Friday, June 17, 2016

Review buku "Perang Suci" by: Karen Armstrong

-Kali ini saya akan mereview salah satu dari buku Karen Armstrong yang terkenal dengan semua bukunya yang berhubungan dengan Agama dan Tuhan. Kebetulan saya telah selesai membaca buku ini dan sedikit mereview buku ini-

Buku ini merupakan satu dari beberapa buku yang ditulis oleh Karen Armstrong. Mengenai Perang Suci atau yang sering dikenal sebagai perang salib sebenarnya telah banyak di tulis dan dibahas di berbagai buku dan berbagai penulis terkait mengenai hal ini. Dalam buku ini kita dapat melihat bahwa penulis merupakan orang yang kualifikasi dalam menuliskan hal-hal yang berhubungan dengan kejadian yang terkait dengan tiga agama samawi ini. Mengenai agama Kristen, penulis dulunya merupakan seorang biarawati katholik sehingga dalam menuliskan hal-hal tentang Kristen dengan sangat baik . mengenai agama Islam dan Yahudi, penulis mendalami kedua agama ini dengan sangat baik dengan langsung melakukan pendekatan terhadap kedua agama ini. Terkhusus agama Islam, penulis melakukan pendekatan dengan cara yang berbeda. Penulis dalam buku ini dapat dilihat sangat memahami Islam. Pemahaman penulis tentang ketiga agama ini terkhusus agama Islam telah membuat buku tentang perang suci atau perang salib ini berbeda dengan buku lain yang terkait dengan hal yang sama. Pendalaman terhadap agama Islam yang sangat luar biasa telah berdampak pada bagaimana Karen Armstrong membawa arah penulisan buku ini.
Yang membuat berbeda adalah Karen Armstrong membawa “visi tiga sisi” dalam buku ini. Visi tiga sisi sendiri merupakan gambaran tiga pihak yang turut dalam perang suci atau yang sering kita dengar sebagai perang salib. Tiga Sisi tersebut yaitu Kristen, Yahudi dan Islam. Buku ini ditulis dengan struktur yang sangat jelas mengenai kejadian perang suci atau perang salib ini. Dimulai dari cerita sebelum kejadian perang suci , pada saat perang suci dan dampak setelah kejadian perang suci itu sendiri. Dan pada bagian terakhir buku ini berisikan epilog yang menjelaskan visi tiga sisi yang dibawa oleh penulis. Jika dilihat sekilas kata visi tiga sisi yang dibawakan penulis maka kita dapat menyimpulkan bahwa penulis akan membawakan topik perang suci ini dengan objektif tanpa memihak terhadap salah satu dari tiga agama yang terkait dalam konflik ini. Namun, apabila dibaca keseluruhan  buku ini Karen Armstrong  cenderung memihak kepada satu golongan tertentu yang terlihat dari hampir semua bab pada buku ini. Bahkan pada kesimpulan/epilog sendiri penulis memiliki beberapa cerita yang bersifat menjatuhkan salah satu golongan ini. Yang mana penulis telah menceritakan keburukan serta kebencian orang yahudi ketika mendengar kumandang adzan di depan makan suci. Penulis telah menuliskan sebuah kebencian yang mendarah daging dalam darah orang Yahudi yang terancam dengan kehadiran Islam di Israel dengan adanya adzan tersebut.  Dan pada epilog ini juga penulis menuliskan bagaimana setiap ordo dalam Kristen mengalami percekcokan antar sesama ordo di dalam Kristen sendiri. Keberpihakan penulis sangat telihat jelas. Pada bab-bab awal sebenarnya maksud dari penulis sebenarnya sudah mulai terlihat dengan menyalahkan barat akan segala sesuatunya.
