1.
Undang-undang
Mengenai
pembentukan undang-undang pertama kali dibukakan pada UUD 1945 pasal 20 ayat
(1) dan (2) yang berisikan,
1. Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk undang-undang.
2. Setiap rancangan undang-undang
dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama
Hal ini lah yang menjadi dasar
pertama kali pembentukan UU yang selalu menjadi acuan dalam pembentukan
undang-undang. Secara khusus pembentukan undang-undang diatur dalam UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dan dalam UU No.
27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dan juga ada dalam
Peraturan DPR RI No. 1 tahun 2014 tentang tatib pada Bab 6 tentang tata cara
pembentukan Undang undang. Mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan
diatur juga dalam Peraturan Presiden RI No. 87 tahun 2014 tentang pelaksanaan
undang-undang nomor 12 tahun 2011. Yang pada dasarnya ke empat peraturan tersebut
mengatur mengenai bagaimana cara dan proses pembentukan sebuah undang-undang
termasuk pihak-pihak terkait, tahap-tahapnya sampai pengesahannya. Secara garis
besar proses pembentukan undang-undang terbagi menjadi 5 (lima) tahap, yakni
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan.
Perencanaan
Perencanaan adalah tahap dimana
DPR dan Presiden (serta DPD terkait RUU tertentu) menyusun daftar RUU yang akan
disusun ke depan. Proses ini umumnya kenal dengan istilah penyusunanProgram Legislasi
Nasional (Prolegnas). Hasil pembahasan tersebut kemudian dituangkan dalam
Keputusan DPR.
Ada dua jenis Prolegnas, yakni
yang disusun untuk jangka waktu 5 tahun (Prolegnas Jangka Menengah/ProlegJM)
dan tahunan (Prolegnas Prioritas Tahunan/ProlegPT). Sebelum sebuah RUU dapat
masuk dalam Prolegnas tahunan, DPR dan/Pemerintah sudah harus menyusun terlebih
dahulu Naskah Akademik dan RUU tersebut.
Namun Prolegnas bukanlah
satu-satunya acuan dalam perencanaan pembentukan UU. Dimungkinkan adanya
pembahasan atas RUU yang tidak terdapat dalam proleganas, baik karena muncul
keadaan tertentu yang perlu segera direspon.
Secara
umum, ada 5 tahap yang dilalui dalam penyusunan Prolegnas:
·
Pada
tahap mengumpulkan masukan, Pemerintah, DPR, dan DPD secara terpisah membuat
daftar RUU, baik dari kementerian/lembaga, anggota DPR/DPD, fraksi, serta
masyarakat.
·
hasil
dari proses pengumpulan tersebut kemudian disaring/dipilih
·
kemudian
ditetapkan oleh masing-masing pihak (Presiden, DPR dan DPD -untuk proses di DPD
belum diatur).
·
Tahap
selanjutnya adalah pembahasan masing-masing usulan dalam forum bersama antara
Pemerintah, DPR dan DPD.
·
Tahap
penetapan prolegnas (Program Legislasi Nasional)
Penyusunan
Tahap Penyusunan RUU merupakan
tahap penyiapan sebelum sebuah RUU dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah.
Tahap ini terdiri dari:
·
Pembuatan
naskah akademik
Naskah Akademik adalah naskah
hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya tehadap
suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai
pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan peraturan sebagai solusi
terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
·
Penyusunan
RUU
Penyusunan RUU adalah pembuatan
rancangan peraturan pasal demi pasal dengan mengikuti ketentuan dalam lampiran
II UU12/2011
·
Harmonisasi pembulatan dan pemantapan konsepsi
adalah suatu
tahapan untuk
o
memastikan bahwa RUU yang disusun telah selaras dengan:
1. Pancasila,
UUD NRI Tahun 1945, dan UU lain
2. Teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan
o
Menghasilkan kesepakatan terhadap substansi yang diatur
dalam RUU.
