I.
Pengertian,
Asas dan Sifat Hukum Acara Perdata
1.
Pengertian
Hukum Acara Perdata
Hukum
materiil, sebagaimana terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak
tertulis, merupakan pedoman bagi masyarakat tentang sebagaimana selayaknya
berbuat atau tidak berbuat dalam masyarakat. Hukum bukanlah semata-mata sekedar
sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja, melainkan untuk
dilaksanakan atau ditaati. Hukum Harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum
materiil, khususnya hukum materiil perdata, dapatlah berlangsung secara
diam-diam diantara para pihak yang bersangkutan tanpa melalui pejabat atau
instansi resmi. Akan tetapi, sering terjadi bahwa hokum materiil perdata itu
dilanggar, sehingga ada pihak yang dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan
kepentingan didalam masyarakat. Dala, hal ini, hokum materiil perdata yang
telah dilanggar itu haruslah ditegakkan atau dipertahankan.
Untuk
melaksanakan hokum materiil perdata, terutama dalam hal ada pelanggaran atau
untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materiil perdata dalam hal ada
tuntutan hak, diperlukan rangkaian peraturan-peraturan lain disamping hukum materiil perdata itu
sendiri. Peraturan hukum inilah yang disebut hokum formil atau hukum acara
perdata. Hukum acara perdata hanya diperuntukkan menjamin ditaatinya hokum materiil
perdata.
Hukum
acara perdata menurut Sudikno Mertokusumo adalah peraturan hokum yang mengatur
sebagaimana caranya menjamin ditaatinya hokum perdata materiil dengan
perantaraan hakim. Dengan perkataan lain hokum acara perdata adalah peraturan
hokum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hokum perdata
materiil. Lebih konkret lagi dapatlah dikatakan bahwa hokum acara perdata
mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan, tuntutan hak, memeriksa serta
memutusnya dan pelaksanaan dari putusannya.[1]
Selain pengertian dari Sudikno mertokusumo, terdapat pendapat beberapa ahli
hokum yang lain juga seperti Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata
ialah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak
terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus
bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalanya peraturan hukum perdata.
Sedangkan Retno wulansari berpendapat bahwa hukum acara perdata yang juga
disebut hukum perdata formil adalah semua kaidah hukum yang menentukan dan
mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata
sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil.[2]
Jadi
berdasarkan pendapat para ahli dapat diketahui bahwa hukum acara perdata yang
merupakan hukum formil secara umum adalah peraturan hukum yang mengatur proses
penyelesaian perkara perdata melalui hakim ( di pengadilan ) sejak diajukan
gugatan, dilaksanakanya gugatan, sampai pelaksanaan putusan hakim.
Contohnya
dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, dalam Pasal 666 KUHPerdata ada ketentuan yang mengatur bahwa apabila
dahan-dahan, ranting-ranting atau akar-akar dari pohon pekarangan seseorang
tumbuh menjalar diatas atau masuk kepekarangan tetangganya, maka yang terakhir
ini dapat memotongnya menurut kehendak
sendiri setelah tetangga pemilik pohon menolak atas permintaanya untuk
memotongnya. Tuntutan hak yang seperti diatas diuraikan sebagai tindakan yang
bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang di berikan oleh pengadilan untuk
mencegah “eigenrichting”, ada dua
macam yaitu tuntutan hak yang mengandung sengketa yang disebut gugatan, dimana
terdapat sekurang-kurangnya dua pihak dan tuntutan hak yang tidak mengandung
sengketa yang disebut permohonan, dimana hanya ada satu pihak saja. Peradilan
dibagi menjadi dua, yaitu peradilan volunter
yang disebut juga peradilan sukarela atau peradilan yang tidak sesungguhnya dan
peradilan contentieus atau peradilan
sesungguhnya. Tuntutan hak yang merupakan permohonan yang tidak mengandung
sengketa termasuk dalam peradilan volunter
sedangkan gugatan termasuk peradilan contentieus.
Dalam sifat hukum acara perdata bahwa orang yang merasa haknya dilanggar
disebut penggugat sedang bagi orang yang ditarik kemuka pengadilan karena ia
dianggap melanggar hak seseorang atau beberapa orang itu disebut dengan
tergugat. Penggugat adalah seorang yang “merasa” bahwa haknya dilanggar dan
menarik orang yang “dirasa” melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu
perkara kedepan hakim.\
2.
Asas-Asas
dalam Hukum Acara Perdata
1. Hakim
Bersifat Menunggu
Asas dari hukum acara perdata pada
umumnya ialah bahwa pelaksanaanya, yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan
hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan
hak atau penuntutan, maka tidak hakim. Demikianlah bunyi pemeo yang tidak asing
lagi ( wo kein klager ist, ist kein reichter, nemo judex sine actore ). Jadi
tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim
menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya “index ne procedat ex
officio” ( lihat pasal 118 HIR, 142 Rgb.). Hanya yang menyelenggarakan proses
adalah negara. Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, Pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya (pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009).
2. Hakim
Pasif
Hakim didalam memeriksa perkara perdata
bersikap pasif dala arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang
diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya di tentukan oleh para pihak
yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan ( pasal 4 ayat (2) UU No.48 tahun 2009). Hakim terikat
pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak (secendum allegata iudicare).
Hanya peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim terikat
pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak. Para
pihaklah yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukan hakim. Asas ini disebut
verhandlungsmaxime. Jadi pegertian pasif ini yaitu bahwa hakim tidak menentukan
luas dari pada pokok sengketa. Hakim tidak boleh menambah atau menguraninya.
Akan tetapi itu semuanya tidak berarti bahwa hakim tidak aktif sama sekali
tidak aktif. Selaku pimpinan sidang harus aktif memimpin dan memeriksa perkara
dan tidak merupakan pegawai atau sekedar alat dari pada para pihak, danharuslah
berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan. Karenanya dikatakan bahwa sistem HIR adalah aktif,
berbeda dengan sistem Rv yang pada pokoknya mengandung prinsip “hakim pasif”.
Asas hakim menurut HIR itu sesuai dengan aliran pikiran tradisionil Indonesia.
3. Sifatnya
Terbukanya Persidangan
Sidang pemeriksaan pengadilan pada
asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang dibolehkan
hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari pada asas ini
tidak lain untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam peradilan
serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan
yang fair, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat. Asas ini
dapat kita jumpai pada Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 : “Semua sidang
pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang
menentukan lain”. Secara formil asas ini membuka kesempatan untuk “social
kontrol”. Asas terbukanya persidangan tidak mempunyai arti bagi acara yang
berlangsung secara tertukis. Kecuali apabila ditentukan lain oleh undang-undang
atau apabila berdasarkan alasan-alasan yang penting yang dimuat di dalam nerita
acara yang diperintahkan oleh hakim, maka persidangan dia lakukan dengan pintu
tertutup.
4. Mendengar
Kedua Belah Pihak (penggugat dan tergugat melalui surat-surat)
Didalamnya hukum acara perdata kedua
belah pihak diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama.
