menjalakan putusan BHT(berkekuatan hukum tetap).
·         Waktu pelaksaanaan dalam sita jaminan sebelum dari putsan BHT sedangakan dalam sita eksekutorial dilakukan setelah putusan BHT(berkekuatan hukum tetap)
·         Kewanagan pelaksaanan siata jamina ditangan  pada KMH(ketua majelis hakim), dalam sita eksekutorial kewenaganya pada KPN (ketua pengadilan negeri) 
















VII.    Pembuktian
            Pembuktian adalah hal yang terppenting dalam hukuam acara karena pembuktian sifatnya amat penting satu sisi untuk hakim melihat apakah dahlil-dahlil yang diajukan para pihak benar atau tidak adanya. Semua oaring pihak ayang mendahlilkan bahwa ia memilki sesuatu hak,atau guna untuk memperkuat dari haknya tersebut ataupun membantah  suatu hak pihak lain, memperlihatakan suatu poeritiwa,dan hal tersebut diwajibkan adanya hak atau suatu peristiwa hukum tertentu(pasal 163 HIR)[26]dan pasal 1865 KUHPerdata. Lalu ada beberapa doktrin yang berpendapat menegenai pembuktian.
1.      Prof..Dr. Sudikno Mertokusumo,S.H.,M.H. dalam bukunya  Hukum Acara Perdata Indonesia.
·         Arti logis memberi kepastian yang mutlak ,karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan
·         Arti Konvensional , memeberi kepastian nisbi atau relative yang mempunyai tindakan-tindakan ,yaitu:
(1)   Kepastian yang di dasarkan atas perasaan belaka. Dalam hal ini bersifat intutif,disebut conviction in time.
(2)   Kepastian yang didasarakan atas pertimbangan akal ,biasa disebut oleh Conviction raisonnee
·         Arti yuridis  maaksutnya dsii adalah sifat oembuktian yang memilki sifatnya  konvensionalyang bersifat khusus. Dalam hal tersebut sifatnya dalah historis  adalah hal-hal yang dimaksut disini secara concreto. Dengan tujuan untuk memeberi dasar yang cukup kepada hakim untuk memutus perkara  yang bersangkutan agar kepastian  nya terjamin  dari peristiwa hukum tersebut yang diajuakan . hali ini berlakau bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh  hak dari mereka. Dan hal ini diatur di dalam pasal 162- 177 HIR dan 1865- 1945 KUHPerdata.
            Objek dalam pembuktian diatur dalam pasal  178 ayat (3). Dalam hal pemeriksan ini objek yang ada dalam pembuktian adalah “peristiwanya”  yangharus dicari kebenaranya , lalu di dalam kebenaran perlu diacari kevenaran formilnya dalama tahap ini kita bisa melihat bahwa di dalam peristiwa formil, maksutnya disini adalah  hakim sebagai pemeriksa dan juga pemutus  harus melampaui batas-batas yang diajuakan  oleh berpekara . hakim cukup membuktikan  dengan “preponderance of evidence” saja sebagai diatur  dalam pasal 178 ayat (3) HIR[27]
            Pihak yang mebuktiakan dalam pembuktian  adalah penggugat tergugat  dan tergugat sebagai pihaknya masing-masing  yang dapat melakukan pembuktian secara aktif dlam hal ini  diatur dalam pasal 163 HIR[28] yang intinya menagatakaan bahawa “ siapa yang mendahlilkan dia yang mebuktikanya”.
            Pembuktian dalam teori yang ada pada di buku yang ditulis oleh Ny.Retnowulan Suntantio,S.H dan  Iskandar Oeripkaratwinata,S.H.. yang berjudul”Hukum acara perdata dalam teori dan praktek”  mengatakan di dalamnyta terdapat 3 macam kekuatan pembuktian dai dalam pembuktian dalam hukum acara perdata, yaitu:
1.      Teori Pembuktian bebas , yang isinya mengatakan bahwa  tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengharuskan  hakim untuk sehingga penilaian  pembuktian itu seberapa dapat di serahkan kepadanya.
2.      Teori Pembuktian negative : merupakan teori yang membatasai  pada larangan  kepada hakim  untuk melakukan sesuatu yang ada hubungan dengan pembuktian  dengan kata lain bisa di bilang adalah , hakim hanay dilarang dengan pengecualianya . hal diatur  dalam pasal 169 HIR jo. Pasal 306 Rbg jo. Pasal 1905 KUHPerdata.
3.      Teori pembuktian positif , maksutnya dalam hal ini adalah  teori yang menyatakan bahwa d dalamanya bisa kita melihat dalam hal ini menghendaki  perintah bagi hakim . Artinya dalam hal ini adalah hakim mewajibkan  dengan syarat dalam hal ini  diatur dalam pasal 165 HIR jo. Pasal 285 Rbg jo. Pasal 1870 KUHPerdata.
            Macam-macam alat buti dalama hukum cara perdata di Indonesia daiatur dala HIR ,yaitu dala pasal 164 HIR[29] di dalam diatur ada 5 jnis alat bukti, yaitu;

1.      Bukti surat
2.      Bukti skasi
3.      Persangkaan
4.      Pengakuan
5.      Bukti sumpah
1. Alat Bukti Tertulis (Surat)
Orang yang melakukan suatu hubungan hukum dalam perdata, pastilah dengan sengajanya atau pun tidak  membuat suatu alat bukti berbentuk tulisan dengan maksutnya agar  dapat digunakan atau dijadikan bukti kalau sewaktu-waktu dibutuhkan. Sebagai contoh: sewa menyewa, jual beli tanah dengan menggunakan akta, jual beli menggunakan kuitansi, dan lain sebagainya. Sebelum kami membahas secara mendalam, perlulah dilihat bentuk kerangka surat atau alat bukti tertulis dibawah ini:
Akta adalah surat yang dibubuhi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan dan dibuat di depan ataupun oleh pegawai umum atau pejabat pembuat akta tanah itu sendiri, yang dibuat sejak pemula dengan sengaja untuk pembuktian. Unsur paling penting terkait dengan pembuktian adalah tanda tangan. Barang siapa yang telah menandatangani suatu surat dianggap mengetahui isinya dan bertanggung jawab. Syarat penandatanganan dapat kita lihat pada pasal 1874 B.W..
Akta autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat’ (ps. 1868 KUH Perdata).
Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum.  Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap – tidak berwenang atau bentuknya cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata : akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik; namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan[30].
Sedangkan akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan.[31]
Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang mana menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :
a)      Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan,
b)      Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.
c)      Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh paling sedikit dua pihak.
Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk dalam akta dibawah tangan yang bersifat partai, tetapi merupakan surat pengakuan sepihak dari tergugat.[32] Oleh karena bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka penilaian dan penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata. Dengan demikian harus memenuhi syarat :
  1. Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si penandatangan;
  2. Paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut didalamnya,ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.
Selanjutnya  ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya melengkapi, tetapi membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya, diantaranya adalah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti yang fotokopi. Namun kembali ditegaskan lagi kesemuanya alat bukti pelengkap tersebut membutuhkan penunjukan barang aslinya.[33] Berikut kami pun memberikan contoh yang diambil dalam sebuah buku Teori dan Praktik Peradilan Perdata di Indonesia oleh Dr. Wahju Muljono, S.H., Kn.:
Contoh Penyusunan
Bukti tulis – sederhana

NO.
DAFTAR BUKTI-BUKTI TERTULIS PEMBANTAH DALAM PERKARA PERDATA DI BAWAH NO……./PDT/BANT/……./PN.BDG
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

P – 1             : Surat No. 230/PC-BD/BDG/VI/…..tanggal …………….. . dari Bank ………. . Cabang Bandung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional 1 Kotamadya Bandung, perihal: Roya Hipotek; (oleh Pd BPN)
P – 2             : Akta Jual Beli No. ……./ …/Coblong/ …….tanggal …………….. . Notaris/PPAT………………………..
P – 3             : Akta Jual Beli No. …../ …/Coblong/…….tanggal ………………………
P – 4             : Sertifikat Hak Milik No. …../ Kel. Sekeloa, G.S. No. ……. Tanggal ……………..Seluas ….m2, setempat di kenal sebagai Blok Bangbayang Jl. ………………… Kotamadya Bandung, Wilayah Cibeunying, Kecamatan Coblong, Kelurahan Sekeloa, atas nama ………………….. .
P – 5             : Sertifikat Hak Milik No. ……./ Kel. Sekeloa, G.S. No. ……. Tanggal 27-6-1983 Seluas ….m2, setempat dikenal sebagai Blok Ciheulang Kotamadya Bandung, Wilayah Cibeunying, Kecamatan Coblong, Kelurahan Sekeloa, atas nama………………….. .
Disampaikan dengan hormat oleh
Kuasa Pembantah,
2. Alat Bukti Saksi
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan cara pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.[34] Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia alami/nyata sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh dengan cara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu yang disebut dengan kesaksian.
Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi ”pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.
Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR merupakan kewajiban para pihak pihak yang berperkara.Namun, apabila pihak yang berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara sukarela, meskipun telah berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang bersangkutan sangat relevan, menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat menghadirkannya sesuai dengan tugas dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan merupakan tindakan unproffesional conduct.
Saksi yang tidak datang diatur dalam Pasal 139-142 HIR, di mana saksi yang tidak datang, para pihak dapat meminta kepada Pengadilan Negeri untuk menghadirkannya meskipun secara paksa, karena kesaksian di butuhkan (Vide Pasal 141 ayat (2) HIR).
Syarat-syarat alat bukti saksi adalah sebagai berikut:[35]
a)      Orang yang Cakap
Orang yang cakap adalah orang yang tidak dilarang menjadi saksi menurut Pasal 145 HIR, Pasal 172 RBG dan Pasal 1909 KUH Perdata antara lain, pertama keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak menurut garis lurus, kedua suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai (Vide Putusan MA No.140 K/Sip/1974. Akan tetapi mereka dalam perkara tertentu dapat menjadi saksi dalam perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (2) HIR dan Pasal 1910 ayat (2) KUH Perdata. Ketiga anak-anak yang belum cukup berumur 15 (lima belas) tahun (Vide Pasal 145 ke-3 HIR dan Pasal 1912 KUH Perdata), keempat orang gila meskipun terkadang terang ingatannya (Vide Pasal 1912 KUH Perdata), kelima orang yang selama proses perkara sidang berlangsung dimasukkan dalam tahanan atas perintah hakim (Vide Pasal 1912 KUH Perdata).
b)      Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan
Alat bukti saksi disampaikan dan diberikan di depan sidang pengadilan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 144 HIR, Pasal 171 RBG dan Pasal 1905 KUH Perdata. Menurut ketentuan tersebut keterangan yang sah sebagai alat bukti adalah keterangan yang disampaikan di depan persidangan.
c)      Diperiksa Satu Persatu
Syarat ini diatur dalam Pasal 144 ayat (1) HIR dan Pasal 171 ayat (1) RBG. Menurut ketentuan ini, terdapat beberapa prinsip yang harus dipenuhi agar keterangan saksi yang diberikan sah sebagai alat bukti. Hal ini dilakukan dengan cara, pertama menghadirkan saksi dalam persidangan satu per satu, kedua memeriksa identitas saksi (Vide Pasal 144 ayat (2) HIR), ketiga menanyakan hubungan saksi dengan para pihak yang berperkara.
d)      Mengucapkan Sumpah
Syarat formil yang dianggap sangat penting ialah mengucapkan sumpah di depan persidangan, yang berisi pernyataan bahwa akan menerangkan apa yang sebenarnya atau voir dire, yakni berkata benar. Pengucapan sumpah oleh saksi dalam persidangan, diatur dalam Pasal 147 HIR, Pasal 175 RBG, dan Pasal 1911 KUH Perdata, yang merupakan kewajiban saksi untuk bersumpah/berjanji menurut agamanya untuk menerangkan yang sebenarnya, dan diberikan sebelum memberikan keterangan yang disebut dengan ”Sistim Promisoris”.
e)      Keterangan Saksi Tidak Sah Sebagai Alat Bukti
Menurut Pasal 169 HIR dan Pasal 1905 KUH Perdata, keterangan seorang saksi saja tidak dapat dipercaya, sehingga minimal dua orang saksi (unus testis nullus testis) harus dipenuhi atau ditambah alat bukti lain.
f)       Keterangan Berdasarkan Alasan dan Sumber Pengetahuan
Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan diatur dalam Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata. Menurut ketentuan ini keterangan yang diberikan saksi harus memiliki landasan pengetahuan dan alasan serta saksi juga harus melihat, mendengar dan mengalami sendiri.
g)      Saling Persesuaian
Saling persesuaian diatur dalam Pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH Perdata. Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa, keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti, hanya terbatas pada keterangan yang saling bersesuain atau mutual confirmity antara yang satu dengan yang lain. Artinya antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain atau antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain, terdapat kecocokan, sehingga mampu memberi dan membentuk suatu kesimpulan yang utuh tentang persitiwa atau fakta yang disengketakan.
3. Bukti Persangkaan
Menurut Prof. Subekti, S.H., persangkaan adalah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata.[36] Hal ini sejalan dengan pengertian yang termaktub dalam pasal 1915 KUH Perdata “Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”. Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana berikut:[37]
1). Persangkaan Undang-undang (wattelijk vermoeden)
Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa hukum yang oleh undang-undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka dengan adanya bukti pembayaran selama tiga kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar.
2). Persangkaan Hakim (rechtelijk vermoeden)
Yaitu suatu peristiwa hukum yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain. Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun.
3) Bukti Pengakuan
Pengakuan (bekentenis, confession) adalah alat bukti yang berupa pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan, yang dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan. Pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan pihak lawan benar sebagian atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH Perdata dan Pasal 174 HIR).
Secara umum hal-hal yang dapat diakui oleh para pihak yang bersengketa adalah segala hal yang berkenaan dengan pokok perkara yang disengketakan. Tergugat dapat mengakui semua dalil gugatan yang dikemukakan penggugat atau sebaliknya penggugat dapat mengakui segala hal dalil bantahan yang diajukan tergugat. Pengakuan tersebut dapat berupa, pertama pengakuan yang berkenaan dengan hak, kedua pengakuan mengenai fakta atau peristiwa hukum.
Lalu yang berwenang memberi pengakuan  menurut Pasal 1925 KUH Perdata yang berwenang memberi pengakuan adalah sebagai berikut:
a)      dilakukan principal (pelaku) sendiri yakni penggugat atau tergugat (Vide Pasal 174 HIR);
b)      kuasa hukum penggugat atau tergugat.
Kemudian bentuk pengakuannya, berdasarkan pendekatan analog dengan ketentuan Pasal 1972 KUH Perdata, bentuk pengakuan dapat berupa tertulis dan lisan di depan persidangan dengan cara tegas (expressis verbis), diam-diam dengan tidak mengajukan bantahan atau sangkalan dan mengajukan bantahan tanpa alasan dan dasar hukum.[38]
5. Bukti Sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.
Sedangkan Soedikno berpendapat bahwa “Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang hikmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya”[39]
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) dan “tambahan” (supletoir eed). Sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk “mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan akan berbunyi “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu.[40]
Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh “menentukan” jalannya perkara. Suatu “sumpah tambahan”, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.[41]
Untuk lebih jelasnya kami membuatkan table tentang perbedaan antar kedua macam sumpah ini;[42]
Sumpah
Decissoir
Suppletoir
  1. Diminta oleh salah satu pihak kepada pihak lawan;
  2. Alat bukti kuat yang menentukan keputusan;
  3. Dapat dikembalikan;
  4. Dilakukan dalam tiap keadaan.
  1. Diminta oleh hakim (atas perintah hakim kepada salah satu pihak);
  2. Merupakan alat bukti tambahan;
  3. Tidak dapat dikembalikan;
  4. Hanya dilakukan apabila telah ada bukti permulaan bukti.
Dikenal juga dalam Hukum Acara Perdata sumpah aestimatoir (penaksiran) yang diangkat oleh salah satu pihak atas perintah hakim untuk mengucapkan sumpah dalam rangka menentukan jumlah kerugian yang diderita atau mengenai suatu harga barang tertentu yang disengketakan.[43]