Pembahasan
Pembahasan
materi RUU antara DPR dan Presiden (juga dengan DPD, khusus untuk topik-topik
tertentu) melalui 2 tingkat pembicaraan. Tingkat 1 adalah pembicaraan dalam
rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat badan
anggaran atau rapat panitia khusus. Tingkat 2 adalah pembicaraan dalam rapat
paripurna. Pengaturan sebelum adanya putusan MK 92/2012 hanya “mengijinkan” DPD
untuk ikut serta dalam pembahasan tingkat 1, namun setelah putusan MK 92/2012,
DPD ikut dalam pembahasan tingkat 2. Namun peran DPD tidak sampai kepada ikut
memberikan persetujuan terhadap suatu RUU. Persetujuan bersama terhadap suatu
RUU tetap menjadi kewenangan Presiden dan DPR.
Apa yang
terjadi pada tahap pembahasan adalah “saling kritik” terhadap suatu RUU. Jika
RUU tersebut berasal dari Presiden, maka DPR dan DPD akan memberikan pendapat
dan masukannya. Jika RUU tersebut berasal dari DPR, maka Presiden dan DPD akan
memberikan pendapat dan masukannya. Jika RUU tersebut berasal dari DPD, maka
Presiden dan DPR akan memberikan masukan dan pendapatnya.
Pengesahan
Setelah ada
persetujuan bersama antara DPR dan Presiden terkait RUU yang dibahas bersama,
Presiden mengesahkan RUU tersebut dengan cara membubuhkan tanda tangan pada
naskah RUU. Penandatanganan ini harus dilakukan oleh presiden dalam jangka
waktu maksimal 30 hari terhitung sejak tanggal RUU tersebut disetujui bersama
oleh DPR dan Presiden. Jika presiden tidak menandatangani RUU tersebut sesuai
waktu yang ditetapkan, maka RUU tersebut otomatis menjadi UU dan wajib untuk
diundangkan. Segera setelah Presiden menandatangani sebuah RUU, Menteri
Sekretaris negara memberikan nomor dan tahun pada UU tersebut.
Pengundangan
Pengundangan
adalah penempatan UU yang telah disahkan ke dalam Lembaran Negara (LN), yakni
untuk batang tubung UU, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) yakni untuk
penjelasan UU dan lampirannya, jika ada. TLN.Sebelum sebuah UU ditempatkan
dalam LN dan TLN, Menteri Hukum dan HAM terlebih dahulu membubuhkan tanda
tangan dan memberikan nomor LN dan TLN pada naskah UU. Tujuan dari pengundangan
ini adalah untuk memastikan setiap orang mengetahui UU yang akan mengikat
mereka.
Penyebarluasan
Penyebarluasan
adalah kegiatan yang selalu “melekat” dalam setiap tahapan pembentukan
peraturan perundang-undangan. Pasal 88 ayat (1) UU 12/2011 (setelah dimaknai
oleh MK dalam putusan MK 92/2012) menyebutkan bahwa, “Penyebarluasan dilakukan
oleh DPR, DPD dan Pemerintah sejak Penyusunan Prolegnas, pembahasan RUU, hingga
Pengundangan Undang-Undang,” hal tersebut dilakukan untuk,“memberikan informasi
dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.”
2. Peraturan Daerah
Rancangan Peraturan Daerah
dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun dari
Gubernur/Bupati/Walikota. Apabila dalam satu kali masa sidang Gubernur/Bupati
dan DPRD menyampaikan rancangan Perda dengan materi yang sama, maka yang
dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan
Perda yang disampaikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota dipergunakan sebagai bahan
persandingan. Program penyusunan Perda dilakukan dalam satu Program Legislasi
Daerah, sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih dalam penyiapan satu materi
Perda.