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang, seperti yang
dimuat dalam pasal 4 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 mengandung arti bahwa didalam
hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan atas perlakuan
yang sama dan adil serta masing-masing harus di beri kesempatan untuk memberi
pendapatnya. Asas kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas
“audi et alteram partem” atau “eines mannes redeist keines mannes rede, man
soll sie horen alle beide”. Bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari
salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak di
beri kesempatan untuk meneluarkan pendapatanya
5. Putusan
Harus Disertai Alasan-alasan
Semua putusan pegadilan harus memuat
alsasn-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (pasal 184 ayat (1),
319 HIR, 618 Rgb.). alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebgai
pertanggung jawaban hakim dari pada putusanya terhadap masyarakat, para pihak,
pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunya
nilai objektif. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan yang mempunyai
wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkanya. Putusan MA yang
menetapkan, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup
dipertanggungjwabkan (onvoldoende gemotiveerd) mrupakan alasan untuk kasasi dan
harus dibatalkan. Kenyataanya sekarang tidak sedikit hakim yang terikat oleh
putusan pengadilan tinggi atau mahkamah agung mengenai perkara yang sejens.
Bukan karena kita mengikuti asas “the binding force of precedent”, melainkan
terikatnya hakim itu karena yakin bahwa putusan yang mengenai perkara yang
sejenis itu meyaknkan putusan itu tepat. Ilmu pengetahuan hukum merupakan sumber
pula untuk mendapatkan bahan guna mempertanggung jawabkan putusan hakim didalam
memeprtimbangakannya. Sifat objektif dari pada ilmu pengetahuan itu sendiri
menyebabkan putusan hakim yang bernilai objektif pula.
6. Beracara
Dikenakan Biaya
Untuk berperkara pada asasnya dikenakan
biaya ( pasal pasal 2 ayat (4) UU No. 48 tahun 2009, 121 ayat 4, 182,183 HIR,
145 ayat 4, 192-194 Rgb.). Biaya perkra ini meliputi biaya kepaniteraan dan
biaya panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Disamping itu
apabila diminta bantuan seorang pengacara, maka harus pula dikeluarkan biaya.
Namun bagi yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan
perkara secara Cuma-Cuma (pro deo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan
dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu
yang dibuat oleh kepala polisi (pasal 23 HIR, 273 Rgb.).
7. Tidak
Ada Keharusan Mewakilkan
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk
mewakilakan perkara orang lain, sehingga pemerikasaan terjadi secara langsung
terhadap pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat
dibantu atau di wakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya. Dengan demikian
hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para
pihak tidakmewakilkan kepada seorang kuasa. Wewenang untuk mengajukan gugatan
dengan lisan tidak berlaku bagi kuasa. Dengan memeriksa para pihak yang
berkepentingan secara langsung hakim dapat mengetahui lebih jelas persoalannya.
Walaupun HIR menentukan, bahwa para pihak dapat dibantu atau diwakili, akan
tetapi tidak ada ketentuan bahwa seorang pembantu atau diwakil harus seorang
ahli atau sarjana hukum. Menurut RO ada persyaratanya untuk bertindak sebagai
prosedur. Antara lain ia harus sarjana hukum ( pasal 186). Pada hakikatnya
tujuan dari pada perwakilan wajib oleh sarjana hukum (verplichte procureurstelling) ini tidak lain untuk lebih menjamin
pemeriksaan yang objektif, melancarkan jalanya peradilan dan memperoleh putusan
yang adil. Adapun mengenai terjadinya perwakilan, antara lain: a. Ketentuan
undang-undang, misalnya untuk anak dibawah umur oleh orangtua atau wali, sakit
ingatan oleh pengampunya. b. Perjanjian kuasa khusus, untuk perwakilan yang
dilakukan oleh pengacara atau penasehat hukum. c. Tanpa surat kuasa khusus, untuk
acara gugatan perwakilan kelompok oleh satu atau beberapa orang dari
kelompoknya (Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok). Perlu diketahui bahwa wewenang untuk mengajukan gugatan
secara lisan tidak berlaku bagi kuasa.[3]
3.
Sifat
Hukum Acara Perdata
Dari
bahasan mengenai pengertian dan asas hokum acara perdata sesuai optic teoritis
dan praktik,maka dapat ditarik konklusi dasar bahwa sifat hokum acara perdata
adalah :
1. Jika
ditinjau dari sifat asal dan muasal terjadinya perkara perdata, maka terhadap
inisiatif timbulnya perkara perdata terjadi oleh karena adanya gugatan dari
orang yang merasa dan dirasa haknya telah dilanggar orang lain. Sehingga
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kelangsungan perkara perdata
tergantung kepada pihak pengugugat.
2. Jika
ditinjau dari aspek pembagian hokum berdasarkan kekuatan sanksinya maka sifat
hokum perdata berdasarkan kekuatan sanksinya maka sifat hokum acara perdata
bersifat memaksa (dwingend recht). Apabila
dijabarkan lebih detail, sifat memaksa dari hokum acara perdata ini karena
disebabkan fungsinya, dalam rangka mempertahankan eksistensi hokum perdata
materiil.
3. Ditinjau
dari aspek pendapat Prof. Wirjono Projodikoro, S.H, maka sifat hokum acara
perdata adalah kesederhanaan dalam beracara di depan siding pengadilan. Sifat
hokum acara perdata Indonesia dalam memohon peradilan semestinya harus sesuai
dengan sifat dan cara rakyat Indonesia. Setiawan S.H berpendapat, sederhana
yang dimaksud dalam hal ini adalah proses beracara yang tidak rumit.[4]
II.
Gugatan
Perdata ( Pasal 118 HIR)
Menurut
pendapat Sudikno Mertokusumo, gugatan atau
tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan yang
diberikan oleh pengadilan untuk mencegah main hakim sendiri
(eigenrichting)[5]. Darwan Prins juga
berpendapat bawha gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya
dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh pengadilan serta kemudian
diambil putusan terhadap gugatan tersebut. Dapat disimpulkan bahwa gugatan
adalah permasalahan perdata yang
mengandung sengketa antara 2 (dua) pihak atau lebih yang diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri dimana salah satu pihak sebagai penggugat untuk menggugat
pihak lain sebagai tergugat. Penyelesaian perkara yang mengandung sengketa,
disebut yuridiksi contentiosa yaitu kewenangan peradilan yang
memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan antara pihak yang
bersengketa.
Ciri khas gugatan adalah:
Ciri khas gugatan adalah:
1. Permasalahan hukum yang diajukan ke
pengadilan mengandung sengketa (disputes, diffirences).
2. Terjadi sengketa di antara para
pihak, minimal di antara 2 (dua) pihak.
3. Bersifat partai (party),
dengan komposisi pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat
dan pihak yang lainnya berkedudukan sebagai tergugat.
- Tidak boleh dilakukan secara
sepihak (ex-parte), hanya pihak penggugat atau tergugat saja.
- Pemeriksaan sengketa harus
dilakukan secara kontradiktor dari permulaan sidang sampai putusan
dijatuhkan, tanpa mengurangi kebolehan mengucapkan putusan tanpa kehadiran
salah satu pihak.
