Apabila dikaji lebih jauh makna dari Sistem Pembuktian Dalam
Hukum Acara Pidana Di Indonesia maka pertama kita harus mendefenisikan apa yang
dimaksud dengan Sistem kemudian kita juga harus menjelaskan apa yang dimaksud
dengan Pembuktian. Selanjutnya yang ketiga, apa yang dimaksud dengan Hukum
Acara Pidana Di Indonesia.
1. Pengertian
System
Menurut The New Webstyer International Dictionary, Sistem
Berasal dari Bahasa Yunani yaitu Systema yang berarti sesuatu yang
terorganisasi atau Suatu keseluruhan Kompleks. Jadi Sistem mengandung arti
terhimpunnya bagian atau komponen yang saling berhubungan secara beraturan dan
merupakan suatu keseluruhan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sistem adalah
Perangkat Unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk
totalitas atau susunan yang teratur dari pandangan, teori dan azas.
Sedangkan Menurut Penulis bahwa Sistem adalah Bagian-bagian
yang saling berhubungan didalam satu kesatuan dimana bagian-bagian tersebut
saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
2. Pengetian
Pembuktian
Kata Dasar dari Pembuktian adalah Bukti, Bukti dapat
diartikan sebagai suatu hal yang cukup memperlihatkan kebenaran suatu hal. Jadi
Pembuktian adalah suatu tindakan, perbuatan atau kegiatan untuk memberikan
bukti.
Selanjutnya kita akan memberikan penjelasan tentang
pembuktian apabila ditinjau dari kaca mata Hukum, Pembuktian adalah suatu cara,
proses atau perbuatan untuk memberi bukti bahwa seseorang Bersalah atau tidak
bersalah dalam suatu peristiwa hukum didalam Proses Peradilan.
Menurut M.Yahya Harahap, Pembuktian adalah
Ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang
dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada si
terdakwa.
Dimana hukum acara pidana
menunjukkan jalan untuk berusaha guna mendekati sebanyak mungkin
persesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran sejati. Agar supaya hakim bisa mendapatkan keyakinan maka hakim
membutuhkan alat-alat guna menggambarkan lagi peristiwa-peristiwa yang sudah
lampau itu. Dengan pandangan demikian dapatlah disebutkan secara jelas
bahwasanya jika hakim telah menetapkan perihal adanya suatu kebenaran maka
aspek ini merupakan pembuktian tentang suatu hal. Dan lebih lanjut lagi bahwa
pembuktian melalui hukum pembuktian
meliputi beberapa dimensi, seperti :
- Penyebutan alat-alat bukti yang dapat dipakai oleh hakim untuk mendapatkan gambaran dari peristiwa yang sudah lampau.
- Penguraian cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan.
- Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.
Selanjutnya dalam rangka menerapkan pembuktian, hakim lalu
bertolak pada sistem pembuktian dengan tujuan mengetahui bagaimana cara
meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diadili. Maka
berdasarkan sistem pembuktian pada umumnya dikenal ada tiga teori sistem
pembuktian, Yakni :
1. Sistem
Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positif Wettelijke Bewijs
Theori)
2. Sistem
Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim.
3. Sistem
Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs
Theori).
Untuk menjawab pertanyaan bagaimana sistem pembuktian dalam
hukum acara pidana di Indonesia maka kita harus memberikan penjelasan satu
persatu bagaimana sistem pembuktian pada umumnya.
1. Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang secara positif
(Positif Wettelijke Bewijs Theori)
Berdasarkan teori ini, Sistem pembuktian menurut
undang-undang secara positif tergantung pada alat-alat bukti sebagaimana
disebut limitatif dalam undang-undang. Konkretnya, Undang-undang telah
menentukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara
bagaimana hakim harus mempergunakannya, kekuatan alat-alat bukti tersebut dan bagaimana caranya hakim harus memutus
terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Dalam aspek ini hakim
terikat pada pepatah kalau alat-alat bukti tersebut telah dipakai sesuai
ketentuan undang-undang, hakim mesti menentukan terdakwa bersalah walaupun
hakim berkeyakinan bahwa sebenarnya terdakwa
tidak bersalah. begitupun sebaliknya jika tidak dapat dipenuhi cara
mempergunakan alat-alat bukti sebagaimana ditetapkan undang-undang, hakim harus
menyatakan terdakwa tidak bersalah walaupun menurut keyakinannya sebenarnya
terdakwa bersalah.