VIII.           Putusan
            Putusan dalam hukum acara perdata definisinya adalah Sebagai berikut dengan ketentuan Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, apabila pemeriksaan perkara telah selesai, majelis hakim karena jabatannya yang ia punya melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan kepada kasus/sengketa tersebut. Proses pemeriksaan dianggap selesai, apabila telah menempuh tahap jawaban dari tergugat yang dibarengi dengan replik dari penggugat maupun duplik dari tergugat dan dilanjutkan dengan proses tahapan pembuktian dan konklusi.
                Dalam asas putusan yang ada dalam hukum acara perdata di dalamnya di perkuat dengan beberapa lasan yang ada di dalamnya karena di dalamnya,pembahsan  diawali dengan uraian yang ada  denagan asas yang harus ditegakan , supaya putusan  yang diberiakan oleh hakim tidak mengandung kecacatan di dalamnya. Asas ada terdapat di dalam HIR dengan dasar hukum pasal 178 HIR[44] , pasal 189 RGB,dan pasal 19 UU no 4 tahun 2004. Yang intiny adalaah harus memuat isinya adalah:
·         Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci, dalam hal ini bisa kita melihat bahwa dalam hal ini adalah daiatur dalam pasal 28 ayat(1) UU no4 tahun 2004, dan menurut Putusan MA NO. 698 K/Sip/1969, yang menyatakan bahwa dai dalam putusan  harus disertai dengan alasan hukum yang pertimbangan yang jelas kenapa petitum  itu ditolak.
·         Wajib mengadili seluruh bagian Gugatan: Dalam hal ini kita bisa melihat bahwa di dalamnya ini dalam hal  diatur di dalam pasal 178 (2) HIR. Hal dari bagian yang ada di dalam petiyumnya harus dibahasa dengan rinci agar putusanya tidak menjadi kesalahan yang membuat putusan dari hal ini menjadi putusan yang cacat hukum.
·         Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan: Menurut pasal 178(3) HIR,pasal 189 ayat(3) RBG dan pasal 50 Rv). Adanya larangan yang disebut Ultra petitum partium . jadai dalam hal ini jika dilanggar dalama putusan perdata hal-hal yang tudak dimintakan tidak bisa dikabulkan, juga melebihi dari permintaan yang ada pada jumlahnya.
·         Diucapkan di muka umum: Diucapkan di depan umum maksudnya dibacakan di dalam pengadilan agar asas fair trial  dalam hal ini akan dapat di jelaskan dalam hal ini. Dala hal ini dijelasakan dalam pasal 20 UU no. 4 tahun 2004, dan dalam hal ini juga dijelasakan akiabatanya pada psal 19 UU no 4 tahun 2004 yang mnyebankan dalam hal ini  pelanggaran prinsipnya adalah tidak sah dan tidak mepunyai kekuatan hukum.
Jenis putusan dalam hukum acara perdata
            Dalam penyusunan Hukum Acara Perdata telah dibuat dengan cara agar prosesnya dapat berjalan secara secepat mungkin , sederhana mungkin, mudah untuk dimengerti oleh para pihak yang berperkara dan tentunya dengan biaya yang terjangkau.
            Menurut bentuknya penyelesaian dari perkara yang dapat diselesaikan oleh pengadilan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
1.      Putusan / vonis : Suatu putusan diambil untuk memutusi/menyelesaikan sebuah perkara yang masuk dalam  suatu acara perdata di dalam pengadialan .
2.      Penetapan / beschikking : suatu penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan yaitu dalam rangka yang dinamakan “yuridiksi voluntair


Sedangkan menurut golongannya, suatu putusan pengadilan dikenal dua macam pengolongan putusan yakni :
1.      Putusan Sela ( Putusan interlokutoir)[45]
Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Dalam hukum acara dikenal macam putusan sela yaitu :
1)      Putusan Preparatuir, putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna mengadakan putusan akhir
2)      Putusan Interlocutoir, putusan yang isinya memerintahkan pembuktian karena putusan ini menyangkut pembuktian maka putusan ini akan mempengaruhi putusan akhir
3)      Putusan Incidental, putusan yang berhubungan dengan insiden yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa.
4)      Putusan provisional, putusan yang menjawab tuntutan provisi yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan pendahulu guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.
2.      Putusan Akhir
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara pada tingkat pemeriksaan pengadilan, meliputi pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan MA. Macam-macam putusan akhir adalah sbb. :
1)      Putusan Declaratoir, putusan yang sifatnya hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata, misalnya menerangkan bahwa A adalah ahli waris dari B dan C.
2)      Putusan Constitutif, putusan yang sifatnya meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru, misalnya putusan yang menyatakan seseorang jatuh pailit.
3)      Putusan Condemnatoir, putusan yang berisi penghukuman, misalnya pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan sebidang tanah berikut bangunan yang ada diatasnya untuk membayar hutangnya.
Jadi pada intinya adalah suatu acara hukum perdata dalam hal ini akan membantu banayak hal untuk menyelesaikan masalah yang ada dan telah masuk kedalam pengadilan untuk diselesai secara hukum yang tepat dan berwenang untuk mengadilinya.






