Bentuk
gugatan ada 2 (dua) macam, yaitu gugatan lisan dan gugatan tertulis. Dasar
hukum mengenai gugatan diatur dalam Pasal 118 ayat (1) Herziene Inlandsch
Reglement (“HIR”) juncto pasal 142 Rectstreglement voor de Buitengewesten
(“RBg”) untuk gugatan tertulis dan Pasal 120 HIR untuk gugatan lisan. Akan
tetapi yang diutamakan adalah gugatan berbentuk tertulis.[6]
Tuntutan
hak yang ada didalam Pasal 118 HIR disebut sebagai tuntutan perdata (burgerlijke voredering) tidak lain
adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan lazimnya disebut gugatan .
Gugatan dapat dapat diajukan baik secara tertulis (Pasal 118 ayat 1 HIR, 142
ayat 1 Rbg) maupun secara lisan (Pasal 120 HIR, 144 ayat 1 HIR). Asas “Actor Sequitur Forum Rei” adalah asas dalam Hukum Acara
Perdata yang menerangkan tentang dimanakah seharusnya gugatan itu diajukan.
Berdasarkan pada asas ini, maka pada prinsipnya gugatan Hukum Acara Perdata itu
diajukan di pengadilan negeri tempat tinggal tergugat (Pasal 118 H. I. R.
(1)). Asas ini juga pada dasarnya menjadi acuan mengenai kompetensi
relatif pengadilan dalam hukum acara perdata. Berikut ketentuan tempat pengajuan berdasarkan ketentuan
secara tulisan yang diatur dalam pasal 118 HIR yang merupakan pengembangan asas
Actor Sequitur Forum Rei :
a.
Gugatan
diajukan pada pengadilan negeri tempat kediaman tergugat apabila tempat tinggal
tergugat tidak diketahui;
b.
Apabila
tergugat terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih, gugatan diajukan pada tempat
tinggal salah seorang dari tergugat yang dipilih oleh penggugat;
c.
Apabila
pihak tergugat ada 2 (dua) orang dimana yang seorang adalah pihak yang
berhutang dan yang seorang adalah penjaminnya, maka gugatan diajukan pada
pengadilan negeri pihak yang berhutang. Dan apabila tempat tinggal tergugat dan
turut tergugat berbeda maka gugatan itu diajukan di tempat tinggal tergugat;
d.
Apabila tempat
tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal maka gugatan harus diajukan
ke pengadilan negeri tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat;
e.
Dalam
hal gugatan mengenai barang tidak bergerak, gugatan dapat diajukan ke
pengadilan negeri tempat barang bergerak tersebut terletak apabila tempat
tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak diketahui. Namun khusus dalam
persoalan ini hanya berlaku bagi gugatan mengenai benda tidak bergerak, bukan
yang menyangkut uang sewa dari benda tidak bergerak tersebut. Namun, ketentuan
ini berbeda dengan apa yang tercantum dalam pasal 99 ayat (8) R.V. dan Pasal
142 ayat (5) R.Bg. dimana dalam hal gugatan menyangkut benda tidak bergerak,
gugatan diajukan ke pengadilan negeri di wilayah dimana benda tidak bergerak
tersebut terletak;
f.
Apabila
ada sebuah tempat tinggal atau pengadilan negeri yang ditunjuk khusus dalam
sebuah akta atau tercanntum dalam sebuah perjanjian, maka gugatan diajukan
kepada pengadilan negeri tempat tinggal atau pengadilan negeri yang tercantum
dalam akta atau perjanjian tersebut. Namun, tidak menggugurkan kemungkinan
untuk mengajukan gugatan di tempat tinggal tergugat atas keinginan penggugat.
III.
Mediasi
A.
Pengertian dan Dasar Hukum Mediasi
a. Pengertian Mediasi
Sebagai bentuk dari alternative Dispute Rosolutian (ADR), terdapat devinisi
yang beragam tentang mediasi yang dikemukakan oleh para pakar hukum. Namun
secara umum, banyak mengakui bahwa mediasi adalah proses untuk menyelesaikan
sengketa dengan melakukan bantuan pihak ketiga. Peran pihak ketiga itu adalah
dengan melibatkan diri dari bantuan para pihak dalam mengidientifikasi
masalah-masalah yang disengketakan.
Dalam Perma No. 1 Tahun
2008, pengertian mediasi disebutkan pasal 1 butir 7, yaitu: “Mediasi adalah
cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”. Berdasarkan uraian
tersebut, mediasi merupakan suatu proses yang ditunjukan untuk memungkinkan
para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka dengan
bantuan pihak ketiga yang netral. Tugas utama dari pihak yang netral tersebut
(mediator) adalah menolong para pihak memahami pandangan pihak lain sehubungan
dengan masalah yang disengketakan. Selanjutnya mediator membantu mereka
melakukan penilaian yang objektif dari seluruh situasi untuk mencapai
kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, guna mengakhiri
sengketa yang terjadi.
b. Dasar Hukum Mediasi
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa dasar hukum yang mengatur
pengintegrasian mediasi kedalam sistem peradilan pada dasarnya bertitik tolak
pada ketentuan pasal 130 HIR maupun pasal 154 R.Bg. Untuk lebih memberdayakan
dan mengefektifkannya, Mahkamah Agung menuangkan ketentuan tersebut ke dalan
suatu bentuk yang bersifat memaksa, yaitu dengan mengaturnya kedalam UU No. 2
Tahun 2003 tentang prosedur mediasi. Namun belakangan Mahkamah Agung menyadari
bahwa Perma tersebut kurang teraplikasikan sebagai landasan hukum mediasi
karena tidak tampak perubahan sistem dan prosedural perkara masih berlangsung
secara konvensional melalui proses litigasi. Hal tersebut kemudian mendorong
dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur
mediasi. Perma No. 1 Tahun 2008 tersebut merupakan penyempurna dari Perma No.2
Tahun 2003.
B.
Jenis- Jenis Mediasi
Secara umum, mediasi dapat dibagi kedalam dua jenis yakni
Mediasi dalam Sistem Peradilan dan Mediasi di Luar Pengadilan. Mediasi yang
berada di dalam pengadilan diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1
Tahun 2008 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok
perkara perdata dengan mediator terdiri dari hakim-hakim Pengadilan Negeri
tersebut sedangkan mediasi di luar pengadilan ditangani oleh mediator swasta,
perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif penyelesaian sengketa.
a. Mediasi dalam Sistem
Peradilan Dalam pasal 130 HIR dijelaskan bahwa mediasi dalam sistem peradilan
dilaksanakan dalam bentuk perdamaian yang menghasilkan produk berupa akta
persetujuan damai (akta perdamaian). Hukum di Indonesia mengatur bahwa hasil mediasi
harus dalam bentuk tertulis. Hal tersebut tidak hanya berlaku untuk mediasi
dalam lingkup pengadilan tetapi juga bagi mediasi di luar pengadilan. Dalam
Perma No. 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa: jika mediasi menghasilkan kesepakatan,
para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan
yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak. Kesepakatan tersebut wajib
memuat klausul-klausul pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai
[pasal 17 ayat (1) dan (6)].