Dalam buku ini dapat terlihat bahwa penulis banyak menuliskan secara subjektif dari perasaan penulis. Yang mana penulis menduga dan menilai berdasarkan sudut pandang yang dia bawa. Sehingga penting melihat sudut pandang pemikiran dari penulis yang merupakan mantan seorang biarawati pada tahun 1962-1969 yang akhirnya meninggalkan biara untuk melanjutkan kuliah di Oxford.  Masuknya penulis menjadi seorang biarawati merupakan paksaan keluarga karena merupakan tradisi keluarga penulis. Karena merasa tertekan dan memang pada awalnya tidak ingin menjadi biarawati karena menjadi seorang biarawati merupakan sebuah panggilan dan perlu komitmen yang luar biasa akhirnya penulis memutuskan keluar dari biara. Keluarnya Karen Armstrong dari biarawati membawa penulis memperdalam agama samawi lainnya yaitu Islam dan Yahudi. Pendalaman dan pembelajaran terhadap kedua agama ini telah membuat Karen Armstrong aktif dalam penelitian sejarah ketiga agama yang membuat Karen Armstrong sering dipanggil menjadi pembicara dalam kegiatan yang melibatkan ketiga agama ini. Akan tetapi pendalaman yang lebih dilakukan Karen Armstrong terhadap salah satu agama yaitu Islam. Pendalaman ini dapat dilihat dari buku-buku yang ditulis oleh Karen Armstrong yang lain. Dari beberapa buku yang ditulis oleh Karen Armstrong, banyak buku yang menuliskan tentang Islam secara terperinci seperti buku “Muhammad” dan buku lainnya.  Keputusan Karen Armstrong untuk keluar dari Katholik dan memperdalam serta mempelajari Islam telah membawa arah pemikiran dari buku ini sendiri.  Sehingga buku ini bersifat subjektif dari Karen Armstrong yang banyak memuat propaganda terhadap barat dan menuding barat dan menuntut barat untuk meminta maaf. Penulisan buku tentang perang salib yang tidak seimbang ini dapat dilihat dari setiap kali Karen Armstrong menjatuhkan pihak tertentu dan menaikkan salah satu pihak serta menganggap segala kesalahan mutlak itu berada dari satu pihak. Yang mana walaupun pihak yang satu salah seharusnya Karen Armstrong menuliskannya dan menyertakan alasan mengapa pihak tersebut melakukan hal tersebut sehingga terlihat bahwa hal itu dilihat dari ketiga sisi seperti hal yang dibawakan oleh Karen Armstrong yaitu visi tiga sisi.
Dalam hal ini, isi dari buku ini tidak merupakan hal yang salah, karena Karen Armstrong telah melakukan penelitian dan terjun langsung ke lokasi untuk menuliskan hal ini. Yang menjadi salah adalah saat Karen Armstrong membawakan sebuah cerita dengan membawa visi tiga sisi yang seharusnya bersifat adil dan objektif dengan betul-betul melihat dari ketiga sisi tersebut. Misalkan saat Paus Urban II mencetuskan Perang salib untuk pertama kali, seharusnya Karen Armstrong menuliskannya dengan melihat posisi dari sudut pandang Paus Urban II dan masyarakat Eropa pada saat itu. Dan saat Islam diserang dengan adanya Perang Salib, Karen Armstrong sangat baik menjelaskan sudut pandang yang benar-benar dari sudut pandang Islam sendiri. Dan untuk Yahudi dalam cerita ini lebih banyak menjadi sampingan bagi konflik kedua agama ini pada saat perang salib. Akan tetapi dalam penulisannya Karen Armstrong cenderung menjatuhkan Paus Urban II atau Eropa atau Kristen sebagai dalang Perang Salib tanpa memperhatikan alasan dari mereka.