IX.         Eksekusi

A.    Pengertian Eksekusi
Untuk kesamaan penggunaan istilah, maka kata Executie yang berasal dari bahasa asing, sering diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu ”Pelaksanaan”. Kata Executie diadaptir ke dalam Bahasa Indonesia dengan ditulis menurut bunyi dari kata itu sesuai dengan ejaan Indonesia, yaitu ”Eksekusi”. Kata ini sudah populer serta diterima oleh insan hukum di Indonesia, sehingga untuk selanjutnya dalam makalah ini akan mengunakan kata ”Eksekusi” untuk pengertian “pelaksanaan” putusan dalam perkara perdata. Pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan putusan” (ten uitvoer legging van vonnissen), yakni melaksanakan “secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela. Dengan kata lain, eksekusi (pelaksanaan putusan) adalah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara[46]
B.      ASAS EKSEKUSI
Untuk menjalankan eksekusi, perlu memperhatikan berbagai asas, yaitu:
1. Putusan hakim yang akan di eksekusi haruslah telah berkekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Maksudnya, pada putusan hakim itu telah terwujud hubungan hukum yang pasti antara para pihak yang harus ditaati/dipenuhi oleh tergugat, dan sudah tidak ada lagi upaya hukum (Rachtsmiddel), yakni :
 a. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding;
b. Putusan Makamah Agung (kasasi/PK);
c. Putusan verstek yang tidak diajukan verzet. Sebagai pengecualian dari asas di atas adalah: a. Putusan serta merta (Uitvoerbaar bii voorraad); b. Putusan provisi; c. Putusan perdamaian; d. Grose akta hipotik/pengakuan hutang.
2. Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah bersifat menghukum (condemnatoir). Maksudnya, pada putusan yang bersifat menghukum adalah terwujud dari adanya perkara yang berbentuk yurisdictio contentiosa (bukan yurisdictio voluntaria), dengan bercirikan, bahwa perkara bersifat sengketa (bersifat partai) dimana ada pengugat dan ada tergugat, proses pemeriksaannya secara berlawanan antara penggugat dan tergugat (Contradictoir). Misalnya amar putusan yang berbunyi : a. Menghukum atau memerintahkan “menyerahkan“ sesuatu barang; b. Menghukum atau memerintahkan “pengosongan“ sebidang tanah atau rumah; c. Menghukum atau memerintahkan “melakukan“ suatu perbuatan tertentu; d. Menghukum atau memerintahkan “penghentian“ suatu perbuatan atau keadaan; e. Menghukum atau memerintahkan “melakukan“ pembayaran sejumlah uang[47].
3. Putusan hakim itu tidak dilaksanakan secara sukarela Maksudnya, bahwa tergugat sebagai pihak yang kalah dalam perkara secara nyata tidak bersedia melaksanakan amar putusan dengan sukarela. Sebaliknya apabila tergugat bersedia melaksanakan amar putusan secara sukarela, maka dengan sendirinya tindakan eksekusi sudah tidak diperlukan lagi.
4. Kewenangan eksekusi hanya ada pada pengadilan tingkat pertama [Pasal 195 Ayat (1) HIR/Pasal 206 Ayat (1) HIR R.Bg] Maksudnya, bahwa pengadilan tingkat banding dengan Mahkamah Agung tidaklah mempunyai kewenangan untuk itu, sekaligus terhadap putusannya sendiri, sehingga secara ex officio (ambtshalve) kewenangan tersebut berada pada ketua pengadilan tingkat pertama (pengadilan agama/pengadilan negeri) yang bersangkutan dari sejak awal hingga akhir (dari aanmaning hingga penyerahan barang kepada penggugat).
5. Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan. Maksudnya, apa yang dibunyikan oleh amar putusan, itulah yang akan dieksekusi. Jadi tidak boleh menyimpang dari amar putusan. Oleh karena itu keberhasilan eksekusi diantaranya ditentukan pula oleh kejelasan dari amar putusan itu sendiri yang didasari pertimbangan hukum sebagai argumentasi hakim.
C. MACAM EKSEKUSI
Pada dasarnya ada dua bentuk eksekusi ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil, sehingga eksekusi semacam ini disebut “eksekusi riil”, dan melakukan pembayaran sejumlah uang. Eksekusi seperti ini selalu disebut “eksekusi pembayaran uang”[48]. Demikian juga dalam praktek peradilan agama dikenal 2 (dua) macam eksekusi, yaitu  eksekusi riil atau nyata sebagaimana diatur dalam Pasal 200 ayat (11) HIR/Pasal 218 ayat (2) R.Bg, dan Pasal 1033 Rv, yang meliputi penyerahan pengosongan, pembongkaran, pembagian, dan melakukan sesuatu eksekusi pembayaran sejumlah uang melalui lelang atau executorial verkoop, sebagaimana tersebut dalam Pasal 200 HIR/Pasal 215 R.Bg (Abdul Manan, 2005: 316). 
1. Eksekusi Riil Eksekusi riil adalah eksekusi yang menghukum kepada pihak yang kalah dalam perkara untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya menyerahkan barang, mengosongkan tanah atau bangunan, membongkar, menghentikan suatu perbuatan tertentu dan lain-lain sejenis itu. Eksekusi ini dapat dilakukan secara langsung (dengan perbuatan nyata) sesuai dengan amar putusan tanpa melalui proses pelelangan.
2. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang Eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah eksekusi yang mengharuskan kepada pihak yang kalah untuk melakukan pembayaran sejumlah uang (Pasal 196 HIR/208 R.Bg). Eksekusi ini adalah kebalikan dari eksekusi riil dimana pada eksekusi bentuk kedua ini tidaklah dapat dilakukan secara langsung sesuai dengan amar putusan seperti pada eksekusi riil, melainkan haruslah melalui proses pelelangan terlebih dahulu , karena yang akan dieksekusi adalah sesuatu yang bernilai uang.
D. TATA CARA EKSEKUSI
1. Eksekusi Riil
Menjalankan eksekusi riil adalah merupakan tindakan nyata yang dilakukan secara langsung guna melaksanakan apa yang telah dihukumkan dalam amar putusan, dengan tahapan :
A. Adanya permohonan dari penggugat (pemohon eksekusi) kepada ketua pengadilan [Pasal 196 HIR/Pasal 207 ayat (1) R.Bg];
B.  Adanya peringatan (aanmaning) dari ketua pengadilan kepada termohon eksekusi agar ianya dalam waktu tidak lebih dari 8 (delapan) hari dari sejak aanmaning dilakukan, melaksanakan isi putusan tersebut secara sukarela [Pasal 207 ayat (2) R.Bg], dengan cara:
1) Melakukan pemanggilan terhadap termohon eksekusi dengan menentukan hari, tanggal, jam dan tempat;
2) Memberikan peringatan (kalau ianya datang), yaitu dengan cara :
a) Dilakukan dalam sidang insidentil yang dihadiri ketua pengadilan, panitera dan termohon eksekusi;
b) Dalam sidang tersebut diberikan peringatan/teguran agar termohon eksekusi dalam waktu 8 (delapan) hari, melaksanakan isi putusan tersebut;
c) Membuat berita acara sidang insidentil (aanmaning), yang mencatat peristiwa yang terjadi dalam persidangan tersebut;
d) Berita acara sidang aanmaning tersebut akan dijadikan bukti bahwa kepada termohon eksekusi telah dilakukan peringatan/teguran untuk melaksanakan amar putusan secara sukarela, yang selanjutnya akan dijadikan dasar dalam mengeluarkan perintah eksekusi.
Apabila setelah dipanggil secara patut, termohon eksekusi ternyata tidak hadir dan ketidak hadirannya disebabkan oleh halangan yang sah (dapat dipertanggung jawabkan), maka ketidak hadirannya masih dapat dibenarkan dan ianya harus dipanggil kembali untuk di aanmaning. Akan tetapi apabila ketidak hadirannya itu tidak ternyata adanya alasan yang sah (tidak dapat dipertanggung jawabkan), maka termohon eksekusi harus menerima akibatnya, yaitu hilangnya hak untuk dipanggil kembali dan hak untuk di aanmaning serta ketua pengadilan terhitung sejak termohon eksekusi tidak memenuhi panggilan tersebut, dapat langsung mengeluarkan surat penetapan (beschikking) tentang perintah menjalankan eksekusi.
C. Setelah tenggang waktu 8 (delapan) hari ternyata termohon eksekusi masih tetap tidak bersedia melaksanakan isi putusan tersebut secara sukarela, maka ketua pengadilan mengeluarkan penetapan dengan mengabulkan permohonan pemohon eksekusi dengan disertai surat perintah eksekusi, dengan ketentuan :
1) Berbentuk tertulis berupa penetapan (beschikking);
2) Ditujukan kepada panitera/jurusita/jurusita pengganti;
3) Berisi perintah agar menjalankan eksekusi sesuai dengan amar putusan.
D. Setelah menerima perintah menjalankan eksekusi dari ketua pengadilan, maka panitera/jurusita/jurusita pengganti merencanakan/menentukan waktu serta memberitahukan tentang eksekusi kepada termohon eksekusi, kepala desa/lurah,/ kecamatan/kepolisian setempat;
E. Proses selanjutnya, pada waktu yang telah ditentukan, panitera/jurusita/jurusita pengganti langsung ke lapangan guna melaksanakan eksekusi dengan ketentuan:
1) Eksekusi dijalankan oleh panitera/jurusita/jurusita pengganti (Pasal 209 ayat (1) R.Bg);
2) Eksekusi dibantu 2 (dua) orang saksi (Pasal 200 R.Bg), dengan syaratsyarat:
a) Warga Negara Indonesia
b) Berumur minimal 21 tahun
 c) Dapat dipercaya.
3) Eksekusi dijalankan ditempat dimana barang (obyek) tersebut berada;
4) Membuat berita acara eksekusi, dengan ketentuan memuat:
a) Waktu (hari, tanggal, bulan, tahun dan jam) pelaksanaan;
b) Jenis, letak, ukuran dari barang yang dieksekusi;
c) Tentang kehadiran termohon eksekusi;
d) Tentang pengawas barang (obyek) yang dieksekusi;
e) Penjelasan tentang Niet Bevinding (barang/obyek yang tidak diketemukan/tidak sesuai dengan amar putusan);
F) Penjelasan tentang dapat/tidaknya eksekusi dijelaskan;
G) Keterangan tentang penyerahan barang (obyek) kepada pemohon eksekusi;
H) Tanda tangan panitera/jurusita/jurusita pengganti (eksekutor), 2 (dua) orang saksi yang membantu menjalankan eksekusi, Kepala desa / lurah / camat dan termohon eksekusi itu sendiri; Untuk tanda tangan kepala desa/lurah/camat dan termohon eksekusi tidaklah merupakan keharusan. Artinya tidaklah mengakibatkan tidak sahnya eksekusi, akan tetapi akan lebih baik jika mereka turut tanda tangan guna menghindari hal-hal yang tidak diingini.
5) Memberitahukan isi berita acara eksekusi kepada termohon eksekusi (Pasal 209 R.Bg), yang dilakukan ditempat dimana eksekusi dijalankan (jika termohon eksekusi hadir pada saat eksekusi dijalankan), atau ditempat kediamannya (jika termohon eksekusi tidak hadir pada saat eksekusi dijalankan)

2. Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang
Untuk sampai pada realisasi penjualan lelang sebagai syarat dari eksekusi pembayaran sejumlah uang, maka eksekusi tersebut perlu melalui proses tahapan sebagai berikut :
 a. Adanya permohonan dari pemohon eksekusi kepada ketua pengadilan.
b. Adanya peringatan/teguran (aanmaning) dari ketua pengadilan kepada termohon eksekusi agar ianya dalam waktu tidak lebih dari 8 (delapan) hari, sejak aanmaning dilakukan, melaksanakan amar putusan.
c. Setelah masa peringatan/teguran (aanmaning) dilampaui, termohon eksekusi masih tetap tidak memenuhi isi putusan berupa pembayaran sejumlah uang, maka sejak saat itu ketua pengadilan secara ex afficio mengeluarkan surat penetapan (beschikking) berisi perintah kepada panitera/jurusita/jurusita pengganti untuk melakukan sita eksekusi (executorial beslag) terhadap harta kekayaan jika sebelumnya tidak diletakkan sita jaminan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 9 197 HIR/Pasal 208 R.Bg (tata cara sita eksekusi hampir sama dengan sita jaminan)
d. Adanya perintah penjualan lelang, dilanjutkan dengan penjualan lelang setelah terlebih dahulu dilakukan pengumuman sesuai dengan ketentuan pelelangan. Lalu diakhiri dengan penyerahan uang hasil lelang kepada pemohon eksekusi.
E. PENANGGUHAN EKSEKUSI
Dalam menjalankan eksekusi tidak selamanya lancar sesuai rencana, terkadang dan bahkan sering menemui hambatan baik bersifat yuridis maupun non yuridis, sehingga memerlukan tindakan untuk menangguhkan eksekusi tersebut.
1. Hambatan Yuridis
a. Adanya perlawanan dari pihak ketiga (Derden Verzet). Pada dasarnya adanya perlawanan dari pihak ketiga tidaklah menangguhkan eksekusi kecuali jika perlawanan pihak ketika itu diajukan atas dasar hak milik [Pasal 196 Ayat (6) HIR/Pasal 206 Ayat (6) R.Bg], atau atas dasar pemegang hipotik/pemegang hak tanggungan; yang harus dilindungi dari tindakan penyitaan. Apabila perlawanan tersebut menurut ketua pengadilan (sebelum perkara ditetapkan majelis hakimnya) beralasan berdasarkan bukti yang kuat, atau setelah mendapat laporan dari majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut (Pasal 208 HIR/228 R.Bg), maka eksekusi ditangguhkan, dan sebaliknya jika perlawanan tersebut ditolak, eksekusi dilanjutkan.
b. Adanya perlawanan dari pihak termohon eksekusi Sebagaimana halnya dengan perlawanan dari pihak ketiga, perlawanan dari pihak termohon eksekusi juga tidaklah dapat menangguhkan eksekusi, kecuali apabila segera nampak bahwa 10 perlawanan tersebut adalah benar dan beralasan, barulah eksekusi ditangguhkan hingga putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.
c. Adanya permohonan Peninjauan Kembali Sebagai upaya hukum luar biasa, maka PK tidaklah menghalangi eksekusi, namun demikian dalam kasus tertentu dapat saja eksekusi ditangguhkan apabila benar-benar dengan dukungan bukti yang kuat, seperti diatur dalam Pasal 67 dan Pasal 69 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 terakhir dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009, yang diperkirakan permohanan PK tersebut akan dikabulkan olah Mahkamah Agung , maka atas izin ketua pengadilan tingkat banding, eksekusi tersebut dapat ditangguhkan, karena dengan dikabulkannya permohanan PK tersebut, sedangkan barang/obyek terperkara sudah terlanjur dieksekusi, maka sangatlah sulit untuk memulihkan barang/obyek tersebut seperti sediakala. Kalau sampai hal semacam ini terjadi, maka pihak termohon eksekusi hanya dapat mengajukan gugatan baru terhadap pemohon eksekusi dengan petitum serta merta.
 2. Hambatan Non Yuridis
Hambatan non yuridis adalah hambatan yang paling sering dijumpai di lapangan. Hambatan tersebut dapat berupa :
 a. Adanya perlawanan secara fisik atau dengan pengerahan kekuatan/massa dari pihak termohon eksekusi dengan sangat emosi, dan suasana semakin parah ketika pihak pemohon eksekusi juga melakukan hal yang sama, yang dapat menimbulkan konflik.
b. Adanya campur tangan dari pihak ketiga dalam proses eksekusi, yang berasal dari lembaga-lembaga tertentu, yang dapat saja memicu kerusuhan. Untuk penangguhan eksekusi hanya dapat dilakukan oleh ketua pengadilan tingkat pertama yang bersangkutan yang memimpin eksekusi dan jika ianya 11 berhalangan dapat digantikan oleh wakil ketua pengadilan tersebut, guna memerintahkan penangguhannya. Sedangkan ketua pengadilan tingkat banding dan jika berhalangan dapat digantikan wakil ketua pengadilan tersebut sebagai voorpost (kawal depan) Mahkamah Agung dapat memerintahkan agar eksekusi ditangguhkan atau dilanjutkan, dan dalam rangka tugas pengawasan atas jalannya peradilan yang baik, kewenangn tersebut pada puncak tertinggi berada pada Mahkamah Agung.