b. Mediasi di Luar
Pengadilan Pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari, mediasi yang berlangsung
di luar pengadilan sering terjadi dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut
dapat dilihat dari adanya peraturan hukum adat yang melekat dan mendarah daging
pada kebanyakan masyarakat Indonesia. Misalnya seorang kepala adat atau kepala
kerabat bertindak sebagai penengah dalam memecahkan sebuah masalah/ sengketa
dan memberi putusan terhadap masalah tersebut. Karena mediasi di luar
pengadilan ini merupakan bagian dari adat istiadat atau budaya daerah tertentu
maka penyebutan dan tata cara pelaksanaannya juga berbada-beda sesuai dengan
budaya yang berlaku pada masyarakat dan daerah tersebut. Sampai saat ini,
perkembangan mediasi sudah sangat baik. Masyarakat modern yang dulunya cendrung
memilih bentuk penyelesaian perkara melalui litigasi, sekarang sudah berubah
memilih mediasi. Hal tersebut dapat dilihat dari pengintegrasian proses mediasi
kedalam bentuk perundang-undangan. Misalnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial, Undang-undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen dan lain sebagainya.
c. Mediasi-Arbitrasi
Mediasi- Arbitrase
adalah bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang merupakan kombinasi antara
mediasi dan arbitrase. Dalam bentuk ini, seorang yang netral diberi kewenangan
untuk mengadakan mediasi, namun demikian ia pun mempunyai kewenangan untuk
memutuskan setiap isu yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak. Sedangkan
menurut Priyatna Abdurrasyid bahwa mediasi-arbitrae dimulai dengan mediasi, dan
jika tidak menghasilkan penyelesaian dilanjutkan dengan arbitrase yang
putusannya final mengikat. d. Mediasi Ad-Hoc dan Mediasi Kelembagaan Dengan
mengacu pada ketentuan pasal 6 ayat 4 undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mediasi adhoc terbentuk dengan
adanya kesepakatan para pihak dalam hal menentukan mediator untuk menyelesaikan
perselisihannya, yang mempunyai sifat tidak permanen. Jenis ini bersifat
sementara atau temporer saja, karena dibentuk khusus untuk menyelesaikan
perselisihan tertentu sesuai dengan kebutuhan saat itu dan ketika selesai maka
mediasi ini akan bubar dengan sendirinya. Sebaliknya, mediasi kelembagaan
merupakan mediasi yang bersifat permanen atau terbentuk secara institusional/
melembaga, yakni suatu lembaga mediasi yang menyediakan jasa mediator untuk
membantu para pihak.
C.
Tugas dan Fungsi Mediator
Berdasarkan Perma Nomor
2 Tahun 2008 tentang Prosedur mediasidi Pengadilan , pasal 1 ayat 6 menyebutkan
bahwa: “Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses
perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan
cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian,” dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pada setiap proses mediasi, mediator memegang peranan yang
sangat penting. Mediasi tidak akan terlaksana tanpa usaha seorang mediator
untuk mempertemukan keinginan para pihak dan mencari solusi yang sama-sama
menguntungkan atas permasalahan yang terjadi.
Dalam praktik, mediator
sangat membutuhkan kemampuan personal yang memungkinkannya berhubungan secara
menyenangkan dengan para pihak. Kemampuan pribadi yang terpenting adalah sifat
tidak menghakimi, yaitu dalam kaitannya dengan cara berfikir masing- masing
pihak. Dengan bekal berbagai kemampuan yang dimilikinya, mediator diharapkan
dapat menjalankan peranannya untuk menganalisis dan mendiagnosa sengketa yang ada.
Kemudian mendisain dan mengendalikan proses mediasi untuk menuntun para pihak
mencapai suatu kesepakatan. Adapun hal-hal yang perlu dilakukan oleh seorang
mediator dalam praktik, antara lain sebagai berikut:
a. Melakukan diagnosis
konflik
b. Mengidientifikasi
masalah serta kepentingan-kepentingan kritis para pihak
c. Menyusun agenda
d. Memperlancar dan
mengendalikan komunikasi
e. Mengajar para pihak
dalam proses dan keterampilan tawar- menawar
f. Membantu para pihak
mengumpulkan informasi penting, dan menciptakan pilihan-pilihan untuk
memudahkan penyelesaian problem.
Dalam kaitannya dengan
itu, tugas mediator adalah mengarahkan dan memfasilitasi lancarnya komunikasi
dan membantu para pihak agar memperoleh pengertian tentang perselisihan secara
keseluruhan sehingga memungkinkan setiap pihak membuat penilaian yang objektif.
Dengan bantuan dan bimbingan mediator, para pihak bergerak kearah negosiasi
penyelesaian sengketa mereka. Menurut Fuller[7]
salah seorang pakar hukum menyebutkan bahwa fungsi dari seorang mediator ada 7,
yakni:
a. Sebagai
“katalisator”, mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator dalam proses
perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi.
b. Sebagai “pendidik”,
berarti seorang harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan
politis, dan kendala usaha dari para puhak.
c. Sebagai
“penerjemah”, berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan
usulan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya melalui bahasa atau ungkapan
yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
d. Sebagai “nara
sumber” berarti seorang mediator harus mendayagunakan sumber-sumber informasi
yang tersedia.
e. Sebagai “penyandang
berita jelek”, berarti seorang mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam
proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk itu, mediator harus
mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak terkait untuk menampung
berbagai usulan.
f. Sebagai “agen realitas”,
berarti mediator harus berusaha memberikan pengertian secara jelas kepada salah
satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/ tidak masuk akal tercapai melalui
perundingan.
g. Sebagai “kambing
hitam”, berarti seorang mediator harus siap disalahkan, misalnya dalam membuat
kesepakatan hasil perundingan.
D. Proses Mediasi di Pengadilan
Negeri
Dalam Perma nomor 1 Tahun 2008, prosedur pelaksanaan
mediasi dibagi dalam dua tahap sebagaimana yang diatur dalam Bab II, yaitu:
Tahap Pramediasi dan tahap mediasi . Tahap-tahap tersebut mencakup hal-hal
sebagai berikut:
a. Tahap
Pramediasi
Tahap pramediasi merupakan tahap
persiapan kea rah proses tahap mediasi, yang terdiri atas[8]
1) Hakim Memerintahkan Menempuh Mediasi
Langkah pertama yang dilakukan seorang hakim pada tahap pramediasi adalah
sebagai berikut
a) Memerintahakan lebih dahulu menempuh mediasi
Perma telah memberikan fungsi dan kewenangan kepada hakim sebagai berikut:
(1) Memerintahkan para pihak yang berperkara wajib
lebih dahulu menempuh penyelesaian melalui proses mediasi
(2)
Kewajiban menempuh lebih dahulu penyelesaian proses mediasi bersifat
imperative, dan bukan regulative sehingga harus ditaati oleh para pihak.
