Friday, March 21, 2014

Dasar Pemaaf


Dasar Pemaaf merupakan alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.  unsur-unsur delik sudah terbukti, namun unsur kesalahan tak ada pada pembuat. Maka terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Dalam hal ini misalnya :
·         adanya ketidakmampuan bertanggungjawab si pembuat (Pasal 44 ayat 1)
·         adanya daya paksa mutlak dan perlampuan keadaan darurat (noodtoestandexces, Pasal 48)
·         adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodwerexes, Pasal 49 ayat 2)
·         karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (Pasal 51 ayat 2)

1.      Ketidakmampuan Bertanggungjawab
Pasal 44 KUHP menyatakan orang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam 2 hal, yaitu : jiwanya cacad dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit jiwa. Ketidakmapuan bertanggungjawab meniadakan kesalahan dalam arti luas dan oleh karena itu termasuk dasar pemaaf.
Namun demikian apabila kita mencoba mencari ketentuan yang menyatakan bagaimana/kapan seseorang itu dianggap tidak mempunyai jiwa yang sehat hal tersebut tidak akan ditemukan, jadi untuk menentukannya kita harus kembali melihat Memorie van Toelichting (M.v.T) atau penjelasan daripada KUHP itu. Dalam M.t.V ditentukan bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya bila :
a.         Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat mengerti akan harga dan nilai dari perbuatannya.
b.          Ia tidak dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.
c.         Ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya adalah terlarang.
Alasan undang-undang merumuskan mengenai pertanggungjawaban itu secara negatif, artinya merumuskan tentang keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggungjawab dan bukan mengenai mampu bertanggungjawab, tidak lepas dari sikap pembentuk undang-undang yang menganggap bahwa setiap orang itu mampu bertanggung jawab. Dengan berpijak pada prinsip itu, dalam rangka mencapai keadilan dari vonis hakim, maka dalam hal kemampuan bertanggung jawab ini dirumuskan secara negatif, ditentukan keadaan tertentu mengenai jiwa seorang yang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana karena melakukan perbuatan.
Ada tiga cara yang dapat digunakan dalam rangka menyelidiki keadaan jiwa si pembuat untuk menentukan apakah si pembuat berada dalam keadaan tidak mampu bertanggungjawab, yaitu :
metode biologis, artinya dengan menyelidiki gejala-gejala atau keadaan yang abnormal yang kemudian dihubungkan dengan ketidakmapuan bertanggungjawab;
metode psikologis, dengan menyelidiki ciri-ciri psikologis yang ada kemudian dari ciri-ciri itu dinilai untuk menarik kesimpulan apakah orang itu mampu bertanggungjawab atau tidak;
metode gabungan.
Dapat disimpulkan bahwa ketidakmampuan bertanggungjawab memerlukan selain perkembangan jiwa yang tidak normal dan penyakiy yang disebabkan gangguan kejiwaan, juga syarat adanya hubungan kausal antara penyakit jiwa dan perbuatan.
Misalnya, hanya orang yang disebut gila saja yang dianggap tidak mampu bertanggungjawab terhaap semua delik, tetapi semua penyakit jiwa tertentu yang hanya ada hubungan kausalnya dengan pencurian misalnya seperti cleptomanie, tidak membebaskan pembuat dari tanggungjawab pidana terhadap delik-delik lain, misalnya penganiayaan, pembunuhan, dan sebagainya. Oleh karena itu kerjasma hakim dan psikiater menjasi syarat mutlak tentang penentuan bertanggungjawab  atau ketidakmampuan bertanggungjawab.
2.      Daya Paksa (overmacht)
Hal ini diatur dalam Pasal 48 KUHP menyatakan barangsiapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dapat dipidana. Menurut MvT (penjelasan KUHP) bahwa daya paksa adalah suatu kekuatan, suatu paksaan yang tidak dapat dilawan. Daya paksa yang termasuk sebagai Dasar Pembenar adalah Daya Paksa Mutlak.
- Daya Paksa Mutlak (absolute overmacht)
Pembuat tidak dapat berbuat lain. Pembuat dalam keadaan demikian tidak dapat melawan, dengan kata lain ia tidak dapat mengadakan pilihan lain selain daripada berbuat demikian. Pengaruh yang bekerja terhadapnya dapat bersifat jasmaniah dan rohaniah. Absulte Overmacht termasuk alasan pemaaf dalam dasar peniadaan pidana.
Misalnya : seseorang yang ditangkap oleh orang yang kuat, lalu dilemparkan keluar jendela, sehingga terjadi pengrusakan barang. Maka orang yang dilemparkan keluar jendela, sehingga kaca jendela pecah tak dapat dipidana menurut pasal 406 KUHP. Contoh lain daya paksa rohaniah, seorang dihipnotis, lalu dalam keadaan tak sadar berlari telanjang bulat. Orang tersebut tak dapat dipidana menurut Pasal 281 KUHP. Dalam keadaan demikian orang yang melemparkannya keluar dan orang yang menghipnotislah yang sebagai pembuat menurut pasal 55.
3.      Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (noodweer exces)
Dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak dapat dipidana.
Apa yang dimaksudkan dengan noodweer exces ialah perlampuan batas pembelaan terpaksa, yang disebabkan oleh suatu tekanan jiwa yang hebat karena adanya serangan orang lain yang mengancam dan dapat terjadi walaupun serangan telah tiada. noodweer exces termasuk alas an pemaaf dalam dasar peniadaan pidana.
Perbedaannya dengan pembelaan terpaksa (noodwer):
a.       perbuatan apa yang dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa haruslah perbuatan yang seimbang dengan bahaya dari serangan atau ancaman serangan, perbuatannya haruslah sepanjang perlu dalam hal pembelaan terpaksa, tidak diperkenankan melampaui dari apa yang diperlukan dalam pembelaan itu. Tetapi dalam noodweer exces perbuatan apa yang menjadi pilihannya sudah melebihi diri apa yang diperlukan dalam hal pembelaan atas kepentingan hukumnya yang terancam, yang artinya pilihan perbuatan itu sudah tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkan. Misalnya seorang menyerang lawannya dengan pecahan botol, yang sebenarnya dapat dilawan dengan sepotong kayu (noodweer) tetapi karena kegoncangan jiwa yang hebat ia melawan dengan menembaknya (noodweer exces).
b.      dalam hal pembelaan terpakasa, perbuataan pembelaan hanya dapat dilakukan pada ketika adanya ancaman serangan atau serangan sedang berlangsung, dan tidak boleh dilakukan setelah serangan terhenti atau tidak ada lagi. Tetapi dalam noodweer exces perbuataan pembelaan itu masih boleh dilakukan sesudah serangan terhenti.
c.       Tidak dapat dipidananya si pembuat noodweer karena sifat melawan hukum pada perbuatannya jadi merupakan alasan pembenar. Sedangkan pada noodweer exces adanya alasan penghapusan kesalahan pada diri si pembuat, jadi merupakan alasan pemaaf. Dasar tidak dipidananya si pembuat noodweer exces terletak pada diri orangnya bkan pada perbuatannya.