X.             Upaya Hukum
                        Definisi dari upaya hukum adalah  upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum (bisa dikatakan dapat dilakauakan oleh subjek hukum) dalam hal ini  dapat dilakukan untuk melawan putusan hakim. Dalam hal ini maksudnya adalah untuk menguji dari kebenaran putusan yang dilakauakan oleh hakim,atau bisa digunakan untuk memeriksa dan juga dapat digunakan untuk membenarkan  dari kesalahan-kesalahan dalam putusan yang mungkin saja dilakukan oleh hakim di tingkat yang dibawahnya. Dalam hal ini dibagi menjadi 2 hal dalam upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa dan juga upaya hukum luar biasa. Dalam hal ini upaya hukum biasa digunkan untuk untuk putusan-putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap dalam kata lain upaya hukum biasa  masih ada batas waktu untuk menjadi putusan yang berkekuatan hukum tetap,jadi dalam hal ini masih masih dapat melakauakan upaya hukum biasa. Sedangkan dalam upaya hukum luar biasa dalam hal ini dapat dilakauakn dalam jika putusan sudah memilki kekuatan hukum tetap dan juga ada alasan-alasan khusus untuk mengajukan upaya hukum luar biasa ini.
1.      Upaya hukum biasa dibagi menjadi 3, yaitu:

1.      Banding
Banding adalah upaya hukum  yang dilakauakan oleh salah satu pihak dalam persidangan  dilakukan karena tidak puas dalam putusanya di dalam pengadilan negeri.Para pihak dapat mengajukan banding dalam hal ini banding sesuai dengan azasnya dengan di ajukan banding maka pelaksanaanya isi putusan  pengadilan negeri belum dapat dilaksankan, karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap  sehingga belum dapat dieksekusi ,kecuali terhadap putusan yang bersifat uit bij voeraad.(pasal 180 ayat 1 HIR)[49]. Banding diatur dalam pasal 188 s.d. 194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan dalam pasal 199 s.d. 205 RBg (untuk daerah di luar Jawa dan Madura). Kemudian berdasarkan  pasal 3 Jo pasal 5 UU No. 1/1951 (Undang-undang Darurat No. 1/1951), pasal188 s.d. 194 HIR dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU Bo. 20/1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.[50]
            Keputusan pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya keputusan pengadilan yang berbentuk Putusan bukan penetapan, karena terhadap penetapan upaya hukum biasa yang dapat diajukan hanya kasasi.[51] TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN BANDING.
            Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 14 hari sejak putusan dibacakan bila para pihak hadir atau 14 hari pemberitahuan putusan apabila salah satu pihak tidak hadir. Ketentuan ini diatur dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 20/1947 jo pasal 46 UU No. 14/1985. Dalam praktek dasar hukum yang biasa digunakan adalah pasal 46 UU No. 14 tahun 1985.
Apabila jangka waktu pernyatan permohonan banding telah lewat maka terhadap permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi karena terhadap putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dianggap telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi.
Pendapat diatas dikuatkan oleh Putusan MARI No. 391 k/Sip/1969, tanggal 25 Oktober 1969, yaitu bahwa Permohonan banding yang diajukan melalmpaui tenggang waktu menurut undang-undang tidak dapat diterima dan surat-surat yang diajukan untuk pembuktian dalam pemeriksaan banding tidak dapat dipertimbangkan. Akan tetapi bila dalam hal perkara perdata permohonan banding diajukan oleh lebih dari seorang sedang permohonan banding hanya dapat dinyatakan diterima untuk seorangrang pembanding, perkara tetap perlu diperiksa seluruhnya, termasuk kepentingan-kepentingan mereka yang permohonan bandingnya tidak dapat diterima (Putusan MARI No. 46 k/Sip/1969, tanggal 5 Juni 1971).
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN BANDING
            1.    Dinyatakan dihadapan Panitera Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan terlebih dahuku membayar lunas biaya permohonan banding.
            2.    Permohonan banding dapat diajukan tertulis atau lisan (pasal 7 UU No. 20/1947) oleh yang berkepentingan maupun kuasanya.
            3.    Panitera Pengadilan Negeri akan membuat akte banding yang memuat hari dan tanggal diterimanya permohonan banding dan ditandatangani oleh panitera dan pembanding. Permohonan banding tersebut dicatat dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding Perkara Perdata.
            4.    Permohonan banding tersebut oleh panitera diberitahukan kepada pihak lawan paling lambat 14 hari setelah permohonan banding diterima.
            5.    Para pihak diberi kesempatan untuk melihat surat serta berkas perkara di Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.
            6.    Walau tidak harus tetapi pemohon banding berhak mengajukan memori banding sedangkan pihak Terbanding berhak mengajukan kontra memori banding. Untuk kedua jenis surat ini tidak ada jangka waktu pengajuannya sepanjang perkara tersebut belum diputus oleh Pengadilan Tinggi. (Putusan MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11 September 1975).
            7.    Pencabutan permohonan banding tidak diatur dalam undang-undang sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi pencabutan permohonan banding masih diperbolehkan.

2.      Kasasi
Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi. Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung.
     Kasasi berasal dari perkataan “casser” yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga bila suatu permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan dibawahnya  diterima oleh Mahkamah Agung, maka berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya.[52]
     Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh putusan hakim yang mengenai hukum, jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang mengenai duduk perkaranya sehingga pemeriksaaan tingkat kasasi tidak boleh/dapat dianggap sebagai pemeriksaan tinggak ketiga.
ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN KASASI
     Alasan mengajukan kasasi menurut pasal 30 UU No. 14/1985 antara lain :
1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
     Tidak bewenangan yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan absolut pengadilan, sedang melampaui batas bisa terjadi bila pengadilan mengabulkan gugatan melebihi yang diminta dalam surat gugatan.
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
    Yang dimaksud disini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun hukum materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat dilakukan oleh judex facti.
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh pertauran
      perundang-undangan  yang mengancam kelalaian itu dengan
       batalnya putusan yang bersangkutan.
    Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah

TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN KASASI
    Permohonan kasasi harus sedah disampaikan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan atau penetepan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada Pemohon (pasal 46 ayat(1) UU No. 14/1985), bila tidak terpenuhi maka permohonan kasasi tidak dapat diterima.
PROSEDUR MENGAJUKAN PERMOHONAN KASASI
1.    Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik secara tertulis atau lisan   kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dengan melunasi biaya kasasi.
2.    Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampurkan pada berkas (pasal 46 ayat (3) UU No. 14/1985)
3.    Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan (pasal 46 ayat (4) UU No. 14/1985)
4.     Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan kasasi (pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985)
5.    Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan memori kasasi pada lawan paling lambat 30 hari (pasal 47 ayat (2) UU No. 14/1985).
6.    Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasais dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasai (pasal 47 ayat (3) UU No. 14/1985)
7.    Setelah menerima memori dan kontra memori kasasi dalam jangka waktu 30 hari Panitera Pengadilan Negeri harus mengirimkan semua berkas kepada Mahkamah Agung (pasal 48 ayat (1) UU No. 14/1985)

3.      Verzet
Verzet merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.
PROSEDUR MENGAJUKAN VERZET , pasal 129 ayat (1) HIR
           
      1.    Dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek itu diberitahukan kepada tergugat sendiri, jika putusan tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri maka :
      2.    Perlawanan boleh diterima sehingga pada hari kedelapan setelah teguran (aanmaning) yang tersebut dalam pasal 196 HIR atau;
      3.    Dalam delapan (8) hari setelah permulaan eksekusi (pasal 197 HIR).[53]
Dalam prosedur verzet kedudukan para pihak tidak berubah yang mengajukan perlawanan tetap menjadi tergugat sedangyang dilawan tetap menjadi Penggugat yang harus memulai dengan pembuktian.[54][55]
    Verzet dapat diajukan oleh seorang Tergugat yang dijatuhi putusan verstek, akan tetapi upaya verzet hanya bisa diajukan satu kali bila terhadap upaya verzet ini tergugat tetap dijatuhi putusan verstek maka tergugat harus menempuh upaya hukum banding.

2.      Upaya hukum luar biasa
Dalam hal ini adalah upaya hukum yang digunkan jika dalam suatu putusan yang ada dalam sana, karena hal ini dapat digunakna jika putusan yang ada telah berkekuatan hukum tetap. Upaya hukum itu adalah:
                  1.    Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap
Upaya hukum peninjauan kembali (request civil) merupakan suatu upaya agar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inracht van gewijsde), mentah kembali. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).
Peninjauan kembali menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., merupakan upaya hukum terhadap putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek), dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan. [56]
     Peninjauan kembali (Request Civil) tidak diatur dalam HIR, melainkan diatur dalam RV (hukum acara perdata yang dahulu berlaku bagi golongan eropa)  pasal 385 dan seterusnya. Dalam perundang-undangan nasional, istilah Peninjauan Kembali disebut dalam Pasal 15 UU No. 19/1964 dan pasal 31 UU No. 13/1965.
     Perbedaan yang terdapat antara Peninjauan Kembali (PK) yang dimaksud oleh perundang-undangan nasional dengan Request Civil  (RC) antara lain, sebagai berikut:
1)   Bahwa PK merupakan wewenang penuh dari Mahkamah Agung, sedangkan RC digantungkan pada putusan yang mana dimohonkan agar dibatalkan.
2)   Akibatnya adalah bahwa putusan PK adalah putusan dalam taraf pertama dan terakhir, sedangkan yang menyangkut RC masih ada kemungkinan untuk banding dan kasasi.
3)   Bahwa PK dapat diajukan oleh yang berkepentingan, sedangkan RC hanya oleh mereka yang pernah menjadi pihak dalam perkara tersebut.[57][58]
Dalam perkembangannya sekarang Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 66-75 UU No. 14 tahun 1985.

\

I.                    Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali
Berdasarkan pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982. permohonan pinjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap hanya dapat diajukan bila berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
a)    Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b)   Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
c)    Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
d)   Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
e)    Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
f)     Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali menurut pasal 68 ayat (1) UU No. 14/1985 adalah hanya pihak yang berperkara sendiri atau ahli warisnya, atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Dari pasal tersebut jelas terlihat bahwa orang ketiga bukan pihak dalam perkara perdata tersebut tidak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Tenggang waktu mengajukan permohonan peninjauan kembali diatur dalam pasal 69 UU No. 14/1985.
II.         PROSEDUR PENGAJUAN PERMOHONAN KEMBALI
1)   Permohonan kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
2)   Membayar biaya perkara.
3)   Permohonan Pengajuan Kembli dapat diajukan secara lisan maupun tertulis.
4)   Bila permohonan diajukan secara tertluis maka harus disebutkan dengan jelas alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama (Pasal 71 ayat (1) UU No. 14/1985)
5)   Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dihadapan hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985)
6)   Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat  diajukan sekali.
7)   Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari dengan tujuan agar dapat diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal 72 ayat (1) UU No. 14/1985)
8)   Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal diterima salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat maka jawaban tidak akam dipertimbangkan (pasal 72 ayat (2) UU No. 14/1985).
9)   Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diteimanya untuk selanjutnya salinan jawaban disampaikan kepada pemohon untuk diketahui (pasal 72 ayat (3) UU No. 14/1985).
10)permohonan peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari (pasal 72 ayat (4) UU No. 14/1985).
11)Pencabutan permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan sebelum putusan diberikan, tetapi permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (pasal 66 UU No. 14/1985)
                  2.    DERDEN VERSET
Merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupak perlawanan pihak ketiga yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan, karena merasa dirugikam oleh putusan pengadilan. Syarat mengajukan derden verzet ini adalah pihak ketiga tersebut tidak cukup hanya punya kepentingan saja tetapi hak perdatanya benar-benar telah dirugikan oleh putusan tersebut. Secara singkat syarat utama mengajukan derden verzet adalah hak milik pelawan telah terlanggar karena putusan tersebut.
Dengan mengajukan perlawanan ini pihak ketiga dapat mencegah atau menangguhkan pelaksanaan putusan (eksekusi).