(3)
Saat hakim penyampaian perintah pada siding pertama, berarti keberadaan dan
fungsi siding pertama hanya acara tunggal, yaitu memerintahkan para pihak wajib
lebih dahulu untuk menempuh proses mediasi.
b) Syarat Menyampaikan Perintah Syarat yang harus
dipenuhi agar penyampaian perintah yang mewajibkan para pihak mesti lebih
dahulu menempuh mediasi, diatur dalam pasal 2 ayat 3.
2) Hakim Wajib Menunda Persidangan
Tindakan selanjutnya yang harus dilakukan oleh seorang hakim dalam tahap ini
diatur dalam pasal 7 ayat (2), yaitu:
a)
Hakim Wajib Menunda Persidangan Bersamaan dengan perintah yang mewajibkan para
pihak lebih dahulu menempuh mediasi, hakim wajib menunda persidangan perkara.
Secara mutlak hakim dilarang melakukan pemeriksaan perkara tetapi harus menundanya.
b)
Memberi Kesempatan Menempuh Mediasi Pada saat hakim menyampaikan perintah agar
para pihak harus lebih dahulu menempuh mediasi dibarengi dengan menuda
pemeriksaan perkara, hakim harus menjelaskan bahwa meksud penundaan itu adalah
dalam rangka memberi kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.
3) Hakim Wajib Memberi Penjelasan
tentang Prosedur dan Biaya Mediasi
Tindakan berikutnya
yang harus dilakukan oleh seorang hakim yaitu:
a) Wajib Memberi Penjelasan Prosedur Mediasi :
Pada sidang pertama
hakim juga wajib memberi penjelasan tata cara dan prosedur mediasi yang
meliputi tata cara pemilihan mediator, cara pertemuan, perundingan, jadwal
pertemuan, tenggang waktu berkenaan dengan pemilihan mediator, proses mediasi
dan penendatanganan hasil kesepakatan.
b) Menjelaskan Biaya
Mediasi Hakim juga wajib menjelaskan hal-hal yang brekenaan dengan biaya
mediasi, terutama biaya yang disebut dalam pasal 10 ayat (3) dan (4), yaitu:
(a) Bila mediasi dilakukan ditempat lain, biaya ditanggung oleh para pihak
berdasarkan kesepakatan. (b) Bila mediator yang disepakati bukan hakim tetapi
berasal dari luar lingkup daftar mediator yang ada di pengadilan, biaya
mediator tersebut ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan para
pihak.
4) Wajib memilih mediator
Tata cara pemilihan
mediator diatur dalam pasal 8 yaitu:
a. Para pihak berhak memilih mediator.
Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut:
i. . Hakim bukan
pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan;
ii. Advokat atau akademisi hukum;
iii.
Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam
pokok sengketa;
iv. Hakim majelis
pemeriksa perkara;
v.
Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir
b dan d, atau gabungan butir c dan d. Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat
lebih dari satu orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan
disepakati oleh para mediator sendiri.
b. Tidak tercapai kesepakatan Apabila
para pihak atau kuasa mereka tidak menghasilkan kesepakatan dalam memilih
mediator sampai batas waktu yang telah ditetapkan, para pihak wajib memilih
mediator dari daftar pengadilan yang telah tersedia. Hak para pihak untuk
memilih mediator dari luar pengadilan telah tertup.
c. Ketua majelis berwenang menunjuk
mediator Jika para pihak gagal memilih mediator dari daftar maupun luar daftar
mediator yang disediakan pengadilan, kemudian gagal pula memilih mediator dari
daftar pengadilan dalam waktu satu hari kerja sebagai tindak lanjut dari
kegagalan pertama maka penunjukan mediator dilimpahkan kewenangannya kepada
ketua majelis hakim yang memriksa perkara secara ex-officio, yang dituangkan ke
dalam penetapan.
1. Proses Mediasi oleh Mediator Luar
Perlakuan khusus proses mediasi yang
menggunakan mediator di luar daftar mediator yang dimiliki pengadilan.
Perlakuan tersebut mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. Proses mediasinya 40 hari
b. Tindakan para pihak selanjutnya
adalah menghadap kembali pada hakim yang memeriksa perkara dan meminta
penetapan akta perdamaian atau menyatakan pencabutan gugatan apabila proses
mediasi mengahasilkan kesepakatan.
I. Tahap Mediasi Tahap mediasi terdiri
atas[9]
1. Para Pihak Wajib
Menyerakan Foto Kopi Dokumen
Setelah mediator
terpilih atau ditunjuk, para pihak wajib menyerahkan foto kopi dokumen yang
memuat duduk perkara dan fotokopi surat-surat yang diperlukan paling lambat
dalam jangka waktu tujuh hari kerja terhitung dari tanggal para pihak memilih
mediator atau ketua mejelis menunjuk mediator. Penyerahan dokumen ini tidak
hanya kepada mediator tetapi juga kepada pihak lain, artinya para pihak secara
timbale balik saling menyerahkan dikumen dan surat-surat yang dimaksud.
2. Kewajiban dan Peran
Mediator
Setelah para pihak
saling memberikan dokumen perkara, selanjutnya adalah mediator menentukan
jadwal pertemuan yang benar-benar realistis dan harus dihadiri oleh para pihak
dengan atau tanpa di dampingi oleh kuasa hukum mereka. Mediator juga dapat
melakukan kaukus apabila dianggap perlu dan mengundang ahli dengan
syarat-syarat disetujui oleh para pihak.
3. Sistem Proses
Mediasi
Sistem proses mediasi dibedakan kedalam
2 sistem, yaitu:
a.
Tertutup untuk umum Sistem ini merupakan prinsip dasar. dalam pasal 6 disebutkan:
“proses mediasi pada asasnya tertutup untuk umum, kecuali para pihak
menghendaki lain”.
b.
Terbuka untuk umum atas persetujuan para pihak Kebolehan melakukan proses
pertemuan mediasi terbuka untuk umum, menurut pasal 6 pula, kecuali para pihak
menghendaki lain”. Dalam arti para pihak menyetujui dan kehendak atau
persetujuan itu harus dinyatakan dengan tegas.
4. Mediasi
Mengahasilkan Kesepakatan Apabila mediasi menghasilkan kesepakatan, maka para
pihak wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis dengan dibantu oleh mediator
dan ditandatangani oleh para pihak setelak kesepakatan tersebut diperiksa oleh
mediator untuk menghindari terjadinya kesepakatan yang betentangan dengan
hukum. Dalam kesepakatan ini, wajib dicantumkan klausula-klusula pencabutan
perkara atau pernyataan perkara telah selesai.
5. Proses Mediasi Gagal
Apabila proses mediasi
gagal, yaitu dalam jangka waktu yang telah ditentukan (40 hari kerja) dan telah
dipenpanjang selama 14 hari atas namun mediasi tidak menghasilkan kesepakatan maka
mediator wajib memberitahukan kegagalan tersebut kepada hakim secara tertulis.
Setelah menerima pemberitahuan tersebut maka hakim segera melanjutkan
pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.
