Friday, May 12, 2017

Penyebaran Isu Negatif di Pilkada DKI Jakarta 2017

Pilkada DKI Jakarta telah usai dan pemenangnya sudah ditetapkan oleh KPUD Jakarta.
Pilkada telah usai tapi tidak menurunkan tensi panasnya perebutan kekuasaan di Ibukota negara kita tersebut.
Hal ini tidak lain karena sudah keburu panasnya serangan isu-isu negatif selama masa kampanye.
Isu terpanasnya asalah Isu agama yang ditebarkan salah satu pendukung calon. Yang mana telah menjatuhkan lawannya yang merupakan agama minor di Indonesia. Isu agama bukanlah hal baru, melainkan isu pilihan yg selalu muncul dalam pesta rakyat. Agama yang harusnya menyejukkan hati kini berubah menjadi mainan politik. Agama yang harusnya merupakan urusan pribadi menjadi diumbar-umbar di secara umum. Hal ini beriringan dengan kasus yang akhirnya menimpa oleh salah satu calon. Yang mana penyinggungan salah satu ayat suci Al-quran dalam pidatonya di Kepulauan seribu telah membawa dia dalam tuntutan penistaan agama. Hal ini mencuat ketika salah seorang memposting ulang pidato tersebut dengan memotong durasi pidatonya. Pemotongan video tersebut menjadikan pidato tersebut seperti fokus pada penyinggungan ayat tersebut walaupun mengaburkan makna dan tujuan penyampaiannya. Kasus tersebut akhirnya membawa petahanan diadili di pengadilan. Tuntutan 1 tahun penjara menjadi tuntutan yang di bawa penuntut umum, akan tetapi Hakim menjatuhkan pidana 2 tahun. Inilah yang menjadi isu selanjutnya hingga saat ini sedang panas-panasnya. Jelas saja, vonis hakim lebih besar dari tuntutan merupakan sebuah polemik ultra petita. Akan tetapi putusan telah dijatuhkan dan petahanan harus menjalanin hukumannya atau melakukan banding.
Isu selanjutnya yang tak kalah panasnya adalah isu pribumi dan non pribumi. Isu ini muncul dikarenakan petahan merupakan seorang keturunan etnis Tionghoa. Penyebar isu berdalih bahwa seorang Tionghoa tidak boleh memimpin di Indonesia karena bukan merupakan pribumi Indonesia. Ada juga yang berdalih bahwa Ahok adalah antek Tiongkok yang akan menguasai Indonesia. Bahkan tidak kalah serunya ketika ada yang mengatakan Tiongkok akan menjajah Indonesia. Isu ini muncul dikarenakan adanya kecemburuan sosial terhadap mereka etnis Tionghoa. Kecemburuan tersebut muncul akibat banyaknya pengusaha keturunan Tionghoa yang sangat sukses.hampir di setiap sektor di Jakarta, pengusaha properti merupakan keturunan Tionghoa. Ini bukan bentuk penjajagan atau penguasaan tapi melainkan suatu keunggulan dari mereka. Kita tidak boleh protes karena orang lain lebih unggul. Hal ini sama saja kita protes karena orang lain juara tapi kita tidak pernah belajar. Harusnya kita belajar atau bersaing dengan mereka. Hal ini sejajar dengan peribahasa lama "Belajarlah sampai ke negeri China (Tiongkok)". Peribahasa itu tidak muncul begitu saja, tapi karena ada alaaannya.
Disamping itu kata pribumi dan non pribumi adalah produk politik buatan hinda-belanda untuk membeda-bedakan kita pada waktu penjajahan. Jadi apabila kita masih menggunakannya maka kita masih berpemikiran dijajah. Dan juga jika dilihat asal usul warga Indonesia banyak yang bukan berasal dari Indonesia asli. Seperti halnya orang Batak dan Toraja diperkirakan berasal dari Mongolia. Kebudayaan Betawi memiliki corak kemiripan dengan budaya Tionghoa dan masih banyak lagi. Sehingga untuk mengidentifikasi penduduk asli Indonesia akan sangat sulit jika melihat penduduk Indonesia sekarang.
Isu selanjutnya adalah isu PKI. Isu ini muncul dikarenakan ketakutan akan masa lampau saat terjadinya G30SPKI. PKI masih identik dengan sebuah paham yang ingin merubah Indonesia menjadi komunis. Tapi isu ini muncul dengan cara yang sangat mengherankan. Para penyebar isu ini sedikit aneh dalam memainkan isu PKI ini. Yaitu dengan mengatakan lambang BI sebagai cerminan lambang PKI, gambar gedung hotel Alexis memiliki tulisan PKI dan lambang perayaan PDIP mirip lambang PKI. Walaupun tidak sepanas isu diatas tapi isu PKI ini juga telah menjadi isu wajib yang muncul dalam pesta rakyat.
Itulah isu-isu yang muncul selama Pilkada DKI Jakarta. Berhasil atau tidaknya isu tersebut hasilnya telah keluar. Sekarang tinggal bagaimana kita mengawasi pilkada-pilkada dan bahkan Pemilu agar tidak mudah percaya dengan isu. Jadilah pemilih cerdas dengan melihat komitmennya sebagai pemimpin. Pilihan kita adalah masalah pribadi kitatidak perlu di tunjukkan atau bahkan jadi pembeda diantara kita.
Ingat! Tidak ada kata mayoritas minoritas, pribumi dan non pribumi. Yang ada kita Indonesia.