2. SistemPembuktian Menurut Keyakinan Hakim
Pada sistem
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, maka hakim dapat menjatuhkan
putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan
(Conviction Intime). Dalam perkembangannya lebih lanjut, sistem pembuktian
berdasarkan keyakinan hakim mempunyai dua bentuk yaitu Conviction Intime dan
Conviction Raisonce. Melalui sistem pembuktian conviction intime maka kesalahan
terdakwa bergantung pada keyakinan belaka sehingga hakim tidak terikat oleh
suatu peraturan. Dengan demikian putusan hakim disini tampak timbul nuansa
subjektif. .
Penerapan sistem pembuktian Conviction intime mempunyai bias
subyektif, yaitu “sistem pembuktian conviction intime menentukan salah tidaknya
terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan
hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa, darimana hakim
menarik dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi masalah. Dalam sistem ini
keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang
diperiksanya dalam sidang pengadilan dan bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat
bukti itu diabaikan hakim dan lansung menarik keyakinan dari keterangan atau
pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction intime ini sudah barang tentu
mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang
terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat-alat
bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak
pidana Yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti
dengan alat-alat bukti yang lengkap selama hakim tidak yakin atas kesalahan
terdakwa. Jadi dalam sistem pembuktian conviction intime sekalipun kesalahan
terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan
oleh keyakinan hakim, sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti
berdasarkan alat-alat bukti yang sah terdakwa bisa dinyatakan bersalah
semata-mata atas dasar keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang dominan atau
yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti
yang sah sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa, seolah-olah sistem ini
menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata.
Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem
pembuktian ini”.
Sedangkan pada sistem pembuktian conviction raisonce pada
dasarnya identik dengan sistem conviction intime, lebih lanjut pada sistem
pembuktian conviction raisonce keyakinan hakim tetap memegang peranan penting
untuk menentukan kesalahan terdakwa akan tetapi penerapan keyakinan hakim
dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-alasan yang jelas dan rasional dalam
mengambil keputusan,
3. Sistem Pembuktian
Menurut Undang-Undang Secara negatif
(Negatief Wettelijke Bewijs Theorie).
Pada prinsipnya sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie) menentukan bahwa hakim
hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut
secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya
keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Dari Aspek
historis ternyata sistem pembuktian menurut undag-undang secara negatif
hakikatnya merupakan peramuan antara sistem pembuktian menurut undang-undang
secara pofitif (Positif Wettelijke Bewijz Theorie) dan sistem pembuktian
berdasarkan keyakinan hakim (Conviction Intime/Conviction Raisonce). Dengan
peramuan ini maka substansi sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif (Negatif Wettelijke Bewijz Theorie) tentulah melekat adanya
anasir-anasir sebagai berikut yaitu :
·
Prosedural
dan tata cara pembuktian sesuai dengan alat-alat bukti sebagaimana
limitatif ditentukan undang-undang dan
·
Terhadap alat-alat bukti tersebut, hakim yakin
baik secara materil maupun secara prosedural.
Selanjutnya perpaduan antara sistem pembuktian negatif dan
keyakinan Hakim melekat pula adanya unsur-unsur obyektif dan subyektif dalam
menentukan terdakwa bersalah atau tidak.
Setelah mendapatkan gambaran tentang bagaimana sistem
pembuktian pada umumnya maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa sistem
pembuktian dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah Sistem Pembuktian
menurut undang-undang secara negatif (Negatif Wettelijke Bewijs Theori)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 81 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, Yang berbunyi sebagai berikut :
“ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”
No comments:
Post a Comment