4.      Menjalankan Perintah Jabatan Yang Tidak Sah Dengan Itikad Baik
Dirumuskan dalam Pasal 51 ayat 2 perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali apabila orang yang menerima perintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksannya termasuk dalam lingkungan pekerjannya.
Hal ini dapat dilihat dari syarat subjektif dan syarat objektif:
a.       Syarat subjektif; syarat ini terletak pada sikap batin si penerima perintah ialah dia mengira bahwa perintah itu sah adanya. Alasan sikap batin yang demikian haruslah didasarkan pada hal-hal yang masuk akal, dan oleh karena itu faktor-faktor rasional dan masuk akal yang menyebabkan baginya, dapat mengira bahwa perintah itu adalah sah. Dapat mengira bahwa perintah itu adalah sah memerlukan syarat yaitu : orang yang memberikan perintah itu disdadarinya adalah benar yang berhak. Dan mengenai apa yang menjadi isi perintah itu disadarinya memang masuk dalam ruang lingkup kewenangan yang memberi perintah.
-          Contoh: seorang penyidik menurut Pasal 16 (1) KUHAP berwenang memberi perintah pada penyidik pembantu utnuk melakukan penangkapan. Andaikata perintah itu ditujukan pada orang yang telah diketahui penyidik bukan orang yang boleh ditangkap, tetapi adalah orang yang dibenci, apabila 2 syarat telah dipenuhi maka penyidik  pembantu menjadi masuk akal apabila dia membela dirinya dengan beritikad baik dalam menjalakan perintah iitu dan dia tidak dapat dipidana. Sikap batin “mengira perintah yang sah” adalah harus ditujukan pada kedua faktor diatas.
-          Tidak sahnya perintah ada 2 kemungkinan (1) orang yang memberi perintah secara objektif bukanlah orang yang berwenang (2) apa yang menjadi isi perintah itu adalah tidak benar.
b.      Syarat Objektif; syarat kedua berupa isinya perintah harus menjadi bidang pelaksaannan tugasnya, adalah berupa hubungan antara jkabatannya dan tugas pekerjan suatu jabatan. Pada jabatan publik terdapat tugas jabatan tertentu baik merupakan pelaksanaan hak jabatan dan atau pelaksanaan kewajiban jabatan.

-          Misalnya : pejabat penyidik pembantu atas dasar perintah penyidik dia berwenang melakukan penangkapan  yang sekaligus berupa kewajiban untuk melaksanakan perintah itu, ini adalah masuk ruang lingkup pekerjaan dalam jabatannya. Andaikata si penyidik memerintahkan pada penyidik pembantu untuk memukuli tersangka yang tidak memberikan keterangan berisi pengakuan, lalu perintah itu dilaksankan. Maka perbuatan penyidik pembantu ini sudah berada diluar ruang lingkup pekerjaan jabatannya, dan dia bertanggung jawab sepenuhnya atas penyiksaan. 

No comments:

Post a Comment