Sebenarnya, tidak salah apabila Karen Armstrong menulis sebuah buku secara subjektif atau dengan lebih melihat dari sudut pandang Islam. Akan tetapi, Buku ini telah membuat pembaca salah paham karena pada awalnya pembaca akan menganggap buku ini dapat dijadikan acuan secarah dan pembelajaran karena visi tiga sisi ini yang dinilai oleh pembaca bahwa buku ini akan ditulis secara objektif tanpa mempertimbangkan perasaan Karen Armstrong sendiri. Seharusnya Karen Armstrong apabila lebih menjelaskan bahwa buku ini berdasarkan prespektif Islam sehingga pembaca tidak terkecoh. Sama halnya seperti buku “Perang Salib” yang dituliskan oleh Carole Hillenbrand yang mana Carole Hillenbrand di sampul bukunya langsung menuliskan bahwa buku tersebut dari prespektif Islam sehingga sebelum membaca buku tersebut pembaca sudah mengerti alur cerita dan maksud dari Carole Hillenbrand. Dan melihat isinya memanglah buku tersebut benar-benar dari sudut agama Islam. Tidak seperti buku ini yang telah mengecoh pembacanya. 

Perempuan dan Anak di Indonesia

I.                   Perbedaan perlakuan terhadap wanita dan anak di Indonesia.

            Akses perempuan dan anak terhadap keadilan di Indonesia masih sangat lemah. Sebagian besar perempuan dan anak masih dihadapkan terhadap permasalahan gender ataupun diskriminasi terhadap perempuan dan anak. Hal demikian bertolak belakang ketika Undang-Undang Dasar Negara ini mengamanatkan didalamnya untuk adanya kesamaan hukum terhadap semua warga negara, Pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” melihat rumusan dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa negara seharusnya atau berkewajiban untuk menjamin terhadap seluruh Warga Negara Indonesia atas kepastian hukum yang adil di hadapan hukum nasional yang kompeten dan badan pemerintah yang memberikan perlindungan efektif dari setiap tindakan diskriminasi terutama terhadap hak dan kewajiban untuk wanita dan anak.
            Dari berbagai analisis terhadap hukum Nampak bahwa hukum tidak netral dan tidak objektif bahkan sejak dari perumusannya. Hukum adalah hasil tawar menawar dan kompromi politik. Mereka yang memilki suara, capital, atau kekuasaan yang paling besar adalah mereka yang suaranya direpresentasikan oleh hukum, hukum bermuatan kepentingan, yaitu kepentingan dari kelompok yang berkuasa sehingga ketika dalam perumusanya saja sudah tidak netral dan objektif maka bagaimana dalam praktik yang menyebabkan tidak adanya objektifitas dari hukum yang menimbulkan diskriminasi terutama terhadap perempaun dan anak.[1]
            Prof. Sulistyowati Irianto dalam bukunya “Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak”, menjelaskan bahwa masih banyak kasus-kasus hukum yang mendiskriminasi hak-hak dari Perempuan dan Anak di Indonesia, dalam bukunya Prof. Sulistyowati membagi permasalahan utama terhadap wanita dan anak menjadi sepuluh pembahasan. Dalam hal ini penulis hanya akan membahas dua contoh yang penulis kutip dari buku tersebut. Pembahasan ini dapat memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan perlakuan atau diskriminasi terhadap perempuan dan anak di Indonesia.
            Pertama, dalam buku tersebut dijelaskan dalam tataran huku privat telah adanya diskriminasi terhadap perempuan yaitu dalam Pasal 31 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa “Suami adalah kepala keluarga, istri adalah ibu rumah tangga”, dalam interpretasi pasal tersebut berdasarkan perspektif feminis menyatakan :
1.      Hanya pekerja laki-lai yang memiliki keluarga, sedangkan perempuan tidak, Perempuan bekerja hanya sebagai pencari nafkah tambahan.
2.      Perempuan hanyalah ibu rumah tangga, dan tidak dapat menjadi kepala rumah tangga.
            Penjelasan tersebut sangat merugikan perempuan dan Negara melalui peraturan hukumnya juga tidak mengakomodir hak dan kewajiban perempuan, karena menganggap perempuan sebelah mata dan menimbulkan diskriminasi terhadap kauw wanita.
            Kedua, Anak adalah kelompok rentan (vulnerable group) yang secara khusus diperhatikan oleh Negara dan masyarakat. Perhatian dan kepedulian ini  muncul dalam hukum nasional maupun internasional yang mengatur hak-hak dasar anak (berbeda dan lebih khusus dari hak asasi manusia)[2] dan lebih jauh lagi mengatur perlindungan seperti apa yang harus diberikan kepada anak yang berhadapan dengan atau khususnya yang berkonflik dengan hukum.
            Di Indonesia, berdasarkan Badan Pusat Statistik, factor yang menyebabkan permasalahan terhadap anak di Indoneisa adalah kemiskinan dan faktor ketidakmampuan orang tua telah menyebabkan banyak  anak Indonesia yang menderita dan perlu bantuan, namun dikarenakan permasalahan internal terhadap diri anak timbul tindakan pidana yang dilakukan oleh anak, dalam hal ini sungguh disayangkan ketika anak dihadapkan kepada proses peradilan pidana yang dapat menimbulkan dampak jau dan mendalam baik secara pribadi maupun terhadap kehidupan sosial dari anak pelaku tindak pidana. Oleh karena itu anak harus diberikan perlindungan khusus oleh hukum dan Negara agar dampak dari peradilan pidana terhadap anak tersebut dapat dikurangi sejauh mungkin.