Ada dua
pilihan ketika mediasi mengalami kegagalan, dalam kaitannya dengan kelanjutan
proses tersebut, yakni:
1. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, jika upaya mediasi tidak dapat dicapai, para
pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan upaya
penyelesaian melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.[10]
2. Berdasarkan
Perma Nomor 01 Tahun 2008, jika dalam waktu yang telah ditetapkan, mediasi
tidak menghasilkan kesepakatan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa
proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan tersebut kepada hakim
di Pengadilan Negeri yang sedang menangani perkara tersebut, selanjutnya akan
melalui persidangan di pengadilan.
Pelaksanaan
mediasi di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama atau tempat lain yang
disepakati oleh para pihak. Pada dasarnya tidak ada pembebanan biaya apapun
dari pengadilan untuk proses mediasi. Apabila mediasi dilaksanakan di ruang
pengadilan tingkat pertama tidak dikenakan biaya, sebaliknya jika mediasi
dilakukan di tempat lain, maka pembiayaan dibebankan kepada para pihak
berdasarkan kesepakatan.[11]
Pemanggilan
para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih dahulu dibebankan kepada pihak
penggugat melalui uang panjar biaya perkara. Pada saat mencapai kesepakatan,
maka biaya pemanggilan para pihak ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan
para pihak itu sendiri, namun jika mediasi gagal, pembebanan biaya pemanggilan
diberikan kepada pihak yang oleh hakim dihukum membayar biaya perkara.[12]
Penggunaan
jasa mediator dari kalangan hakim tidak ada pemungutan biaya. Akan tetapi
penggunaan mediator yang bukan berasal dari hakim pembayaran biaya ditanggung
bersama oleh para pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak. Pembiayaan
untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam proses mediasi ditanggung oleh
para pihak berdasarkan kesepakatan.[13]
E. Upaya Perdamaian
Perdamaian
yang demikian ini dilaksanakan pada saat mediasi mengalami kegagalan. Pada tiap
tahapan pemeriksaan pengadilan, dari pemeriksaan awal sampai sebelum putusan,
dibuka seluas-luasnya untuk usaha perdamaian. Pada pasal 21 Perma No. 01 Tahun
2008 disebutkan:
“Para pihak, atas dasar kesepakatan
mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam
proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang
diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang
perkara itu belum diputus.”
Hakim
pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mengusahakan agar tetap tercipta
perdamaian yang dimaksud. Penyampaian keinginan para pihak untuk berdamai harus
disampaikan kepada hakim pemeriksa perkara dan berlangsung paling lama 14
(empat belas) hari kerja, sejak hari penyampaian tersebut.
Upaya
perdamaian dapat diajukan para pihak secara tertulis kepada Ketua Pengadilan
Tingkat Pertama terhadap perkara yang sedang diproses atau diperiksa pada
tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum
diputus. Hakim pemeriksa pada tingkatan itu wajib menunda pemeriksaan perkara
yang bersangkutan selama 14 (empat belas) hari kerja sejak menerima
pemberitahuan tentang kehendak para pihak menempuh perdamaian. Mengenai tempat
pelaksanaannya dilaksanakan padapengadilan di tingkat pertama atau tempat lain
atas persetujuan para pihak.
F. Daya Mengikat Kesepakatan
Mediasi
Konsekuensi
logis dari penerapan mediasi dalam proses penyelesaian sengketa di pengadilan
yakni kesepakatan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde) sekaligus penyelesaian itu harus selesai dalam tingkat peradilan
pertama atau dengan kata lain tidak dapat diajukan banding. Oleh sebab itu
pelaksanaannya tidak dapat terlepas dari Pasal 130 HIR/154
RBg terutama ayat 2 dengan penyebutannya sebagai berikut:
“Jika
perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang,
diperbuat sebuah surat(akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak
dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu,surat mana akan
berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.”
Dalam
tingkatan ini juga dikuatkan dengan pernyataan pasal 130 HIR/154 RBg ayat 3 yang
berbunyi:“Keputusan yang sedemikian tidak diizinkan banding.” Dasar hukum di
atas menegaskan kesepakatan yang dicapai oleh para pihak mempunyai kekuatan
hukum yang sama dengan hasil putusan dalam proses pengadilan. Jadi para pihak
diwajibkan untuk menepati hasil kesepakatan serta tidak dapat diajukan banding
atas hasil kesepakatan mediasi tersebut.
Para pihak
dengan bantuan mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di
luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan perdamaian
tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian. Dengan
cara mengajukan gugatan yang dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan
dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek
sengketa.
Syarat-syarat
yang harus terpenuhi untuk menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta
perdamaian, sebagai berikut:[14]
a. sesuai
kehendak para pihak;
b. tidak
bertentangan dengan hukum;
c. tidak
merugikan pihak ketiga;
d. dapat
dieksekusi;
e. dengan
itikad baik.
Dalam
hal perkara yang telah berhasil mendapatkan kesepakatan perdamaian ini tidak
dibenarkan untuk mengajukan gugatan pada kasus yang sama karena pasti
dinyatakan ne bis in idem. Mediasi yang demikian hanya mengikat kedua
belah pihak dan karena itu apabila salah satu pihak tidak mentaatinya,
persoalan tetap harus diajukan ke depan persidangan pengadilan (litigasi).
http://mediasidalamperkaraperdata.blogspot.com/
IV.
Surat Kuasa
Kuasa merupakan suatu
persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seseorang lain
yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan (Pasal 1792
KUHPerdata). Dengan kata lain, pemberian kuasa adalah suatu persetujuan
mengenai pemberian kekuasaan/wewenang (lastgeving)
dari satu orang atau lebih kepada orang lain yang menerimanya (penerima kuasa)
guna menyelenggarakan/melaksanakan sesuatu pekerjaan/urusan (perbuatan hukum)
untuk dan atas nama (mewakili/mengatasnamakan) orang yang memberikan kuasa
(pemberi kuasa). Pada pokoknya, pemberian kuasa merupakan suatu persetujuan
“perwakilan” melaksanakan perbuatan hukum tertentu. Dalam praktek,
pemberian kekuasaan tidak terbatas hanya dapat dilakukan dari seseorang kepada
seseorang lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1792 KUHPerdata tersebut di
atas. Tapi, dapat dilakukan dari satu orang atau lebih pemberi kuasa kepada
satu orang atau lebih penerima kuasa. Tidak semua perbuatan hukum dapat
dikuasakan atau diwakilkan kepada orang lain. Misalnya, mengangkat anak/adopsi,
membuat wasiat/testament (Pasal 932 KUHPerdata), melangsungkan perkawinan
kecuali ada alasan kuat/penting (Pasal 79 KUHPerdata). Pasal 1793
KUHPerdata menyebutkan beberapa bentuk pemberian kuasa, yakni : pemberian kuasa
otentik (akta otentik), pemberian kuasa dibawah tangan (akta dibawah tangan),
pemberian kuasa dengan sepucuk surat biasa, pemberian kuasa lisan dan pemberian
kuasa diam-diam. Pemberian kuasa otentik (akta otentik) adalah pemberian
kuasa yang dibuat oleh dan/atau dihadapan pejabat umum yang berwenang (Notaris)
dan kuasa seperti ini kekuatan pembuktian formil yang sempurna.