Salam Bhinneka Tunggal Ika.

Tuesday, March 14, 2017

Proses Pembentukan Undang Undang dan Peraturan Daerah


1.      Undang-undang

Mengenai pembentukan undang-undang pertama kali dibukakan pada UUD 1945 pasal 20 ayat (1) dan (2) yang berisikan,
1.      Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
2.      Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
Hal ini lah yang menjadi dasar pertama kali pembentukan UU yang selalu menjadi acuan dalam pembentukan undang-undang. Secara khusus pembentukan undang-undang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dan dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dan juga ada dalam Peraturan DPR RI No. 1 tahun 2014 tentang tatib pada Bab 6 tentang tata cara pembentukan Undang undang. Mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan diatur juga dalam Peraturan Presiden RI No. 87 tahun 2014 tentang pelaksanaan undang-undang nomor 12 tahun 2011. Yang pada dasarnya ke empat peraturan tersebut mengatur mengenai bagaimana cara dan proses pembentukan sebuah undang-undang termasuk pihak-pihak terkait, tahap-tahapnya sampai pengesahannya. Secara garis besar proses pembentukan undang-undang terbagi menjadi 5 (lima) tahap, yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan.
Perencanaan
Perencanaan adalah tahap dimana DPR dan Presiden (serta DPD terkait RUU tertentu) menyusun daftar RUU yang akan disusun ke depan. Proses ini umumnya kenal dengan istilah penyusunanProgram Legislasi Nasional (Prolegnas). Hasil pembahasan tersebut kemudian dituangkan dalam Keputusan DPR.
Ada dua jenis Prolegnas, yakni yang disusun untuk jangka waktu 5 tahun (Prolegnas Jangka Menengah/ProlegJM) dan tahunan (Prolegnas Prioritas Tahunan/ProlegPT). Sebelum sebuah RUU dapat masuk dalam Prolegnas tahunan, DPR dan/Pemerintah sudah harus menyusun terlebih dahulu Naskah Akademik dan RUU tersebut.
Namun Prolegnas bukanlah satu-satunya acuan dalam perencanaan pembentukan UU. Dimungkinkan adanya pembahasan atas RUU yang tidak terdapat dalam proleganas, baik karena muncul keadaan tertentu yang perlu segera direspon.
Secara umum, ada 5 tahap yang dilalui dalam penyusunan Prolegnas:
·         Pada tahap mengumpulkan masukan, Pemerintah, DPR, dan DPD secara terpisah membuat daftar RUU, baik dari kementerian/lembaga, anggota DPR/DPD, fraksi, serta masyarakat.
·         hasil dari proses pengumpulan tersebut kemudian disaring/dipilih
·         kemudian ditetapkan oleh masing-masing pihak (Presiden, DPR dan DPD -untuk proses di DPD belum diatur).
·         Tahap selanjutnya adalah pembahasan masing-masing usulan dalam forum bersama antara Pemerintah, DPR dan DPD.
·         Tahap penetapan prolegnas (Program Legislasi Nasional)

Penyusunan
Tahap Penyusunan RUU merupakan tahap penyiapan sebelum sebuah RUU dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah. Tahap ini terdiri dari:
·         Pembuatan naskah akademik
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya tehadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan peraturan sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

·         Penyusunan RUU
Penyusunan RUU adalah pembuatan rancangan peraturan pasal demi pasal dengan mengikuti ketentuan dalam lampiran II UU12/2011

·         Harmonisasi pembulatan dan pemantapan konsepsi
adalah suatu tahapan untuk
o   memastikan bahwa RUU yang disusun telah selaras dengan:
1.      Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, dan UU lain
2.      Teknik penyusunan peraturan perundang-undangan
o   Menghasilkan kesepakatan terhadap substansi yang diatur dalam RUU.

