Wednesday, May 14, 2014

SISTEM PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA



          Apabila dikaji lebih jauh makna dari Sistem Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Di Indonesia maka pertama kita harus mendefenisikan apa yang dimaksud dengan Sistem kemudian kita juga harus menjelaskan apa yang dimaksud dengan Pembuktian. Selanjutnya yang ketiga, apa yang dimaksud dengan Hukum Acara Pidana Di Indonesia.

1.        Pengertian System
Menurut The New Webstyer International Dictionary, Sistem Berasal dari Bahasa Yunani yaitu Systema yang berarti sesuatu yang terorganisasi atau Suatu keseluruhan Kompleks. Jadi Sistem mengandung arti terhimpunnya bagian atau komponen yang saling berhubungan secara beraturan dan merupakan suatu keseluruhan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sistem adalah Perangkat Unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk totalitas atau susunan yang teratur dari pandangan, teori dan azas.
Sedangkan Menurut Penulis bahwa Sistem adalah Bagian-bagian yang saling berhubungan didalam satu kesatuan dimana bagian-bagian tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.

2.        Pengetian Pembuktian
Kata Dasar dari Pembuktian adalah Bukti, Bukti dapat diartikan sebagai suatu hal yang cukup memperlihatkan kebenaran suatu hal. Jadi Pembuktian adalah suatu tindakan, perbuatan atau kegiatan untuk memberikan bukti.
Selanjutnya kita akan memberikan penjelasan tentang pembuktian apabila ditinjau dari kaca mata Hukum, Pembuktian adalah suatu cara, proses atau perbuatan untuk memberi bukti bahwa seseorang Bersalah atau tidak bersalah dalam suatu peristiwa hukum didalam Proses Peradilan.
Menurut M.Yahya Harahap, Pembuktian adalah Ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada si terdakwa.
Dimana hukum acara pidana  menunjukkan jalan untuk berusaha guna mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran sejati. Agar supaya hakim  bisa mendapatkan keyakinan maka hakim membutuhkan alat-alat guna menggambarkan lagi peristiwa-peristiwa yang sudah lampau itu. Dengan pandangan demikian dapatlah disebutkan secara jelas bahwasanya jika hakim telah menetapkan perihal adanya suatu kebenaran maka aspek ini merupakan pembuktian tentang suatu hal. Dan lebih lanjut lagi bahwa pembuktian melalui hukum pembuktian  meliputi beberapa dimensi, seperti :
  1. Penyebutan alat-alat bukti yang dapat dipakai oleh hakim untuk mendapatkan gambaran dari peristiwa yang sudah lampau.
  2. Penguraian cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan.
  3. Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.
Selanjutnya dalam rangka menerapkan pembuktian, hakim lalu bertolak pada sistem pembuktian dengan tujuan mengetahui bagaimana cara meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diadili. Maka berdasarkan sistem pembuktian pada umumnya dikenal ada tiga teori sistem pembuktian, Yakni :
1.      Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positif Wettelijke Bewijs Theori)
2.      Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim.
3.      Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theori).

Untuk menjawab pertanyaan bagaimana sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia maka kita harus memberikan penjelasan satu persatu bagaimana sistem pembuktian pada umumnya.

1. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang secara positif (Positif Wettelijke Bewijs Theori)
Berdasarkan teori ini, Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif tergantung pada alat-alat bukti sebagaimana disebut limitatif dalam undang-undang. Konkretnya, Undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana hakim harus mempergunakannya, kekuatan alat-alat bukti tersebut  dan bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Dalam aspek ini hakim terikat pada pepatah kalau alat-alat bukti tersebut telah dipakai sesuai ketentuan undang-undang, hakim mesti menentukan terdakwa bersalah walaupun hakim berkeyakinan bahwa sebenarnya terdakwa  tidak bersalah. begitupun sebaliknya jika tidak dapat dipenuhi cara mempergunakan alat-alat bukti sebagaimana ditetapkan undang-undang, hakim harus menyatakan terdakwa tidak bersalah walaupun menurut keyakinannya sebenarnya terdakwa bersalah.

2. SistemPembuktian Menurut Keyakinan Hakim
Pada sistem  pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, maka hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan (Conviction Intime). Dalam perkembangannya lebih lanjut, sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim mempunyai dua bentuk yaitu Conviction Intime dan Conviction Raisonce. Melalui sistem pembuktian conviction intime maka kesalahan terdakwa bergantung pada keyakinan belaka sehingga hakim tidak terikat oleh suatu peraturan. Dengan demikian putusan hakim disini tampak timbul nuansa subjektif. .
Penerapan sistem pembuktian Conviction intime mempunyai bias subyektif, yaitu “sistem pembuktian conviction intime menentukan salah tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa, darimana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi masalah. Dalam sistem ini keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan dan bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan lansung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction intime ini sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat-alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana Yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi dalam sistem pembuktian conviction intime sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim, sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti berdasarkan alat-alat bukti yang sah terdakwa bisa dinyatakan bersalah semata-mata atas dasar keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa, seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini”.
Sedangkan pada sistem pembuktian conviction raisonce pada dasarnya identik dengan sistem conviction intime, lebih lanjut pada sistem pembuktian conviction raisonce keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan kesalahan terdakwa akan tetapi penerapan keyakinan hakim dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-alasan yang jelas dan rasional dalam mengambil keputusan,
3.  Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara negatif  (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie).
Pada prinsipnya sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie) menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Dari Aspek historis ternyata sistem pembuktian menurut undag-undang secara negatif hakikatnya merupakan peramuan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara pofitif (Positif Wettelijke Bewijz Theorie) dan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (Conviction Intime/Conviction Raisonce). Dengan peramuan ini maka substansi sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatif Wettelijke Bewijz Theorie) tentulah melekat adanya anasir-anasir sebagai berikut yaitu :
·            Prosedural  dan tata cara pembuktian sesuai dengan alat-alat bukti sebagaimana limitatif ditentukan undang-undang dan
·            Terhadap alat-alat bukti tersebut, hakim yakin baik secara materil maupun secara prosedural.
Selanjutnya perpaduan antara sistem pembuktian negatif dan keyakinan Hakim melekat pula adanya unsur-unsur obyektif dan subyektif dalam menentukan terdakwa bersalah atau tidak.
Setelah mendapatkan gambaran tentang bagaimana sistem pembuktian pada umumnya maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa sistem pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah Sistem Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatif Wettelijke Bewijs Theori) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 81 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Yang berbunyi sebagai berikut :
“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

No comments:

Post a Comment