A. Pengertian Surat Kuasa Secara Umum
Surat
Kuasa pada umumnya telah datur dalam Bab XVI, Buku III Kitab
Undang-undang Hukum Perdata pasal 1792 s/d 1819, sedangkan secara khusus telah
diatur dalam Hukum Acara Perdata yaitu sebagaimana pada pasal 123 HIR.
Pengertian surat kuasa sebagaimana pasal 1972 KUH Perdata, berbunyi bahwa :
“Pemberian
kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada
seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu
urusan”.
Dari
pasal tersebut, ada dua pihak yaitu pemberi kuasa dan penerima kuasa, keduanya
telah mengadakan persetujuan, pemberi kuasa memberikan atau melimpahkan sesuatu
urusannya kepada pihak penerima kuasa untuk melakukan sesuatu untuk dan atas
nama pemberi kuasa, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang telah ditentukan
dalam surat kuasa tersebut, hal mana penerima kuasa bertanggung jawab melakukan
perbuatan sepanjang yang dikuasakan dan tidak melebihi kewenangan yang
diberikan dari pemberi kuasa.
B.
Jenis
Surat Kuasa
Pemberian kuasa terbagi
atas 2 (dua) jenis, yakni: pemberian kuasa secara umum dan pemberian kuasa
secara khusus yang diatr pada Pasal 1795 KUHPerdata.
1. Surat
Kuasa Umum
Kuasa
umum sebagaimana pasal 1795 disebutkan bahwa : “ Pemberian kuasa dapat
dilakukan secara khusus yaitu mengenai hanya satu kepetingan tertentu atau
lebih, atau secara umum yaitu meliputi segala kepentingan sipemberi kuasa”.
Berdasarkan
pasal tersebut kuasa umum bertujuan pemberian kuasa pada seseorang adalah untuk
mengurus kepentingannya, yaitu :
i.
Melalukan tindakan pengurusan yang diberikan kepadanya;
ii.
Pengurusan yang berhubungan dengan kepentingan pemberi kuasa;
iii.
dan titik berat kuasa umum hanya meliputi perbuatan penguruan pemberi kuasa.
Ditinjau
dari segi hukum surat kuasa umum ini tidak dapat dipergunakan di
depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa, karena sifatnya umum
meskipun hanya satu persoalan yang dikuasakan secara khsus namun bukan untuk
tampil di depan sidang Pengadilan.
2.
Surat Kuasa
Khusus
Dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia, apabila
seseorang ingin mengajukan suatu gugatan perdata di pengadilan negeri mengenai
permasalahan hukum yang berkaitan dengan pemenuhan prestasi dalam perjanjian
atau pun perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum
terhadap dirinya, dan dia bermaksud menunjuk seorang atau lebih advokat sebagai
penerima kuasanya dalam mewakili dan/atau memberikan bantuan hukum pada proses
pemeriksaan perkara di persidangan, maka orang tersebut harus memberikan kuasa
kepada advokat yang ditunjuk dalam bentuk Surat Kuasa Khusus yang dibuat dan
ditandatangani serta diperuntukkan khusus untuk itu. Hal pemberian Kuasa dengan
Surat Kuasa Khusus yang demikian ini, berlaku pula bagi pihak yang digugat oleh
pihak lain, yang pada akhirnya diwakili oleh seorang advokat sebagai penerima
kuasa.
C.
Bentuk
Pemberian Kuasa Khusus Ditinjau dari Cara Pemberiannya
Sebagaimana
pasal 123 HIR disebutkan bahwa : ” Bila dikehendaki, kedua belah pihak dapat
dibantu atau diwakili oleh kuasa, yang dikuasakannya untuk melakukan itu dengan
surat kuasa teristimewa, kecuali kalau yang memberi kuasa itu
sendiri hadir, Penggugat dapat juga memberi kuasa itu dalam surat pemintaan
yang ditandatanganinya dan dimasukkan menurut ayat pertama pasal 118
atau jika gugatan dilakukan dengan lisan menurut pasal 120 maka
dalam hal terakhir ini, yang demikian itu harus disebutkan dalam catatan yang
dibuat surat gugat ini”.
Berdasarkan pasal
ini, seseorang dapat mewakilkan perkaranya di depan Pengadilan untuk mengurus
kepentingannya, dan dalam mewakilkan ini dapat berbentuk:
a. Kuasa
secara lisan.
Kuasa
secara lisan dapat dilakukan sekaligus bersamaan dengan pengajuan gagatan bila
Penggugat seorang yang buta huruf, dimana kehendak mengajukan gugatan
dan pemberian kuasa secara lisan kemudian diformulasikan dengan bentuk
tulisan oleh Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk untuk
mencatatnya sebagaimana ketentuan pasal 120 HIR.
Kuasa
yang ditunjuk di depan persidangan saat perkaranya berlangsung, hal ini
diperbolehkan dengan syarat, bahwa penunjukan tersebut dilakukan secara tegas
dan jelas, kemudian Ketua Majelis Hakim memerintahkan pada Panitera Pengganti
untuk mencatatnya dalam berita acara. Penunjukan semacam ini dianggap sah dan
memenuhi syarat formal sebagai kuasa untuk mewakili di depan persidangan.
Pemberian
Kuasa secara lisan ini dari segi waktu pemberian kuasa, terdiri dari dua bagian
yaitu:
i.
Pemberian Kuasa yang dinyatakan di depan
Ketua Pengadilan.
Bentuk
ini hanya berlaku bagi Penggugat yang buta huruf, yaitu ketika Penggugat
mengajukan gugatan secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan, Penggugat
sekaligus menunjuk kuasa untuk mewakilinya. Yaitu Penggugat menyampaikan kepada
Ketua Pengadilan mengenai identitas penerima kuasa dan menyampaikan
kewenangan-kewenangan yang dikuasakan oleh Penggugat kepada penerima kuasa itu.
Selanjutnya
peristiwa pemberian kuasa itu, dicatat oleh Ketua Pengadilan ke dalam gugatan
yang yang dibuatnya.
Dalam
bentuk yang seperti ini, pemberian kuasa sudah dianggap memenuhi syarat-syarat
pemberian kuasa sebagaimana yang tersebut di muka, karena mengenai identitas
pihak-pihak yang berperkara dan objek perkara, telah jelas disebutkan dalam
gugatan yang disampaikan secara lisan itu. Terlebih mengenai di Pengadilan mana
diajukan, secara nyata Penggugat telah menghadap secara langsung kepada Ketua
Pengadilan di mana perkara tersebut diajukan.
ii.
Pemberian Kuasa yang dinyatakan di muka
persidangan.
Bentuk ini berlaku bagi semua pihak, baik
Penggugat, Tergugat, maupun turut Tergugat, asalkan pemberian kuasa itu
dinyatakan di depan Majelis Hakim dengan kata-kata yang tegas (expressis
verbis) di persidangan. Yaitu dengan cara menyampaikan kepada Ketua
Pengadilan mengenai identitas penerima kuasa dan menyampaikan kewenangan-kewenangan
yang dikuasakannya kepada penerima kuasa itu. Selanjutnya peristiwa pemberian
kuasa itu dicatat dalam BAP.