XI.             CLASS ACTION
Istilah class action berasal dari bahasa Inggris, yakni gabungan dari kata class dan action. Pengertian class adalah sekumpulan orang, benda, kualitas atau kegiatan yang mempunyai kesamaan sifat atau ciri, sedangkan pengertian action dalam dunia hukum adalah tuntutan yang diajukan ke pengadilan (Black, 1991: 18, 170).
Class action menurut Black (1991: 170) menggambarkan suatu pengertian di mana sekelompok besar orang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih dapat menuntut atau dituntut mewakili kelompok besar orang tesebut tanpa harus menyebutkan satu-satu anggota kelompok yang diwakili. Dalam Grollier Multi Media Encyclopedi (1997) dikatakan bahwa class action adalah gugatan yang diajukan oleh seorang atau lebih anggota suatu kelompok masyarakat, mewakili seluruh anggota kelompok masyarakat tersebut.
Ontario Law Reform Commision (1982: 5) menjelaskan pengertian berkepentingan secara langsung, baik berkepentingan secara hukum maupun berkepentingan untuk suatu manfaat atau keuntungan. Dalam gugatan class action, seseorang atau lebih yang maju ke pengadilan sebagai penggugat atau tergugat mewakili kepentingan seluruh anggota kelompok lainnya didasarkan atas adanya kesamaan kepentingan serta kesamaan permasalahan (Ontario Law Reform Commision, 1982: 2, 19). Berdasarkan syarat tersebut, maka seseorang atau beberapa orang yang maju sebagai pihak di pengadilan, mengajukan tuntutan untuk kepentingannya sendiri sekaligus untuk kepentingan kelompoknya, karena kepentingan pihak yang maju dengan kelompok yang diwakilinya adalah sama. Karena kepentingan sekelompok orang identik, maka sesuai dengan prinsip class action tersebut tuntutan cukup diajukan oleh salah satu atau beberapa dari anggota kelompok tersebut.
Lembaga class action dikenal di banyak negara yang menganut sistem hukum common law. Hal tersebut sesuai dengan sejarah diperkenalkannya lembaga class action untuk pertama kalinya, yakni di Inggris, negara tempat lahirnya sistem hukum common law, sekitar tahun seribu tujuh ratusan (Ontario Law Reform Commision, 1982: 5). Kebanyakan negara-negara bekas jajahan Inggris kemudian ikut menganutnya.
Negara Inggris sendiri mula-mula memperkenalkan prosedur class action berdasarkan “judge made law” dan khusus untuk perkara-perkara berdasarkan “equity” yang diperiksa oleh Court of Chancery.[59] Pada saat itu Court of Chancery mengadili sengketa yang melibatkan pihak penggugat puluhan dan ratusan orang secara kumulasi. Pengadilan secara administratif mengalami kesulitan untuk melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap gugatan tersebut. Maka mulailah pengadilan menciptakan prosedur class action, di mana puluhan atau ratusan orang yang mempunyai kepentingan yang sama tersebut tidak perlu semuanya maju ke pengadilan, melainkan cukup diwakilkan pada salah satu diantaranya.
Di negara Kanada, prosedur class action pertama kali dikenal di provinsi Ontario, yakni diatur dalam the Ontario Judicature Act tahun 1881, yang kemudian diperbaharui dengan bahsa yang lebih modern dalam Supreme Court of Ontario Rules of Practice (SCORP, 1980). Rule 75 dari SCORP tersebut menentukan bahwa dalam hal ada sejumlah besar orang mempunyai kepentingan yang sama dalam suatu perkara, satu atau lebih dapat mengajukan gugatan atau digugat, mewakili kepentingan seluruhnya (Ontario Law Reform Commision, 1982: 7). Pembatasan-pembatasan tentang prosedur class action di Ontario banyak meniru ketentuan class action di Inggris.
Di negara India, pengakuan terhadap prosedur class action mulai dikenal pada tahun 1908 dan diatur dalam Rule 8 of Order 1 of Civil Procedure, 1908, sebagaimana diubah dan disempurnakan pada tahun 1976. Menurut ketentuan tersebut, yang dimaksud dengan class action adalah gugatan yang diajukan oleh atau terhadap seseorang yang merupakan anggota dari suatu kelompok untuk mewakili seluruh kepentingan tersebut dengan syarat: (1) ada sejumlah besar orang, (2) mempunyai kepentingan yang sama, (3) pengadilan mengijinkan orang tersebut menjadi wakil kelompok, (4) ada kewajiban memberitahukan kepada seluruh anggota kelompok (Santosa, 1997: 17).
Negara Amerika Serikat mengatur prosedur class action untuk sistem peradilan federal, yakni di dalam the United State of Federal Rules of Civil Procedure (FRCP), 1938, yang kemudian direvisi pada tahun 1966. Pada awalnya (berdasarkan FRCP Tahun 1938) di peradilan federal Amerika Serikat dikenal adanya tiga jenis class action, yakni true class action, hybrid class action serta spurious class action. Di dalam FRCP tahun 1966 ketiga jenis class action tersebut dihapuskan, sehingga hanya dikenal satu jenis class action, sebagaimana diatur di dalam Rule 23 FRCP 1966.
Di Australia class action pertama kali diperkenalkan oleh Law Reform Committee of South Australia, kemudian juga oleh Law Reform Commission of Australia. Di New South Wales terbentuk NGO yang memberi perhatian pada perkembangan class action di Australia, yakni Coalition for Class Action, di bawah Public Interest Advocacy Centre (PIAC).
Di bawah ini adalah beberapa jenis class action:
1.      Plaintiff class action dan defendant class action
Demi alasan efisiensi dan efektivitas, prosedur class action dikembangkan sesuai dengan kebutuhan praktik di negara yang menganutnya. Dilihat dari para pihak yang saling behadapan, di beberapa negara dikenal adanya dua jenis class action, yakni (a) pengajuan gugatan secara perwakilan oleh seseorang untuk kepentingan sendiri dan kepentingan kelompok dalam jumlah yang besar (plaintiff class action), (b) pengajuan gugatan secara perwakilan terhadap seseorang atau lebih yang ditunjuk untuk membela kepentingan sendiri dan kepentingan kelompok dalam jumlah yang besar (defendant class action).
2.      Public class action dan private class action
Dilihat dari kepentingan yang hendak dilindungi dan siapa yang berwenang menuntutnyam di negara bagian Ontario, Kanada, oleh Ontario Law Reform Commission (1982: 279) diperkenalkan adanya public class action dan private class action. Pembagian tersebut berkaitan dengan penentuan tentang siapa yang mewakili untuk menuntutkan ke pengadilan dalam hal terjadi ketidakadilan bagi masyarakat luas.
3.      True class action, hybrid class action dan spurious class action
Pembagian class action ke dalam true, hybrid serta spurious dikenal di Amerika Serikat dalam sistem peradilan federal pada jaman berlakunya FRCP, 1938. Setelah ketentuan pasal 23 FRCP 1938 direvisi pada tahun 1966, pembagian tersebut ditiadakan karena sering menimbulkan kebingungan dalam penerapannya. Meskipun dalam sistem peradilan federal pembagian tersebut telah dihapuskan, ada negara bagian yang masih menganutnya, meskipun tidak semua jenis. Negara bagian Lousiana misalnya, hanya menganut true class action. Negara bagaian Georgia menganut spurious class action.
Dari beberapa poin di atas, dapat kita lihat secara garis besar sejarah terciptanya class action ialah berawal dari negara-negara common law, yang mana dikenal pertama kali pada abad ke-18 di Inggris, disusul dengan Amerika, dan akhirnya negara-negara lain.
Jika melihat di Indonesia, class action diatur dalam beberapa ketentuan yang adalah sebagai berikut:
1.      PERMA Nomor 1 Tahun 2002;
2.      Pasal 91 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
3.      Pasal 46 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
4.      Pasal 38 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi;
5.      Pasal 71 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002 dinyatakan bahwa class action adalah suatu tata cara atau prosedur pengajuan gugatan di mana satu orang atau lebih mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum dan kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
Penggunaan class action ini membawa beberapa keuntungan kepada pihak-pihak. Keuntungan yang pertama adalah manfaat ekonomis, di mana pihak penggugat maupun tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya perkara, dan pengadilan pun juga tidak memerlukan banyak majelis hakim untuk menangani perkara yang sejenis. Di samping tenaga, uang dan waktu yang dikeluarkan relatif lebih sedikit dibandingkan bila gugatan diajukan secara individu.
Keuntungan yang kedua adalah akses pada keadilan, di mana apabila gugatan diajukan secara individual akan menyebabkan beban bagi calon penggugat. Akan terjadi pengurangan beban terhadap tekanan yang akan dialami oleh pihak tergugat yang biasanya mempunyai kekuatan lebih besar dibanding penggugat. Apalagi jika biaya gugatan yang dikeluarkan tidak sebanding dengan tuntutan yang diajukan. Keuntungan yang ketiga adalah perubahan sikap pelaku pelanggaran, yang mana berpeluang mendorong perubahan sikap dari mereka yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat luas, yang diharapkan ada efek penjera. Keuntungan yang keempat adalah putusan yang bertentangan satu sama lain atau tidak konsisten mengenai tuntutan sejenis dapat dihindarkan.
Proses pengajuan class action berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2002 adalah sebagai berikut:
1.      Pemberian kuasa, di mana tidak semua anggota kelas harus memberikan persetujuan secara tertulis. Pemberian kuasa cukup diwakilkan oleh wakil kelas yang jumlahnya relatif lebih sedikit;
2.      Bagian-bagian dalam gugatan harus lebih diperjelas secara formal tentang identitas pihak-pihak (persamaan fakta, hukum dan tuntutan). Pada bagian posita dan petitum dijelaskan tentang mekanisme pendistribusian ganti rugi;
3.      Akan ada penetapan terlebih dahulu untuk memutuskan apakah suatu gugatan dapat diajukan dengan cara class action atau tidak;
4.      Pemberitahuan (Notifikasi), yang dapat dilakukan dengan berbagai cara yang sifatnya lebih efektif agar semua anggota kelas mengetahui akan adanya gugatan class action tersebut;
5.      Bunyi putusan lebih terperinci dan dapat dilaksanakan. Mekanisme yang digunakan dalam notifikasi adalah mekanisme opt-out yaitu bagi anggota kelas yang tidak setuju atau tidak ingin diikutkan dalam perkara tersebut dapat menyatakan keluar dari gugatan tersebut secara tertulis;
6.      Penggunaan mekanisme opt-out dirasakan lebih sesuai dengan tujuan digunakannya class action sebab apabila yang digunakan adalah mekanisme opt-in (semua anggota kelas memberikan kuasa secara tertulis, hal ini sesuai dengan pasal 123 H.I.R.) maka gugatan class action tersebut tidak akan ada bedanya dengan gugatan biasa dengan jumlah penggugat yang banyak.