Proses pembentukan perda
usulan pemerintah daerah maupun perda inisiatif DPRD mekanismenya sama saja,
karena kedua lembaga itu apabila membuat peraturan daerah berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan. Proses
pembentukan Perda terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu:
a. Proses penyiapan rancangan
Perda yang merupakan proses penyusunan dan perancangan di lingkungan DPRD atau
di lingkungan Pemda, terdiri penyusunan naskah akademik dan naskah rancangan
Perda.
b. Proses mendapatkan
persetujuan, yang merupakan pembahasan di DPRD.
c. Proses pengesahan oleh
Gubernur/Bupati/Walikota dan pengundangan oleh Sekretaris Daerah.
Sebenarnya penentuan arah
kebijakan untuk kepentingan daerah bukanlah terletak pada keharusan membuat
perda-perda yang banyak, akan tetapi pencocokan sumber daya alam maupun manusia
lebih diperhitungkan agar daerah itu dapat menyesuaikan kemampuan pada anggaran
pendapatan daerah. Faktor adanya peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dapat juga sebagai bahan refrensi daerah atas kepatuhan terhadap aturan hukum yang menyesuaikan
dengan kondisi lingkungan didaerahnya.
Oleh karena itu agar kebijakan daerah yang effektip, efisiensi, dan
accountability dibutuhkan rencana yang matang dengan kadar waktu jangka 1
(satu) tahun, menengah, dan panjang terkonsepkan dalam draf rencana kerja.
Berharap pada pembentukan
peraturan daerah membawakan rasa keadilan yang nyata bagi masyarakat daerah
agar kelangsungan hidup ekonomi dapat dirasakan. Keadilan adalah perekat
tatanan kehidupan bermasyarakat yang beradab. Hukum diciptakan agar agar setiap
individu anggota masyarakat dan penyelenggara negara melakukan sesuatu tidakan
yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan
bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak
tatanan keadilan. Keadilan memang merupakan konsepsi yang abstrak. Namun
demikian di dalam konsep keadilan terkandung makna perlindungan hak, persamaan
derajat dan kedudukan di hadapan hukum, serta asas proporsionalitas antara
kepentingan individu dan kepentingan sosial. Sifat abstrak dari keadilan adalah
karena keadilan tidak selalu dapat dilahirkan dari rasionalitas, tetapi juga
ditentukan oleh atmosfir sosial yang dipengaruhi oleh tata nilai dan norma lain
dalam masyarakat. Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat
dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari
kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan
tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap
orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum
tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan
hukum tanpa diskriminasi.
Aturan terhadap pembuatan
raperda inisiatif DPRD, penulis mengkaji secara seksama dengan tinjauan isi materi permendagri nomor 53
tahun 2011 tentang pembuatan produk hukum daerah. Mekanisme penyusunan raperda
inisiatif DPRD telah diatur sebagaimana dalam pasal-perpasal permendagri,
faktor yang mendukung jalannya proses pembuatan raperda inisiatif DPRD dalam
fungsinya karena adanya aturan itu agar proses penyusunan raperda dilingkungan
DPRD secara prosedural agar hasil yang dicapai dengan maksimal, ini signifikan
menyangkut kepentingan daerah. Selanjutnya bagaimana proses penyusunan raperda
inisiatif DPRD dari awal sampai disahkannya menjada perda, yaitu:
1.
Balegda
Menyusun prolegda dilingkungan DPRD berdasarkan skala proritas dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun, diatur dalam Pasal 12 Permendagri Nomor 53 Tahun 2011.
2.
Hasil
penyusunan Prolegda antara pemerintah daerah dan DPRD disepakati menjadi
prolegda dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPRD, ditetapkan dengan keputusan
DPRD. Berdasarkan Pasal 13 Permendagri nomor 53 tahun 2011.
3.
Setelah
Prolegda disahkan, selanjutnya tahap penyusunan raperda dilingkungan DPRD.
Rancangan Perda yang berasal dari DPRD dapat diajukan oleh anggota DPRD,
komisi, gabungan komisi, atau Balegda. Rancangan Perda disampaikan secara
tertulis kepada pimpinan DPRD disertai naskah akademik dan/atau penjelasan atau
keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur, daftar nama
dan tanda tangan pengusul, dan diberikan nomor pokok oleh sekretariat DPRD.
