Dasar
Pemaaf merupakan alasan yang
menghapuskan kesalahan terdakwa. unsur-unsur delik sudah terbukti, namun unsur
kesalahan tak ada pada pembuat. Maka terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan
hukum. Dalam hal ini misalnya :
·
adanya ketidakmampuan bertanggungjawab
si pembuat (Pasal 44 ayat 1)
·
adanya daya paksa mutlak dan perlampuan
keadaan darurat (noodtoestandexces, Pasal 48)
·
adanya pembelaan terpaksa yang melampaui
batas (noodwerexes, Pasal 49 ayat 2)
·
karena menjalankan perintah jabatan yang
tidak sah dengan itikad baik (Pasal 51 ayat 2)
1.
Ketidakmampuan
Bertanggungjawab
Pasal
44 KUHP menyatakan orang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam 2 hal, yaitu :
jiwanya cacad dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit jiwa.
Ketidakmapuan bertanggungjawab meniadakan kesalahan dalam arti luas dan oleh
karena itu termasuk dasar pemaaf.
Namun
demikian apabila kita mencoba mencari ketentuan yang menyatakan bagaimana/kapan
seseorang itu dianggap tidak mempunyai jiwa yang sehat hal tersebut tidak akan
ditemukan, jadi untuk menentukannya kita harus kembali melihat Memorie van
Toelichting (M.v.T) atau penjelasan daripada KUHP itu. Dalam M.t.V ditentukan
bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya bila :
a.
Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa
sehingga ia tidak dapat mengerti akan harga dan nilai dari perbuatannya.
b.
Ia tidak dapat menentukan kehendaknya terhadap
perbuatan yang ia lakukan.
c.
Ia tidak dapat menginsyafi bahwa
perbuatannya adalah terlarang.
Alasan
undang-undang merumuskan mengenai pertanggungjawaban itu secara negatif,
artinya merumuskan tentang keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggungjawab dan
bukan mengenai mampu bertanggungjawab, tidak lepas dari sikap pembentuk
undang-undang yang menganggap bahwa setiap orang itu mampu bertanggung jawab.
Dengan berpijak pada prinsip itu, dalam rangka mencapai keadilan dari vonis
hakim, maka dalam hal kemampuan bertanggung jawab ini dirumuskan secara
negatif, ditentukan keadaan tertentu mengenai jiwa seorang yang tidak mampu bertanggungjawab
agar tidak dipidana karena melakukan perbuatan.
Ada
tiga cara yang dapat digunakan dalam rangka menyelidiki keadaan jiwa si pembuat
untuk menentukan apakah si pembuat berada dalam keadaan tidak mampu
bertanggungjawab, yaitu :
metode
biologis, artinya dengan menyelidiki gejala-gejala atau keadaan yang abnormal
yang kemudian dihubungkan dengan ketidakmapuan bertanggungjawab;
metode
psikologis, dengan menyelidiki ciri-ciri psikologis yang ada kemudian dari
ciri-ciri itu dinilai untuk menarik kesimpulan apakah orang itu mampu
bertanggungjawab atau tidak;
metode
gabungan.
Dapat
disimpulkan bahwa ketidakmampuan bertanggungjawab memerlukan selain
perkembangan jiwa yang tidak normal dan penyakiy yang disebabkan gangguan
kejiwaan, juga syarat adanya hubungan kausal antara penyakit jiwa dan
perbuatan.
Misalnya,
hanya orang yang disebut gila saja yang dianggap tidak mampu bertanggungjawab
terhaap semua delik, tetapi semua penyakit jiwa tertentu yang hanya ada
hubungan kausalnya dengan pencurian misalnya seperti cleptomanie, tidak
membebaskan pembuat dari tanggungjawab pidana terhadap delik-delik lain,
misalnya penganiayaan, pembunuhan, dan sebagainya. Oleh karena itu kerjasma
hakim dan psikiater menjasi syarat mutlak tentang penentuan bertanggungjawab atau ketidakmampuan bertanggungjawab.
2.
Daya
Paksa (overmacht)
Hal
ini diatur dalam Pasal 48 KUHP menyatakan barangsiapa yang melakukan perbuatan
karena pengaruh daya paksa tidak dapat dipidana. Menurut MvT (penjelasan KUHP)
bahwa daya paksa adalah suatu kekuatan, suatu paksaan yang tidak dapat dilawan.
Daya paksa yang termasuk sebagai Dasar Pembenar adalah Daya Paksa Mutlak.
- Daya Paksa Mutlak (absolute overmacht)
Pembuat
tidak dapat berbuat lain. Pembuat dalam keadaan demikian tidak dapat melawan,
dengan kata lain ia tidak dapat mengadakan pilihan lain selain daripada berbuat
demikian. Pengaruh yang bekerja terhadapnya dapat bersifat jasmaniah dan
rohaniah. Absulte Overmacht termasuk alasan pemaaf dalam dasar peniadaan
pidana.
Misalnya
: seseorang yang ditangkap oleh orang yang kuat, lalu dilemparkan keluar
jendela, sehingga terjadi pengrusakan barang. Maka orang yang dilemparkan
keluar jendela, sehingga kaca jendela pecah tak dapat dipidana menurut pasal
406 KUHP. Contoh lain daya paksa rohaniah, seorang dihipnotis, lalu dalam
keadaan tak sadar berlari telanjang bulat. Orang tersebut tak dapat dipidana
menurut Pasal 281 KUHP. Dalam keadaan demikian orang yang melemparkannya keluar
dan orang yang menghipnotislah yang sebagai pembuat menurut pasal 55.