II.     Peran apa yang dapat dilakukan oleh perempuan dan anak untuk memastikan keberlangsungan hidup bangsa Indonesia

Salah satu salah satu sabda Rasulullah mengatakan yaitu “Wanita itu tiang Negara, bila dia (wanita) baik, maka baiklah negara itu. Tetapi bila wanita itu rusak maka rusaklah negara iti.” (H.R Muslim).
Jika melihat sabda Rasulullah diatas sudah sepatutnya seorang wanita sadar akan perannya dalam membangun dan memajukan bangsa berpegang teguh pada sabda tersebut.
Akan tetapi peran perempuan dan anak di Indonesia seperti tersingkirkan di zaman sekarang, padahal peran anak dan perempuan juga cukup vital. Perempuan, sebagai ibu dari anak adalah kunci keberlangsungan hidup bangsa Indonesia. Begitu juga dengan anak yang merupakan generasi penerus bangsa. Tanpa anak dan perempuan keberlangsungan bangsa Indonesia tidak bisa dipertahankan. Seorang ibu secara khusus bertugas membina generasi bangsa ini yaitu anak yang nantinya sebagai penggerak kemana bangsa Indonesia ini akan melaju. Sehingga tidak salah apabila dikatakan bahwa perempuan merupakan tonggak/fondasi suatu bangsa. Disaat perempuan Indonesia tidak berada pada tempat yang pas maka rubuhlah suatu bangunan/ negara.

III.             Apa yang harus dilakukan untuk mewujudkannya?

Pada dasarnya yang harus dilakukan pertama kali adalah dengan membiasakan diri untuk tidak melakukan diskriminasi dalam hal apa pun terhadap perempuan dan anak. Akan tetapi pembebasan terhadap perempuan dan anak dari diksriminasi ini tidak juga melupakan kodrat mereka sebagai perempuan dan anak.
Pendidikan merupakan suatu jurus yang ampuh untuk menghilangkan diskriminasi serta kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pendidikan yang baik serta tinggi pada perempuan dan anak mendorong perempuan dan anak menjadi pihak yang cerdas sehingga jauh dari kekerasan dan sewenang-wenangan.
Pendidikan yang tinggi tidak hanya berpengaruh bagi perempuan dan anak saja. Laki-laki pada umumnya yang berpendidikan cenderung tidak akan membeda-bedakan gender karena memiliki wawasan yang luas.
Pendidikan sangatlah berpengaruh bagi perempuan dan anak agar mereka mengetahui apa yang menjadi hak mereka sehingga mereka jauh dari ketidak adilan. Hal ini sangat dapat kita lihat pada tindak kekerasan yang sering terjadi terhadap perempuan dan anak dalam rumah tangga diakibatkan kurangnya pengetahuan tentang apa itu hak mereka sebagai perempuan dan anak sehingga mereka cenderung menjadi korban kekerasan.
Pendidikan yang tinggi bagi seorang perempuan yang nantinya akan menjadi seorang ibu dianggap sebagai dasar sebuah kemajuan. Nantinya anaknya akan dididik oleh seorang ibu yang berwawasan luas sehingga anak yang menjadi penerus bangsa ini akan berwawasan luas juga.
Sehingga dapat dikatakan peningkatan pendidikan yang merata tanpa melihat dia itu perempuan atau anak adalah cara yang paling ampuh untuk memajukan bangsa Indonesia. Sebagaimana tertuang dalam cita cita bung karno sang proklamator kemerdekaan Republik Indonesia menginginkan bahwa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa semua biaya pendidikan menjadi tanggungan Negara, akan tetapi sampai saat ini pemerintah belum bisa menanggung biaya pendidikan anak anak Indonesia secara gratis dari Sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Cita cita bung Karno inilah yang harus diteruskan dan ditingkatkan. Karena bung Karno tahu bahwa bangsa Indonesia akan maju apabila pendidikan merata dan maju.



[1] Prof. Sulistyowati Irianto, Hukum Perllindungan Perempuan dan Anak, hal. 48

[2] Universal Declaration of Human Rights, ICCPR dan ICSER. Ketiga dokumen ini  memuat hak-hak dasar manusia secaraumum.