Berdasarkan Pasal 27 ayat 1 dan 2 Permendagri nomor 53 tahun 2011.
Untuk
raperda yang berkaitan dengan:
o
APBD;
o
pencabutan
Perda; atau
o
perubahan Perda yang hanya terbatas mengubah beberapa
materi,
Hanya
disertai dengan penjelasan atau keterangan, sebagaimana dalam Pasal 28
Permendagri nomor 53 tahun 2011.
4. Menyangkut kegunaan dan
fungsi raperda dibutuhkan alasan-alasan yang kuat sebagaimana di atur dalam
Pasal 29, yaitu
•
Rancangan Perda yang disertai naskah akademik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 telah melalui pengkajian dan penyelarasan, yang terdiri
atas:
1. latar belakang dan tujuan
penyusunan;
2. sasaran yang akan
diwujudkan;
3. pokok pikiran, ruang
lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
4. jangkauan dan arah
pengaturan.
•
Naskah akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dengan sistematika sebagai berikut:
1. Judul
2. Kata pengantar
3. Daftar isi terdiri dari:
a) BAB I :Pendahuluan
b) BAB II :Kajian teoritis dan praktik empiris
c) BAB III :Evaluasi dan analis peraturan
perundang-undangan terkait
d) BAB IV :Landasan filosofis, sosiologis dan
yuridis
e) BAB V :Jangkauan,arah pengaturan dan ruang
lingkup materi muatan Perda
f) BAB VI :Penutup
4. Daftar pustaka
5. Lampiran Rancangan Perda,
jika diperlukan.
5. pengusul menyampaikan
raperda kepada pimpinan DPRD, lalu pimpinan DPRD memberika raperda kepada
Balegda untuk dikaji sebagai pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan
konsepsi Rancangan Perda. Berdasarkan Pasal 30.
6. Pimpinan DPRD menyampaikan
hasil pengkajian kepada anggota DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum rapat
paripurna. Agenda
rapat paripurna DPRD yang dilaksanakan berkaitan dengan raperda inisiatif
meliputi:
a) pengusul
memberikan penjelasan;
b) fraksi dan
anggota DPRD lainnya memberikan pandangan; dan
c) pengusul
memberikan jawaban atas pandangan fraksi dan anggota DPRD lainnya.
Selanjutnya
rapat paripurna memutuskan terhadap raperda, sebagai berikut:
1. persetujuan;
2. persetujuan dengan pengubahan; atau
3. penolakan.
Dalam hal persetujuan dengan
pengubahan, pimpinan DPRD menugasi komisi, gabungan komisi, Balegda, atau
panitia khusus untuk menyempurnakan Rancangan Perda tersebut. Setelah
penyempurnaan raperda selanjutnya diberikan kepada pimpinan DPRD. Berdasarkan
Pasal 31 ayat 1-6 Permendagri nomor 53 tahun 2011.
7.
Pasal 32
Permendagri nomor 53 tahun 2011 mengatakan, Rancangan Perda yang telah
disiapkan oleh DPRD disampaikan dengan surat pimpinan DPRD kepada kepala daerah
untuk dilakukan pembahasan.
8.
walaupun
raperda inisiatif yang dibahas tetap harus ada keputusan bersama antara DPRD
dengan Pemerintah Daerah, dalam tahap pembahasan raperda inisiatif melalui
pembicaraan 2 (dua) tingkat. sesuai dengan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Permendagri
nomor 53 tahun 2011.
9. Pasal 35 huruf b, dalam
hal Rancangan Perda berasal dari DPRD dilakukan dengan:
-
Penjelasan pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan
Balegda, atau pimpinan panitia khusus dalam rapat paripurna mengenai Rancangan
Perda;
-
Pendapat
kepala daerah terhadap Rancangan Perda; dan
-
Tanggapan
dan/atau jawaban fraksi terhadap pendapat kepala daerah.