Pembahasan
Pembahasan materi RUU antara DPR dan Presiden (juga dengan DPD, khusus untuk topik-topik tertentu) melalui 2 tingkat pembicaraan. Tingkat 1 adalah pembicaraan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran atau rapat panitia khusus. Tingkat 2 adalah pembicaraan dalam rapat paripurna. Pengaturan sebelum adanya putusan MK 92/2012 hanya “mengijinkan” DPD untuk ikut serta dalam pembahasan tingkat 1, namun setelah putusan MK 92/2012, DPD ikut dalam pembahasan tingkat 2. Namun peran DPD tidak sampai kepada ikut memberikan persetujuan terhadap suatu RUU. Persetujuan bersama terhadap suatu RUU tetap menjadi kewenangan Presiden dan DPR.
Apa yang terjadi pada tahap pembahasan adalah “saling kritik” terhadap suatu RUU. Jika RUU tersebut berasal dari Presiden, maka DPR dan DPD akan memberikan pendapat dan masukannya. Jika RUU tersebut berasal dari DPR, maka Presiden dan DPD akan memberikan pendapat dan masukannya. Jika RUU tersebut berasal dari DPD, maka Presiden dan DPR akan memberikan masukan dan pendapatnya.
Pengesahan
Setelah ada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden terkait RUU yang dibahas bersama, Presiden mengesahkan RUU tersebut dengan cara membubuhkan tanda tangan pada naskah RUU. Penandatanganan ini harus dilakukan oleh presiden dalam jangka waktu maksimal 30 hari terhitung sejak tanggal RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Jika presiden tidak menandatangani RUU tersebut sesuai waktu yang ditetapkan, maka RUU tersebut otomatis menjadi UU dan wajib untuk diundangkan. Segera setelah Presiden menandatangani sebuah RUU, Menteri Sekretaris negara memberikan nomor dan tahun pada UU tersebut.
Pengundangan
Pengundangan adalah penempatan UU yang telah disahkan ke dalam Lembaran Negara (LN), yakni untuk batang tubung UU, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) yakni untuk penjelasan UU dan lampirannya, jika ada. TLN.Sebelum sebuah UU ditempatkan dalam LN dan TLN, Menteri Hukum dan HAM terlebih dahulu membubuhkan tanda tangan dan memberikan nomor LN dan TLN pada naskah UU. Tujuan dari pengundangan ini adalah untuk memastikan setiap orang mengetahui UU yang akan mengikat mereka.
Penyebarluasan
Penyebarluasan adalah kegiatan yang selalu “melekat” dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Pasal 88 ayat (1) UU 12/2011 (setelah dimaknai oleh MK dalam putusan MK 92/2012) menyebutkan bahwa, “Penyebarluasan dilakukan oleh DPR, DPD dan Pemerintah sejak Penyusunan Prolegnas, pembahasan RUU, hingga Pengundangan Undang-Undang,” hal tersebut dilakukan untuk,“memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.”