XII.          Peradilan Niaga

Latar Belakang Peradilan Niaga
Dalam pasal 13 UU No 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman yang diganti dengan UU No 4 tahun 2004 di mungkinkan di
bentuknya badan-badan peradilan khusus disamping badan-badan peradilan yang
sudah ada dengan acara diatur dalam UU. Dalam pasal 10 dan 15 UU No 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawah peradilan umum, peradilan Agama, peradilan Militer,
peradilan TUN, dan Mahkamah Konstitusi.
A.  Tugas dan Wewenang Pengadilan Niaga
Mengenai tugas dan wewenang Pengadilan Niaga ini pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 diatur dalam Pasal 280, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diatur pada Pasal 300. Pengadilan Niaga merupakan lembaga peradilan yang berada di bawah lingkungan Peradilan Umum yang mempunyai tugas sebagai berikut[60]
1) Memeriksa dan memutusakan permohonan pernyataan pailit;
2) Memeriksa dan memutus permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
3) Memeriksa perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya ditetapkan dengan undang-undang, misalnya sengketa di bidang HaKI.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 juga mengatur tentang kewenangan Pengadilan Niaga dalam hubungannya dengan perjanjian yang mengadung klausula arbitrase. Dalam Pasal 303 ditentukan bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tentang syarat-syarat kepailitan. Ketentuan pasal tersebut dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utang piutang yang mereka buat memuat klausula arbitrase.
B. Kompetensi Pengadilan Niaga
1) Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif merupakan kewenangan atau kekuasaan mengadili antar Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga sampai saat ini baru ada lima. Pengadilan Niaga tersebut berkedudukan sama di Pengadilan Negeri. Pengadilan Niaga hanya berwenang memeriksa dan memutus perkara pada daerah hukumnya masing-masing. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa putusan atas permohonan pernyataan pailit diputus oleh Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor, apabila debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, maka Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor. Dalam hal debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan.
Debitur yang tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia. Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.[61]
2) Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut merupakan kewenangan memeriksa dan mengadili antar badan peradilan. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur tentang badan peradilan beserta kewenangan yang dimiliki. Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang berada di bawah Pengadilan umum yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Selain itu, menurut Pasal 300 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga juga berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang. Perkara lain di bidang perniagaan ini misalnya, tentang gugatan pembatalan paten dan gugatan penghapusan pendaftaran merek. Kedua hal tersebut masuk ke dalam bidang perniagaan dan diatur pula dalam undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dengan kompetensi absolut ini maka hanya Pengadilan Niaga sebagai satu-satunya badan peradilan yang berhak memeriksa dan memutus perkara-perkara tersebut[62]. (Martiman Prodjohamidjojo.1999 : 17)
c. Hukum Acara di Pengadilan Niaga
Pasal 299 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa “kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata (HIR/RBg).” Hukum acara yang dipakai Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan pada dasarnya tetap berpedoman pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ..
Hukum acara di Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan mempunyai ciri yang berbeda, antara lain[63]:
1) Acara dengan surat Acara perdata di muka Pengadilan Niaga berlaku dengan tulisan atau surat (schiftelijke procedure).
Acara dengan surat berarti bahwa pemeriksaan perkara pada pokoknya berjalan dengan tulisan. Akan tetapi, kedua belah pihak mendapat kesempatan juga untuk menerangkan kedudukannya dengan lisan.
2) Kewajiban dengan Bantuan Ahli
Pasal 7 ayat (1)Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mewajibkan bantuan seorang ahli hukum. Adapun dasar yang menjadi pertimbangan ketentuan tersebut adalah bahwa di dalam suatu proses kepailitan dimana memerlukan pengetahuan tentang hukum dan kecakapan teknis, perlu kedua pihak yang bersengketa dibantu oleh seorang atau beberapa ahli yang memiliki kemampuan teknis, agar segala sesuatunya berjalan dengan layak dan wajar.
3) Model Liberal-Individualistis
Hukum acara dalam proses kepailitan berpangkal pada pendirian bahwa hakim pada intinya pasif. Hakim hanya mengawasi supaya peraturan-peraturan acara yang ditetapkan dengan undang-undang dijalankan oleh kedua belah pihak. Acara demikian adalah model liberal-individualistis.
4) Pembuktian Sederhana
Pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga berlangsung lebih cepat, hal ini dikarenakan Undang-Undang Kepailitan memberikan batasan waktu proses kepailitan. Selain itu, lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang dianut, yaitu bersifat sederhana atau pembuktian secara sumir, ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta yang terbukti secara sederhana bahwa pernyataan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Pembuktian hanya meliputi syarat untuk dapat dipailitkan yaitu, adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, adanya kreditor yang lebih dari satu serta adanya fakta bahwa debitor atau termohon pailit telah tidak membayar utangnya. Sifat pembuktian yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai alasan untuk menolak permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat menyatakan bahwa perkara yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa. Jika suatu perkara dikategorikan hakim niaga sebagai perkara yang pembuktiannya berbelit-belit, maka hakim dapat menyatakan bahwa kasus itu bukan kewenangan Pengadilan Niaga.
5) Waktu pemeriksaan yang terbatas
Pembaharuan yang tak kalah penting dari Undang-Undang Kepailitan ialah tentang pemeriksaan yang dibatasi waktunya. Undang-Undang Kepailitan menentukan batas waktu pemeriksaan serta tenggang waktu yang pasti tentang hari putusan pailit harus diucapkan. Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
6) Putusan bersifat serta merta (UVB)
Menurut Pasal 8 ayat (7) Undang-Undang Kepailitan, putusan atas permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut masih diajukan upaya hukum. Undang-Undang Kepailitan mewajibkan kurator untuk melaksanakan segala tugas dan kewenangannya untuk mengurus dan atau membereskan harta pailit terhitung sejak putusan pernyataan pailit ditetapkan. Meskipun putusan pailit tersebut di kemudian hari dibatalkan oleh suatu putusan yang secara hierarkhi lebih tinggi. Semua kegiatan pengurusan dan pemberesan oleh kurator yang telah dilakukan terhitung sejak putusan kepailitan dijatuhkan hingga putusan tersebut dibatalkan, tetap dinyatakan sah oleh undang-undang.
7) Klausula Arbitrase
Eksistensi Pengadilan Niaga, sebagai Pengadilan yang dibentuk berdasarkan Pasal 280 ayat (1) Perpu No. 1 tahun 1998 memiliki kewenangan khusus berupa yurisdiksi substansif eksklusif terhadap penyelesaian perkara kepailitan. Yurisdiksi substansif eksklusif tersebut mengesampingkan kewenangan absolut dari Arbitrase sebagai pelaksanaan prinsip pacta sunt servanda yang digariskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang telah memberikan pengakuan extra judicial atas klausula Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para pihak sebagaimana telah diperjanjikan. Jadi, walaupun dalam perjanjian telah disepakati cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase, di sini Pengadilan Niaga tetap memiliki kewenangan memeriksa dan memutus. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 300 Undang-Undang Kepailitan.

8) Tidak tersedia Upaya Banding
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 dengan tegas menyatakan bahwa Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Jadi, terhadap putusan pada Pengadilan Niaga tingkat pertama tidak dapat diajukan upaya hukum banding.
d. Hakim Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan memutus perkara Kepailitan atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada tingkat pertama dilakukan oleh Majelis Hakim. Dalam hal menyangkut perkara lain di bidang perniagaan, Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 301 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004.
Hakim Pengadilan Niaga diangkat melalui Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Syarat Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Niaga harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 302, antara lain :
1) telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum;
2) mempunyai dedikasi dan mengusai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga;
3) berwibawa, jujur, adil, dan berkelakukan tidak tercela; dan
4) telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan.
Ketentuan-ketentuan di atas hanyalah dapat dipenuhi oleh hakim karier saja, namun Undang-Undang Kepailitan juga memberikan peluang adanya hakim Ad Hoc dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1) mempunyai keahlian;
2) mempunyai dedikasi dan mengusai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga;
3) berwibawa, jujur, adil,dan berkelakukan tidak tercela; dan
4) telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan.
Berbeda dengan hakim karier, pengangkatan hakim ad hoc tersebut berdasarkan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung baik pada tingkat pertama, kasasi maupun peninjauan kembali. Dalam menjalankan tugasnya, hakim pengadilan niaga dibantu oleh seorang panitera atau panitera pengganti dan juru sita.(Jono, 2008 : 86)
2) Hukum Acara dalam Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga
Pasal 299 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa Kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata (HIR/RBg). Pengaturan tentang kekhususan hukum acara Pengadilan Niaga sampai saat ini belum dilakukan secara tegas dan khusus. Hukum acara Pengadilan Niaga yang ada saat ini terpisah-pisah sesuai dengan obyek sengketa yang diajukan. Sampai saat ini, ada dua masalah dan dua UU yang mengatur tentang penunjukan Pengadilan Niaga sebagai lembaga penyelesaian sengketa, yaitu UU tentang Kepailitan dan UU tentang HaKI. Hukum acara yang dipakai Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan pada dasarnya tetap berpedoman pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hukum acara di Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan mempunyai sifat-sifat khusus yaitu :
a) Acara dengan surat
Acara perdata di muka Pengadilan Niaga berlaku dengan tulisan atau surat (schiftelijke procedure), berlainan dengan acara yang berlaku di Pengadilan Negeri yang memungkinkan acara lisan (modelinge procedure). Acara lisan berarti bahwa pemeriksaan perkara pada pokoknya berjalan dengan tanya jawab dengan lisan di muka Hakim. Salah satu atau kedua belah pihak diperbolehkan juga mengajukan surat, bahkan dalam Pasal 121 ayat (2) HIR memberikan kesempatan kepada tergugat untuk menjawab dengan tulisan. Acara dengan surat berarti bahwa pemeriksaan perkara pada pokoknya berjalan dengan tulisan. Akan tetapi, kedua belah pihak mendapat kesempatan juga untuk menerangkan kedudukannya dengan lisan. (Martiman Prodjohamidjojo, 1999 : 11)
b) Kewajiban dengan Bantuan Ahli
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mewajibkan bantuan seorang ahli hukum. Adapun dasar yang menjadi pertimbangan ketentuan tersebut adalah bahwa di dalam suatu proses kepailitan dimana memerlukan pengetahuan tentang hukum dan kecakapan teknis, perlu kedua pihak yang bersengketa dibantu oleh seorang atau beberapa ahli yang memiliki kemampuan teknis, agar segala sesuatunya berjalan dengan layak dan wajar.
c) Model Liberal-Individualistis
Hukum acara dalam proses kepailitan berpangkal pada pendirian bahwa hakim pada intinya pasif. Hakim hanya mengawasi supaya peraturan-peraturan acara yang ditetapkan dengan undang-undang dijalankan oleh kedua belah pihak. Acara demikian adalah model liberal-individualistis. (Martiman Prodjohamidjojo, 1999 : 13)
d) Pembuktian Sederhana
Pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga berlangsung lebih cepat, hal ini dikarenakan Undang-Undang Kepailitan memberikan batasan waktu proses kepailitan. Selain itu, lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang dianut, yaitu bersifat sederhan atau pembuktian secara sumir. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta yang terbukti secara sederhana bahwa pernyataan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Pembuktian hanya meliputi syarat untuk dapat dipailitkan yaitu, adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, adanya kreditor yang lebih dari satu serta adanya fakta bahwa debitor atau termohon pailit telah tidak membayar utangnya. Sifat pembuktian yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai alasan untuk menolak permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat menyatakan bahwa perkara yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa. Jika suatu perkara dikategorikan hakim niaga sebagai perkara yang pembuktiannya berbelit-belit, maka hakim dapat menyatakan bahwa kasus itu bukan kewenangan Pengadilan Niaga,melainkan Pengadilan Perdata.
e) Waktu pemeriksaan yang terbatas
Pembaharuan yang tak kalah penting dari Undang-Undang Kepailitan ialah tentang pemeriksaan yang dibatasi waktunya. Undang-Undang Kepailitan menentukan batas waktu pemeriksaan serta tenggang waktu yang pasti tentang hari putusan pailit harus diucapkan. Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
f) Putusan bersifat serta merta (UVB)
Putusan atas permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut masih diajukan upaya hukum. Undang-Undang Kepailitan mewajibkan kurator untuk melaksanakan segala tugas dan kewenangannnya untuk mengurus dan atau membereskan harta pailit terhitung sejak putusan pernyataan pailit ditetapkan. Meskipun putusan pailit tersebut di kemudian hari dibatalkan oleh suatu putusan yang secara hierarkhi lebih tinggi, semua kegiatan pengrurusan dan pemberesan oleh kurator yang telah dilakukan terhitung sejak putusan kepailitan dijatuhkan hingga putusan tersebut dibatalkan, tetap dinyatakan sah oleh undang-undang. (Ahmad Yani&Gunawan Widjaja, 2004 : 23-24)
g) Klausula Arbitrase
Eksistensi Pengadilan Niaga, sebagai Pengadilan yang dibentuk berdasarkan Pasal 280 ayat (1) Perpu No. 1 tahun 1998 memiliki kewenangan khusus berupa yurisdiksi substansif eksklusif terhadap penyelesaian perkara kepailitan. Dengan status hukum dan kewenangan (legal status and power), Pengadilan Niaga memiliki kapasitas hukum (legal capacity) untuk menyelesaikan permohonan pailit. Yurisdiksi substansif eksklusif tersebut mengesampingkan kewenangan absolut dari Arbitrase sebagai pelaksanaan prinsip pacta sunt servanda yang digariskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang telah memberikan pengakuan extra judicial atas klausula Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para pihak sebagaimana telah diperjanjikan. Jadi, walaupun dalam perjanjian telah disepakati cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase, di sini Pengadilan Niaga tetap memiliki kewenangan memeriksa dan memutus.
h) Tidak tersedia Upaya Banding
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 dengan tegas menyatakan bahwa Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Jadi, terhadap putusan pada Pengadilan Niaga tingkat pertama tidak dapat diajukan upaya hukum banding. Sepanjang menyangkut kreditor, yang dapat mengajukan kasasi bukan saja kreditor yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama, akan tetapi kasasi dapat diajukan pihak lain yang tidak berperkara, termasuk pula kreditor lain yang bukan pihak pada tingkat pertama, namun tidak puas terhadap putusan permohonan pailit yang diputuskan.