Setelah
terlaksana kegiatan di rapat paripurna DPRD sebagaimana keterangan di atas maka
pembahasan dalam rapat komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus yang
dilakukan bersama dengan kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk untuk
mewakilinya, berdasarkan Pasal 35 huruf c Permendagri nomor 53 tahun 2011.
10. Pasal 36 huruf a dan b Permendagri nomor 53
tahun 2011, mengatur proses Pembicaraan tingkat II meliputi:
a) Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna
yang didahului dengan:
-
Penyampaian laporan pimpinan komisi/pimpinan gabungan
komisi/pimpinan panitia khusus yang berisi pendapat fraksi dan hasil pembahasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c; dan
-
Permintaan
persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat paripurna.
b)
Pendapat
akhir kepala daerah.
11. Penetapan Raperda menjadi PERDA, berdasarkan
Pasal 40 ayat 1 dan 2 Permendagri nomor 53 tahun 2011, mengatakan:
-
Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD
dan kepala daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerah untuk
ditetapkan menjadi Perda.
-
Penyampaian Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung
sejak tanggal persetujuan bersama.
Asas-asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Daerah
Dalam pembuatan undang-undang maupun peraturan
daerah, penting memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan yang baik yang
sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 yaitu sebagai berikut :
a. kejelasan tujuan, yaitu
bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan
yang jelas yang hendak dicapai.
b. kelembagaan atau organ
pembentuk yang tepat, yaitu setiap jenis peraturan perundang-undangan harus
dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang
berwenang dan dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh
lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
c. kesesuaian antara jenis
dan materi muatan, yaitu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus
benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundang-undangan.
d. dapat dilaksanakan, yaitu
bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan
efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
e. kedayagunaan dan
kehasilgunaan, yaitu setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang
benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasayarakat,
berbangsa dan bernegara.
f. kejelasan rumusan, yaitu
setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa
hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. keterbukaan, yaitu dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan,
persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.
Pada pasal 6 undang-undang yang sama juga
mengharuskan dalam pembentukan peraturan
materi muatan peraturan tersebut harus mengandung asas-asas sebagai
berikut :
a. asas pengayoman, bahwa
setiap materi muatan peraturan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam
rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
b. asas kemanusiaan, bahwa
setiap materi muatan peraturan harus mencerminkan
perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi
c. asas kebangsaan, bahwa
setiap muatan peraturan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia
yang pluralistic (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia.
d. asas kekeluargaan, bahwa
setiap materi muatan peraturan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e. asas kenusantaraan, bahwa
setiap materi muatan peraturan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh
wilayah Indonesiadan materi muatan Perda merupakan bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila.
f. asas bhinneka tunggal ika,
bahwa setiap materi muatan peraturan harus memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
g. asas keadilan, bahwa
setiap materi muatan peraturan harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
h. asas kesamaan dalam hukum
dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan peraturan tidak boleh berisi
hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama,
suku, ras, golongan, gender atau status sosial.
i.
asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi
muatan peraturan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan adanya kepastian hukum.
j.
asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa
setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan
keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan
bangsa dan negara.
k.
asas
lain sesuai substansi peraturan yang bersangkutan.
Khusus
dalam Peraturan Daerah selain asas dan materi muatan di atas, DPRD dan
Pemerintah Daerah dalam menetapkan Perda harus mempertimbangkan keunggulan
lokal /daerah, sehingga mempunyai daya saing dalam pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat daerahnya.
Dasar Hukum
·
Pasal
5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 D ayat (1), dan Pasal 22 D ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
·
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan;
·
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah;
·
Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan;
·
Peraturan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1/DPR RI/TAHUN 2009 tentang
Tata Tertib;
·
Peraturan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Penyusunan Program Legislasi Nasional;
·
Peraturan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang;
·
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
·
Permendagri nomor 53 tahun 2011 tentang pembuatan produk
hukum daerah