2.  Peraturan Daerah
Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun dari Gubernur/Bupati/Walikota. Apabila dalam satu kali masa sidang Gubernur/Bupati dan DPRD menyampaikan rancangan Perda dengan materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan Perda yang disampaikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota dipergunakan sebagai bahan persandingan. Program penyusunan Perda dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah, sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih dalam penyiapan satu materi Perda.
Proses pembentukan perda usulan pemerintah daerah maupun perda inisiatif DPRD mekanismenya sama saja, karena kedua lembaga itu apabila membuat peraturan daerah berdasarkan pada peraturan perundang-undangan.  Proses pembentukan Perda terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu:
a.       Proses penyiapan rancangan Perda yang merupakan proses penyusunan dan perancangan di lingkungan DPRD atau di lingkungan Pemda, terdiri penyusunan naskah akademik dan naskah rancangan Perda.
b.      Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di DPRD.
c.       Proses pengesahan oleh Gubernur/Bupati/Walikota dan pengundangan oleh Sekretaris Daerah.
Sebenarnya penentuan arah kebijakan untuk kepentingan daerah bukanlah terletak pada keharusan membuat perda-perda yang banyak, akan tetapi pencocokan sumber daya alam maupun manusia lebih diperhitungkan agar daerah itu dapat menyesuaikan kemampuan pada anggaran pendapatan daerah. Faktor adanya peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat juga sebagai bahan refrensi daerah atas kepatuhan  terhadap aturan hukum yang menyesuaikan dengan  kondisi lingkungan didaerahnya. Oleh karena itu agar kebijakan daerah yang effektip, efisiensi, dan accountability dibutuhkan rencana yang matang dengan kadar waktu jangka 1 (satu) tahun, menengah, dan panjang terkonsepkan dalam draf rencana kerja.
Berharap pada pembentukan peraturan daerah membawakan rasa keadilan yang nyata bagi masyarakat daerah agar kelangsungan hidup ekonomi dapat dirasakan. Keadilan adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang beradab. Hukum diciptakan agar agar setiap individu anggota masyarakat dan penyelenggara negara melakukan sesuatu tidakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan. Keadilan memang merupakan konsepsi yang abstrak. Namun demikian di dalam konsep keadilan terkandung makna perlindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum, serta asas proporsionalitas antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. Sifat abstrak dari keadilan adalah karena keadilan tidak selalu dapat dilahirkan dari rasionalitas, tetapi juga ditentukan oleh atmosfir sosial yang dipengaruhi oleh tata nilai dan norma lain dalam masyarakat. Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.
Aturan terhadap pembuatan raperda inisiatif DPRD, penulis mengkaji secara seksama dengan  tinjauan isi materi permendagri nomor 53 tahun 2011 tentang pembuatan produk hukum daerah. Mekanisme penyusunan raperda inisiatif DPRD telah diatur sebagaimana dalam pasal-perpasal permendagri, faktor yang mendukung jalannya proses pembuatan raperda inisiatif DPRD dalam fungsinya karena adanya aturan itu agar proses penyusunan raperda dilingkungan DPRD secara prosedural agar hasil yang dicapai dengan maksimal, ini signifikan menyangkut kepentingan daerah.  Selanjutnya bagaimana proses penyusunan raperda inisiatif DPRD dari awal sampai disahkannya menjada perda, yaitu:
1.      Balegda Menyusun prolegda dilingkungan DPRD berdasarkan skala proritas dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, diatur dalam Pasal 12 Permendagri Nomor 53 Tahun 2011.
2.      Hasil penyusunan Prolegda antara pemerintah daerah dan DPRD disepakati menjadi prolegda dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD, ditetapkan dengan keputusan DPRD. Berdasarkan Pasal 13 Permendagri nomor 53 tahun 2011.
3.      Setelah Prolegda disahkan, selanjutnya tahap penyusunan raperda dilingkungan DPRD. Rancangan Perda yang berasal dari DPRD dapat diajukan oleh anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atau Balegda. Rancangan Perda disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPRD disertai naskah akademik dan/atau penjelasan atau keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur, daftar nama dan tanda tangan pengusul, dan diberikan nomor pokok oleh sekretariat DPRD. Berdasarkan Pasal 27 ayat 1 dan 2 Permendagri nomor 53 tahun 2011.
Untuk raperda yang berkaitan dengan:
o   APBD;
o   pencabutan Perda; atau
o   perubahan Perda yang hanya terbatas mengubah beberapa materi,
Hanya disertai dengan penjelasan atau keterangan, sebagaimana dalam Pasal 28 Permendagri nomor 53 tahun 2011.
4.      Menyangkut kegunaan dan fungsi raperda dibutuhkan alasan-alasan yang kuat sebagaimana di atur dalam Pasal 29, yaitu
             Rancangan Perda yang disertai naskah akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 telah melalui pengkajian dan penyelarasan, yang terdiri atas:
1.    latar belakang dan tujuan penyusunan;
2.    sasaran yang akan diwujudkan;
3.    pokok pikiran, ruang lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
4.    jangkauan dan arah pengaturan.
                 Naskah akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan sistematika sebagai berikut:
1.    Judul
2.    Kata pengantar
3.    Daftar isi terdiri dari:
a)      BAB I                        :Pendahuluan
b)      BAB II           :Kajian teoritis dan praktik empiris
c)      BAB III          :Evaluasi dan analis peraturan perundang-undangan terkait
d)      BAB IV         :Landasan filosofis, sosiologis dan yuridis
e)      BAB V           :Jangkauan,arah pengaturan dan ruang lingkup materi muatan Perda
f)       BAB VI         :Penutup
4.    Daftar pustaka
5.    Lampiran Rancangan Perda, jika diperlukan.