[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hal. 2
[2] Ny. Retno Wulan S dan iskandar O, Hukum acara perdata dalam teori dan praktek, hal. 1 dan 2
[3] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hal. 11-18
[4] Lilik Mulyadi S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia. Hal. 7-8
[5] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hal. 2
[6] www.hukumacaraperdata.com/perbedaan-prinsip-antara-permohonan-dengan-gugatan

[7] Suyud Margono, “Alternative Dispute Resolution (ADR) dan Arbitrase”. Cetakan ke-2 (Jakarta: Ghalia Indonesia 2004.) ,h. 60-61.
[8] Yahya Harahap,” Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan.”( Jakarta: Sinar Grafika,2004), hlm 251-259.
[9] Yahya Harahap, Ibid, h.259-268.
[10] Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006, hal. 151.
[11] Pasal 20 Perma No. 01 Tahun 2008.
[12] Pasal 3 Perma no. 01 Tahun 2008.
[13]Pasal 16 Perma No. 01 Tahun 2008
[14]  Pasal 23 Perma Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
[15] Lilik Mulyadi, S.H. Hukum Acara Perdatamenurut teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Hal 38
[16] Ibid, hal 42
[17] Ibid hal 43-46
[18]  Sudikno ,Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia(edisi 8), Liberty ,Yogyakarata ,2009, hlm 122

[19] Perlawanan yang sekiranya hendak dikemukakan oleh tergugat (exceptie), kecuali tentang hal hakim tidak berkuasa, tidak akan dikemukakan dan ditimbang masing-masing, tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara.
Penjelasan:
1. Mr. R. Tresna dalam bukunya yang berjudul "Komentar H.I.R." pada pasal 136 ini memberikan penjelasan bahwa dalam hal ini ada perbedaan sistem acara perdata di muka "Raad van Justitie" dahulu: Pasal 114 ayat (1) Reglemen Hukum acara perdata tersebut

eksepsi-eksepsi dan jawaban yang mengenai pokok gugatan, apabila tidak, maka gugurlah eksepsi-eksepsi yang tidak sekalian diajukannya dan jikalau tidak sekalian mengajukan jawaban yang mengenai pokok gugatan, maka apabila eksepsinya ditolak, gugurlah hak untuk mengajukan jawaban itu. Pengukuhan serupa itu tidak terdapat dalam pasal 136 H.I.R. Dengan demikian pemisahan antara eksepsi dan perlawanan pokok bagi pemeriksaan di muka pengadilan Negeri tidak mempunyai arti.
2. Apakah yang dimaksud dengan eksepsi, dikatakan bahwa eksepsi itu harus diartikan sebagai perlawanan tergugat yang tidak mengenai pokok persoalannya, melainkan misalnya hanya mengenai acara belaka.
Eksepsi itu macam-macamnya seperti berikut:
1) declinatoire exeptie, yaitu yang mengajukan perlawanan, bahwa pengadilan tidak berkuasa mengadili atau bahwa tuntutan terhadapnya itu batal.
2) dilatoire exeptie, yaitu yang mengajukan perlawanan, bahwa tuntutannya belum sampai waktunya untuk diajukan, di antaranya oleh karma masih ada surat perjanjian yang belum dipenuhi:~atau oleh karena jangka waktunya belum terlewat atau oleh karena tergugat masih sedang berada di dalam waktu pertimbangan.
3) paremptoire exeptie, yaitu yang mengajukan perlawanan mutlak terhadap tuntutan penggugat, misalnya karena perkaranya sudah usang atau daluwarsa, oleh karena yang digugat telah diberikan pembebasan dari utangnya, atau oleh karena telah diadakan perhitungan bayar-membayar atau oleh karena telah ada keputusan pengadilan yang tidak dapat digugat lagi.
3. Walaupun pasal 136 H.I.R. memuat ketentuan yang tegas, akan tetapi di dalam prakteknya pemeriksaan perkara-perkara perdata di muka Pengadilan Negeri ketentuan tersebut tidak begitu dipegang dengan teguh.
Lagi pula, oleh karena terhadap pasal 136 itu tidak ada sanksinya seperti halnya terhadap pasal 114 ayat (1) Reglemen Hukum acara perdata tersebut di atas, maka Mr. R. Tresna berpendapat sesuai dengan pendapat Mr. Wirjono Projodikoro, bahwa pasal 136 itu sebaiknya diartikan sebagai anjuran saja kepada tergugat supaya seberapa boleh mengumpulkan segala sesuatu yang ingin diajukannya dalam jawabannya, pada waktu ia mengadakan perlawanan pada permulaan pemeriksaan perkara.

[20] Pasal 118
(1) Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan Negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.
(2) Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di dalam itu dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal salah seorang dari tergugat itu, yang dipilih oleh penggugat. Jika tergugat-tergugat satu sama lain dalam perhubungan sebagai perutang

utama dan penanggung, maka penggugatan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang berutang utama dari salah seorang dari pada orang berutang utama itu, kecuali dalam hal yang ditentukan pada ayat 2 dari pasal 6 dari reglemen tentang aturan hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan kehakiman (R.O.).
(3) Bilamana tempat diam dari tergugat tidak dikenal, lagi pula tempat tinggal sebetulnya tidak diketahui, atau jika tergugat tidak dikenal, maka surat gugatan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang dari pada penggugat, atau jika surat gugat itu tentang barang gelap, maka surat gugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di daerah hukum siapa terletak barang itu.
(4) Bila dengan surat syah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan, maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugat itu kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat kedudukan yang dipilih itu.

[21] Pasal 134
Jika perselisihan itu suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan pengadilan negeri, maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu, dapat diminta supaya hakim menyatakan dirinya tidak berkuasa dan hakim pun wajib pula mengakuinya karena jabatannya.
Penjelasan:
Eksepsi atau penyangkalan yang disebutkan dalam pasal-pasal 125 dan 133 itu dikenakan kepada penyangkalan wewenang pengadilan negeri yang bersifat relatif, yaitu wewenang yang berhubungan dengan daerah hukumnya, sedangkan eksepsi atau penyangkalan yang disebutkan dalam pasal 134 ini adalah penyangkalan mengenai wewenang pengadilan negeri yang bersifat absolut, yaitu wewenang yang berhubungan dengan sifat perkaranya.
Apabila mengenai wewenang yang bersifat relatif, eksepsi atau penyangkalan itu hanya dapat diperhatikan, jika eksepsi itu diajukan dengan segera pada sidang permulaan atau dengan surat jawaban yang dimaksud dalam pasal 121, maka eksepsi atau penyangkalan wewenang yang bersifat absolut dapat diajukan pada sembarang waktu dalam pemeriksaan perkara.
Apabila penyangkalan itu ternyata betul dan beralasan, maka hakim karena jabatannya wajib mengakui, bahwa ia tidak berwenang.
[22] Pasal 132a
Tergugat berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan kecuali.
kalau penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang gugatan melawan itu akan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;
kalau pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak berhak memeriksa gugatan melawan itu berhubung dengan pokok perselisihan.
dalam perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.
Jikalau dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugat melawan, maka dalam bandingan tidak dapat memajukan gugatan itu.
Penjelasan:
Oleh karena bagi tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya. untuk menggugat kembali penggugat, maka tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan memajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya terhadap gugatan lawannya. Gugatan melawan ini dapat diajukan baik secara tertulis, maupun secara lisan (lihat pasal 132 b).
Dengan diberikannya kesempatan untuk gugat-menggugat ini maka jalannya berperkara menjadi lebih lancar, oleh karena dua persoalan dapat diperiksa sekaligus.
Pada sub 1,2 dan 3 dari pasal ini disebutkan pengecualiannya, yaitu:
1. Jikalau penggugat dalam perkara itu bertindak untuk orang atau badan lain, sedangkan gugatan melawan itu untuk kepentingan pribadi penggugat. Hal ini memang beralasan, sebab penggugat pertama dengan penggugat melawan di sini merupakan dua oknum yang satu sama lain tidak ada hubungannya.
2. Jikalau Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatan pertama tidak mempunyai wewenang guna memeriksa gugatan melawan, seperti misalnya isi gugatan melawan itu karena sifatnya termasuk kompentensi Pengadilan Agama atau pengadilan lain yang bukan pengadilan Negeri itu.
3. Jikalau perkara itu tentang sengketa mengenai eksekusi keputusan hakim, oleh karena dalam pelaksanaan keputusan hakim itu pada hakekatnya sudah tidak ada persoalan lagi tentang persengketaan, sebab segala sesuatu oleh hakim telah diselesaikan, sehingga tidak ada alasan lagi untuk saling bergugatan.

[23] Pasal 227
(1) Jika ada persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang, selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya atau selagi putusan yang mengalahkannya belum dapat

dijalankan, mencari akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari penagih hutang, maka atas surat permintaan orang yang berkepentingan ketua pengadilan negeri dapat memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta harus diberitahukan akan menghadap persidangan, pengadilan negeri yang pertama sesudah itu untuk memajukan dan menguatkan gugatannya.
(2) Orang yang berhutang harus dipanggil atas perintah ketua akan menghadap persidangan itu.
(3) Tentang orang yang harus menjalankan penyitaan itu dan tentang aturan yang harus dituruti, serta akibat-akibat yang berhubung dengan itu maka pasal 197, 198, dan 199 berlaku juga.
(4) Pada hari yang ditentukan itu, maka perkara diperiksa seperti biasa. Jika gugatan itu ditolak, maka diperintahkan, supaya dicabut penyitaan itu.
(5) Pencabutan penyitaan itu di dalam segala hal dapat diminta, jika ditunjuk jaminan atau tanggungan lain yang cukup.