3.
Pembelaan
Terpaksa yang Melampaui Batas (noodweer exces)
Dirumuskan
dalam Pasal 49 ayat (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung
disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman
serangan itu tidak dapat dipidana.
Apa
yang dimaksudkan dengan noodweer exces ialah perlampuan batas pembelaan
terpaksa, yang disebabkan oleh suatu tekanan jiwa yang hebat karena adanya
serangan orang lain yang mengancam dan dapat terjadi walaupun serangan telah
tiada. noodweer exces termasuk alas an pemaaf dalam dasar peniadaan pidana.
Perbedaannya
dengan pembelaan terpaksa (noodwer):
a. perbuatan
apa yang dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa haruslah perbuatan yang
seimbang dengan bahaya dari serangan atau ancaman serangan, perbuatannya
haruslah sepanjang perlu dalam hal pembelaan terpaksa, tidak diperkenankan
melampaui dari apa yang diperlukan dalam pembelaan itu. Tetapi dalam noodweer
exces perbuatan apa yang menjadi pilihannya sudah melebihi diri apa yang
diperlukan dalam hal pembelaan atas kepentingan hukumnya yang terancam, yang
artinya pilihan perbuatan itu sudah tidak seimbang dengan bahaya yang
ditimbulkan. Misalnya seorang menyerang lawannya dengan pecahan botol, yang
sebenarnya dapat dilawan dengan sepotong kayu (noodweer) tetapi karena
kegoncangan jiwa yang hebat ia melawan dengan menembaknya (noodweer exces).
b. dalam
hal pembelaan terpakasa, perbuataan pembelaan hanya dapat dilakukan pada ketika
adanya ancaman serangan atau serangan sedang berlangsung, dan tidak boleh
dilakukan setelah serangan terhenti atau tidak ada lagi. Tetapi dalam noodweer
exces perbuataan pembelaan itu masih boleh dilakukan sesudah serangan terhenti.
c. Tidak
dapat dipidananya si pembuat noodweer karena sifat melawan hukum pada
perbuatannya jadi merupakan alasan pembenar. Sedangkan pada noodweer exces
adanya alasan penghapusan kesalahan pada diri si pembuat, jadi merupakan alasan
pemaaf. Dasar tidak dipidananya si pembuat noodweer exces terletak pada diri
orangnya bkan pada perbuatannya.
4.
Menjalankan
Perintah Jabatan Yang Tidak Sah Dengan Itikad Baik
Dirumuskan
dalam Pasal 51 ayat 2 perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan
hapusnya pidana kecuali apabila orang yang menerima perintah dengan itikad baik
mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksannya termasuk dalam
lingkungan pekerjannya.
Hal
ini dapat dilihat dari syarat subjektif dan syarat objektif:
a. Syarat
subjektif; syarat ini terletak pada sikap batin si penerima perintah ialah dia
mengira bahwa perintah itu sah adanya. Alasan sikap batin yang demikian
haruslah didasarkan pada hal-hal yang masuk akal, dan oleh karena itu
faktor-faktor rasional dan masuk akal yang menyebabkan baginya, dapat mengira bahwa
perintah itu adalah sah. Dapat mengira bahwa perintah itu adalah sah memerlukan
syarat yaitu : orang yang memberikan perintah itu disdadarinya adalah benar
yang berhak. Dan mengenai apa yang menjadi isi perintah itu disadarinya memang
masuk dalam ruang lingkup kewenangan yang memberi perintah.
-
Contoh: seorang penyidik menurut Pasal
16 (1) KUHAP berwenang memberi perintah pada penyidik pembantu utnuk melakukan
penangkapan. Andaikata perintah itu ditujukan pada orang yang telah diketahui
penyidik bukan orang yang boleh ditangkap, tetapi adalah orang yang dibenci,
apabila 2 syarat telah dipenuhi maka penyidik
pembantu menjadi masuk akal apabila dia membela dirinya dengan beritikad
baik dalam menjalakan perintah iitu dan dia tidak dapat dipidana. Sikap batin
“mengira perintah yang sah” adalah harus ditujukan pada kedua faktor diatas.
-
Tidak sahnya perintah ada 2 kemungkinan
(1) orang yang memberi perintah secara objektif bukanlah orang yang berwenang
(2) apa yang menjadi isi perintah itu adalah tidak benar.
b. Syarat
Objektif; syarat kedua berupa isinya perintah harus menjadi bidang pelaksaannan
tugasnya, adalah berupa hubungan antara jkabatannya dan tugas pekerjan suatu
jabatan. Pada jabatan publik terdapat tugas jabatan tertentu baik merupakan
pelaksanaan hak jabatan dan atau pelaksanaan kewajiban jabatan.
-
Misalnya : pejabat penyidik pembantu
atas dasar perintah penyidik dia berwenang melakukan penangkapan yang sekaligus berupa kewajiban untuk
melaksanakan perintah itu, ini adalah masuk ruang lingkup pekerjaan dalam
jabatannya. Andaikata si penyidik memerintahkan pada penyidik pembantu untuk
memukuli tersangka yang tidak memberikan keterangan berisi pengakuan, lalu
perintah itu dilaksankan. Maka perbuatan penyidik pembantu ini sudah berada
diluar ruang lingkup pekerjaan jabatannya, dan dia bertanggung jawab sepenuhnya
atas penyiksaan.
No comments:
Post a Comment