5.      pengusul menyampaikan raperda kepada pimpinan DPRD, lalu pimpinan DPRD memberika raperda kepada Balegda untuk dikaji sebagai pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Perda. Berdasarkan Pasal 30.
6.      Pimpinan DPRD menyampaikan hasil pengkajian kepada anggota DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum rapat paripurna. Agenda rapat paripurna DPRD yang dilaksanakan berkaitan dengan raperda inisiatif meliputi:
a)    pengusul memberikan penjelasan;
b)   fraksi dan anggota DPRD lainnya memberikan pandangan; dan
c)    pengusul memberikan jawaban atas pandangan fraksi dan anggota DPRD lainnya.
Selanjutnya rapat paripurna memutuskan terhadap raperda, sebagai berikut:
1.         persetujuan;
2.         persetujuan dengan pengubahan; atau
3.         penolakan.

Dalam hal persetujuan dengan pengubahan, pimpinan DPRD menugasi komisi, gabungan komisi, Balegda, atau panitia khusus untuk menyempurnakan Rancangan Perda tersebut. Setelah penyempurnaan raperda selanjutnya diberikan kepada pimpinan DPRD. Berdasarkan Pasal 31 ayat 1-6 Permendagri nomor 53 tahun 2011.
7.      Pasal 32 Permendagri nomor 53 tahun 2011 mengatakan, Rancangan Perda yang telah disiapkan oleh DPRD disampaikan dengan surat pimpinan DPRD kepada kepala daerah untuk dilakukan pembahasan.
8.      walaupun raperda inisiatif yang dibahas tetap harus ada keputusan bersama antara DPRD dengan Pemerintah Daerah, dalam tahap pembahasan raperda inisiatif melalui pembicaraan 2 (dua) tingkat. sesuai dengan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Permendagri nomor 53 tahun 2011.
9.      Pasal 35 huruf b, dalam hal Rancangan Perda berasal dari DPRD dilakukan dengan:
-                 Penjelasan pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Balegda, atau pimpinan panitia khusus dalam rapat paripurna mengenai Rancangan Perda;
-                 Pendapat kepala daerah terhadap Rancangan Perda; dan
-                 Tanggapan dan/atau jawaban fraksi terhadap pendapat kepala daerah.
Setelah terlaksana kegiatan di rapat paripurna DPRD sebagaimana keterangan di atas maka pembahasan dalam rapat komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus yang dilakukan bersama dengan kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakilinya, berdasarkan Pasal 35 huruf c Permendagri nomor 53 tahun 2011.

10.  Pasal 36 huruf a dan b Permendagri nomor 53 tahun 2011, mengatur proses Pembicaraan tingkat II meliputi:
a)      Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan:
-        Penyampaian laporan pimpinan komisi/pimpinan gabungan komisi/pimpinan panitia khusus yang berisi pendapat fraksi dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c; dan
-        Permintaan persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat paripurna.
b)      Pendapat akhir kepala daerah.

11.  Penetapan Raperda menjadi PERDA, berdasarkan Pasal 40 ayat 1 dan 2 Permendagri nomor 53 tahun 2011, mengatakan:
-        Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan kepala daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah untuk ditetapkan menjadi Perda.
-        Penyampaian Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Daerah
Dalam pembuatan undang-undang maupun peraturan daerah, penting memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan yang baik yang sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 yaitu sebagai berikut :
a.       kejelasan tujuan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b.      kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c.       kesesuaian antara jenis dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan.
d.      dapat dilaksanakan, yaitu bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e.       kedayagunaan dan kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.
f.       kejelasan rumusan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g.       keterbukaan, yaitu dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.                        
Pada pasal 6 undang-undang yang sama juga mengharuskan dalam pembentukan peraturan  materi muatan peraturan tersebut harus mengandung asas-asas sebagai berikut :
a.       asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan peraturan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
b.      asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan peraturan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi
c.       asas kebangsaan, bahwa setiap muatan peraturan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
d.      asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan peraturan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e.       asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan peraturan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesiadan materi muatan Perda merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
f.       asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan peraturan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
g.       asas keadilan, bahwa setiap materi muatan peraturan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
h.      asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan peraturan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial.
i.        asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan peraturan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
j.        asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.
k.      asas lain sesuai substansi peraturan yang bersangkutan.
Khusus dalam Peraturan Daerah selain asas dan materi muatan di atas, DPRD dan Pemerintah Daerah dalam menetapkan Perda harus mempertimbangkan keunggulan lokal /daerah, sehingga mempunyai daya saing dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat daerahnya.

Dasar Hukum
·         Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 D ayat (1), dan Pasal 22 D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
·         Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
·         Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
·         Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
·         Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1/DPR RI/TAHUN 2009 tentang Tata Tertib;
·         Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyusunan Program Legislasi Nasional;
·         Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang;
·         Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
·         Permendagri nomor 53 tahun 2011 tentang pembuatan produk hukum daerah