[24] Pasal 197
Jika sudah lewat tempo yang ditentukan itu, dan yang dikalahkan belum juga memenuhi keputusan itu, atau ia jika dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap, maka ketua oleh karena jabatannya memberi perintah dengan surat, supaya disita sekalian banyak barang-barang yang tidak tetap dan jika tidak ada, atau ternyata tidak cukup sekian banyak barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan itu sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya untuk menjalankan keputusan itu.
Penyitaan dijalankan oleh panitera pengadilan negeri.
[25] Pasal 227
(1) Jika ada persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang, selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya atau selagi putusan yang mengalahkannya belum

dijalankan, mencari akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari penagih hutang, maka atas surat permintaan orang yang berkepentingan ketua pengadilan negeri dapat memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta harus diberitahukan akan menghadap persidangan, pengadilan negeri yang pertama sesudah itu untuk memajukan dan menguatkan gugatannya.
(2) Orang yang berhutang harus dipanggil atas perintah ketua akan menghadap persidangan itu.
(3) Tentang orang yang harus menjalankan penyitaan itu dan tentang aturan yang harus dituruti, serta akibat-akibat yang berhubung dengan itu maka pasal 197, 198, dan 199 berlaku juga.
(4) Pada hari yang ditentukan itu, maka perkara diperiksa seperti biasa. Jika gugatan itu ditolak, maka diperintahkan, supaya dicabut penyitaan itu.
(5) Pencabutan penyitaan itu di dalam segala hal dapat diminta, jika ditunjuk jaminan atau tanggungan lain yang cukup

[26] Pasal 163
Barang siapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.
Penjelasan:
Apabila kita membaca pasal ini, kita mudah memperoleh kesan, bahwa seakan-akan para pengadu perkara pada pengadilan negeri itu senantiasa harus membuktikan kebenaran hal-hal yang ia ajukan, pada hal sesungguhnya bukan begitu, sebab yang harus dibuktikan kebenarannya itu hanyalah segala sesuatu yang tidak disetujui oleh tergugat, seperti misalnya A mengajukan gugatan pada pengadilan, menuntut agar supaya B mengembalikan sepeda milik A yang berada di tangan B. Dalam tuntutan itu tidak perlu misalnya A sebagai pemilik harus juga menyatakan dalam tuntutannya, bahwa. sepeda itu didapat olehnya dari pembelian yang syah dengan melampirkan kwintasi tanda pembayarannya, ia cukup mengemukakan bahwa ia adalah menjadi pemilik sebuah sepeda yang ia terangkan tanda-tandanya, dan sepeda itu berada di tangan B yang tidak mau menyerahkan kepada A, Apabila kemudian B menyangkal dan mengatakan bahwa sepeda itu bukan milik A akan tetapi milik B sendiri, asal pembeliannya 6 bulan yang lalu dari toko X, maka B harus membuktikan apa yang ia katakan itu. Apa yang tersebut dalam pasal 163 ini adalah yang biasa disebut "pembagian beban pembuktian", yang maksudnya adalah bahwa yang harus dibuktikan itu hanyalah perbuatan-perbuatan dan kejadian-kejadian yang dipersengketakan oleh ke dua belah pihak yang berperkara, artinya yang tidak mendapat persetujuan kedua pihak. Dengan kata-kata lain, bahwa perbuatan-perbuatan dan kejadian-kejadian yang telah diakui atau yang tidak disangkal oleh pihak lawan, tidak usah dibuktikan lagi.
Perlu diterangkan di sini bahwa juga hal-hal yang telah diketahui oleh umum dan oleh hakim sendiri tidak perlu dibuktikan, sebab "membuktikan" itu berarti "memberikan kepastian kepada hakim" tentang adanya kejadian-kejadian dan keadaan-keadaan itu. Pihak yang mengemukakan sesuatu kejadian atau keadaan, baik penggugat maupun tergugat, yang tidak diakui oleh pihak- lawan, harus membuktikan kejadian atau keadaan itu, seperti misalnya A (penggugat) menerangkan, bahwa ia telah menjual dan menyerahkan barang-barang kepada B (tergugat) dan menuntut dari pada B pembayaran harga pembelian itu. B menyangkal, bahwa ia telah membeli dan menerima barang-barang itu. Dalam hal ini A harus membuktikan penjualan dan penyerahan barang-barang itu. B (tergugat) dalam hal ini tidak memajukan suatu kejadian atau keadaan tertentu, ia hanya menyangkal saja apa yang diterangkan oleh A (penggugat), oleh karena itu B dari pihaknya tidak usah membuktikan apa-apa.
Kalau di samping penyangkalan itu, B mengatakan pula bahwa ia telah menerima barang-barang itu sebagai hadiah dari A, maka B harus membuktikan. pemberian sebagai hadiah itu, jika ini disangkal oleh A.
Menurut Prof. R. Subekti S.H. dalam bukunya yang berjudul "Hukum Pembuktian", maka "pembagian beban pembuktian" itu adalah suatu masalah yang amat penting dalam buku Hukum Pembuktian, oleh karena itu pembagian beban pembuktian itu harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti apriori menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat, dalam jurang kekalahan. Soal pembagian beban pembuktian ini dianggap sebagai suatu soal hukum atau soal juridis, yang dapat diperjuangkan sampai tingkat kasasi di muka mahkamah Agung.
Melakukan beban pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum atau undang-undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan hakim atau pengadilan rendahan yang bersangkutan. Melakukan beban pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum atau undang-undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan hakim atau pengadilan rendahan yang bersangkutan.
Pasal 1865 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (B.W.) atau pasal 163 H.I.R. sebenarnya memang bermaksud memberikan pedoman dalam hal pembagian beban pembuktian.
Dalam hal itu Malikul Adil dalam bukunya yang berjudul "Pembaharuan Hukum Perdata Kita" mengatakan bahwa "Hakim yang insyaf akan arti kedudukannya tidak akan lupa bahwa dalam membagi-bagi beban pembuktian, ia harus bertindak jujur dan sportif, tidak akan membebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan hal yang tidak dapat dibuktikan."
Dalam hubungan ini hukum material sering kali sudah menetapkan suatu pembagian beban pembuktian, misalnya:
a. Adanya keadaan memaksa harus dibuktikan oleh pihak debitur (pasal 1244 B.W.).
b. Siapa yang menuntut penggantian kerugian yang disebabkan suatu perbuatan melanggar hukum, harus membuktikan adanya kesalahan (pasal 1365 B. W.).
c. Siapa yang menunjukkan tiga kwitansi yang terakhir, dianggap telah membayar semua angsuran (pasal 1394 B.W.).
d. Barang siapa menguasai suatu barang bergerak, dianggap sebagai pemiliknya (pasal 1977 ayat (1) B.W.).

[27] Ayat (3) melarang hakim untuk menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat atau meluluskan yang lebih daripada yang digugat, seperti misalnya apabila seorang penggugat dimenangkan di dalam perkaranya untuk membayar kembali uang yang dipinjam oleh lawannya, akan tetapi ia lupa untuk menuntut agar supaya tergugat dihukum pula membayar bunganya, maka hakim tidak diperkenankan menyebutkan dalam putusannya supaya yang kalah itu membayar bunga atas uang pinjaman itu.

[29] Pasal 164
Maka yang disebut alat-alat bukti, yaitu:
bukti dengan surat
bukti dengan saksi
persangkaan-persangkaan
pengakuan
sumpah
di dalam segala hal dengan memperhatikan aturan-aturan yang ditetapkan dalam pasal-pasal yang berikut.
Penjelasan:
1. Apa yang disebutkan sebagai alat-alat bukti dalam pasal ini sebenarnya kurang lengkap. Menurut HIR sesungguhnya masih ada lagi beberapa macam alat bukti lain lagi, seperti misalnya: hasil pemeriksaan hakim sendiri atau hasil penyelidikan setempat yang tersebut dalam pasal 154, hasil pemeriksaan orang ahli yang disebutkan dalam pasal 155 dan begitu pula hal-hal yang diakui oleh umum, atau yang diakui kebenarannya oleh kedua belah pihak.
2. Kalau kita bandingkan isi pasal ini dengan pasal 295 HIR, maka sebagian daripada alat-alat bukti dalam perkara perdata ini berlainan dari alat-alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana. Kalau dalam pembuktian perkara pidana, keyakinan hakim mempunyai peranan

yang penting, maka dalam pembuktian perkara perdata tidak demikian. Keyakinan hakim tidak berperanan sama sekali.

[30] M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika), cet. 10, 2010, h. 566
[31] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta) Ed. 7, 2006, h. 158
[32] Op. cit, h. 607
[33] Op. cit, h. 166
[34] Sudikno Mertokusumo, Op. cit, h. 166
[35] Aza, Pembuktian dan Alat-alat Bukti, artikel ini diposkan 9 Desember 2010 dari  http://po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html.
[36] Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa), cet. 31, 2003,  h. 181
[37] Abdullah Tw, Alat Bukti Dalam Perkara Perdata, artikel diposkan pada 6 Mei 2010 dari http://advosolo.wordpress.com/2010/05/06/alat-bukti-dalam-perkara-perdata/
[38] Aza, Op. cit.
[39] Dr. Wahju Muljono, S.H., Kn., Toeri dan Prakatik Peradilan Perdata Di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Yustisia), h 117
[40] Prof. Subekti, S.H., Op. cit, h. 183
[41] Ibid, h. 184.
[42] Bambang Sugeng A.S., S.H., M.H., dan Sujayadi, S.H., Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata (Jakarta: Kencana), 2011, h 76
[43] Ibid
[44] Pasal 178
Hakim karena jabatannya waktu bermusyawarat wajib mencukupkan segala alasan hukum; yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.
Hakim wajib mengadili atas segala bahagian gugatan.
Ia tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat.
Penjelasan:
Dalam ayat (1) hakim harus mencukupkan segala alasan hukum. Apakah yang dimaksud "alasan hukum" itu? Alasan-alasan hukum yaitu pasal-pasal dari peraturan-peraturan undang-undang yang digunakan sebagai dasar tuntutan penggugat, atau dasar yang digunakan hakim untuk meluluskan atau menolak tuntutan penggugat.
Dengan adanya ketentuan ini maka penggugat sebenarnya sekali-kali tidak perlu khawatir kalau ia lupa tidak menyebutkan atau keliru mengemukakan pasal perundang-undangan yang ia pakai untuk mendasarkan tuntutannya, sebab semuanya itu toh akan dibetulkan oleh hakim yang pada hakekatnya berkewajiban menggunakan peraturan perundang-undangan dalam mempertimbangkan perkara yang berada di tangannya.
Ayat (2) mewajibkan kepada hakim mengadili dan memberikan putusan atas semua bagian dari apa yang digugat atau dituntut, artinya apabila dalam gugatan itu disebutkan beberapa hal yang dituntut seperti misalnya membayar pokok hutang, membayar bunga dan membayar kerugian, maka atas ketiga macam tuntutan ini Pengadilan Negeri harus dengan nyata memberikan keputusannya. Tidak diperkenankan misalnya, apabila atas tuntutan yang pertama ia memberi keputusan meluluskan, sedangkan tuntutan kedua dan ketiga tidak ia singgung sama sekali karena persoalannya sulit umpamanya.
Ayat (3) melarang hakim untuk menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat atau meluluskan yang lebih daripada yang digugat, seperti misalnya apabila seorang penggugat dimenangkan di dalam perkaranya untuk membayar kembali uang yang dipinjam oleh lawannya, akan tetapi ia lupa untuk menuntut agar supaya tergugat dihukum pula membayar bunganya, maka hakim tidak diperkenankan menyebutkan dalam putusannya supaya yang kalah itu membayar bunga atas uang pinjaman itu.
[45] Prof. R. Subekti, SH.,  Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, 1989, Hal. 12
[46] Yahya Harahap, Eksekusi Acara Perdata. Hal. 5
[47] Ibid hal. 13
[48] Ibid hal. 20
[49] Pasal 180
Ketua pengadilan negeri dapat memerintahkan supaya keputusan itu dijalankan dahulu biarpun ada perlawanan atau bandingan, jika ada surat yang syah, suatu surat tulisan yang menurut aturan yang berlaku dapat diterima sebagai bukti atau jika ada hukuman lebih dahulu dengan keputusan yang sudah mendapat kekuasaan pasti, demikian juga jika dikabulkan tuntutan dahulu, lagi pula di dalam perselisihan tentang hak kepunyaan.
Akan tetapi hal menjalankan dahulu, keputusan ini sekali-kali tidak dapat menyebabkan orang disanderakan
[50] Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum,cet. 1, (Jakarta :Sinar Grafika,1994), hal. 94,
[51] Retnowulan Soetantio dan Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata dalam teori dan Praktek,cet.8.(Jakarta: CV. Mandar Maju,1997), hal.149.
[52] sutantio,op.cit., hal 163.
[53] Supomo, Prof. Dr. , S.H., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta, Pradnjaparamita, 1967) hal 39.

[55]Ibid.
[56] R. Soeroso,Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan, cet. 1,(Jakarta: Sinar Grafika, 1994),hal.92.

[58] R. Subekti, Hukum Acara Perdata,Cet. 2, (Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, 1997), hal.171-172.

[59] E. Sundari, S.H., M.Hum., Pengajuan Gugatan Secara Class Action, (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002), hal. 10.
[60] Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan hal. 258
[61] Rudy A. Lontoh. Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit. Hal 159
[62] Martiman Prodjohamidjojo. Penerapan pembuktian terbalik dalam delik korupsi. Hal. 17
[63] Ibid 11-13