Dalam
bentuk yang seperti ini, pemberian kuasa sudah dianggap memenuhi syarat-syarat
pemberian kuasa sebagaimana yang tersebut di muka, karena dengan cara ini
berarti pemberian kuasa dilakukan pada saat perkara telah didaftarkan/ surat
gugatan telah terdaftar, sehingga mengenai identitas pihak-pihak yang
berperkara, objek perkara, dan di pengadilan mana perkara diajukan, telah jelas
sebagaimana yang dimaksud dalam perkara yang bersangkutan.
b. Kuasa secara tertulis.
a.
Kuasa yang ditunjuk dalam surat gugatan.
Kuasa ini
oleh pihak Penggugat dalam surat gugatannya sekaligus ditunjuk kuasanya, dan
ini yang berkembang hingga sekarang, cuman pencantuman dan penjelasannya dalam
surat gugatan itu didasarkan pada surat kuasa khusus.
Surat
kuasa khusus ini semula sangat sederhana yaitu cukup menunjuk kuasa dari
pemberi kuasa yang berisi memberi kuasa kepada seseorang untuk
mewakilinya menghadap di semua Pengadilan, kemudian dengan perkembangan
hukum di Indonesia yang sangat pesat, surat kuasa khusus telah dibenahi dan
disempurnakan oleh Mahkamah Agung dengan dikeluarkan surat-surat edaran
dimana surat kuasa khusus tersebut harus memenuhi persyaratan
sehingga dapat dipergunakan untuk mewakili seseorang di depan
persidangan.
1) Surat Edaran
Mahkamah Agung RI Nomor : 2 tahun 1959 tanggal 19 Januari 1959
Surat kuasa
khusus dianggap memenuhi ketentuan pasal 123 HIR, yaitu :
- Menyebutkan dengan
jelas dan spesifik surat kuasa untuk berperan di Pengadilan;
- Menyebutkan
identitas dan kedudukan para pihak (Penggugat / Tergugat);
- Menyebutkan
secara ringkas dan konkrit pokok dan obyek sengketa yang diperkarakan antara
pihak yang berperkara;
- Menyebutkan
kompetensi relatif, yakni: di PA / PN mana kuasa tersebut akan dipergunakan
untuk mewakili pemberi kuasa.
Persyaratan
tersebut merupakan syarat komulatif, sehingga apabila tidak terpenuhinya syarat
tersebut, surat kuasa khusus ini cacat formil, sehingga surat kuasa tidak sah,
berakibat surat gugatan juga tidak sah dan dengan sendirinya gugatan tidak
dapat diterima.
2) Surat
Edaran Mahkamah Agung RI Nomor : 5 tahun 1962 tanggal 30 Juli
Surat edaran
ini memberi petunjuk pada Hakim untuk menyempurnakan surat kuasa sesuai dengan
SEMA No. 2 tahun 1959, yaitu dengan memanggil pemberi kuasa atau kuasa hukumnya
untuk menyempurkan surat kuasanya, jika tidak bersedia memperbaiki tentunya
surat kuasa tersebut tidak memenuhi persyaratan perkara tidak dapat
diterima.
3) Surat
Edaran Mahkamah Agung RI Nomor : 1 tahun 1971 tanggal 23 Januari
Surat edaran
ini merupakan penegasan kembali terhadap surat kuasa
khusus dan mereka dianggap telah mengetahui persyaratan surat kuasa
khusus, dan apabila terjadi ada surat kuasa khusus yang tidak memenuhi
persyaratan hakim tidak perlu memperingatkan untuk disempurnakan;
4) Surat
Edaran Mahkamah Agung RI Nomor : 6 tahun 1994 tanggal 14 Oktober 1994 (foto
copy terlampir).
Pada
dasarnya, substansi dan jiwa SEMA Nomor : 6 tahun 1994 ini sama dengan SEMA
Nomor : 2 tahun 1959 dan No. 1 tahun 1971 oleh karena itu syarat yang
disebutkan didalanya sama dengan SEMA No. 2 tahun 1959.
Surat kuasa
khusus dapat dibuat antara kedua belah pihak, tidak harus di depan Notaris atau
panitera, dan yang perlu diperhatikan adalah :
(a) Harus
menyebut subyek, identitas para pihak harus jelas, baik pemberi kuasa, penerima
kuasa dan pihak yang hendak digugat, (harus mencantumkan Rt. / Rw, Desa /
Kelurahan, Kecamatan dan Kabupaten / Kota),
(b) Harus
menyebut obyeknya dengan jelas, apa saja yang hendak dikuasakan untuk
digugat, banyak pengacara yang mengabaikan ini, semisal kuasa hukumnya menerima
kuasa dalam sarat kuasa hanya mengajukan cerai gugat, namun dalam surat
gugatannya banyak sekali yang digugat, ada khadlonah, harta bersama, nafkah
terhutang dsb.
(c) Antara
surat kuasa dengan surat gugatan hendaknya tanggal pembuatannya dibedakan,
jangan sama tanggalnya, karena tidak dapat dibedakana kapan pembuatannya.
(d) Jika
penerimaan surat kuasa perkara telah berlangsung, dalam surat kuasa dapat /
cukup menunjuk nomor perkaranya, dan jika penerima kuasa sebagai
Tergugat dan hendak mengajukan gugatan rekonpensi obyek sengketanya
yang akan diajukan harus dijelaskan pula.
(e) Ketidakjelasan tersebut
di atas menjadikan surat kuasa cacat dan perkara tidak dapat diterima. (lihat
Putusan MA No. 3412 K/Pdt/1983 tanggal 24 Agustus 1983).
c. Surat kuasa Istimewa.
Pasal
1796 KUH Perdata, menyebutkan bahwa : “Pemberian kuasa yang dirumuskan dalam
kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Untuk
memindahtangankan benda-benda atau untuk meletakkan hipotik di atasnya, atau
lagi untuk membuat suatu perdamaian, ataupun sesuatu perbuatan lain yang
hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian
kuasa dengan kata-kata yang tegas”, ini mengatur pemberian kuasa istimewa yang
dapat dikaitkan dengan pasal 157 HIR / 184 RBG.
Surat
kuasa khusus terdapat juga dalam bentuk Surat Kuasa istimewa ini adalah surat
kuasa yang dibuat hanya terbatas untuk tindakan tertentu yang sangat penting,
perbuatan hukum tersebut hanya dapat dilakukan oleh dirinya sendiri, dan tidak
dapat dilakukan oleh kuasa bersdasarkan surat kuasa biasa dan untuk
menghilangkan ketidakbolehan tersebut dibuatlah surat istimewa
sehingga suatu tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh yang
bersagkutan secara peribadi dapat diwakilkan pada kuasanya seperti, sumpah
decisoir eed/penentu, Pengucapan ikrar talak di depan persidangan, atas surat
kuasa istimewa ini, Hakim dapat memberi ijin kepada kuasa untuk mengucapkanya,
sesuai bunyi sumpah / ikrar talak yang akan diucapkan kuasa. Surat kusa
istimewa ini harus berbentuk Akta Otentik yaitu yang dibuat di hadapan atau
oleh Notaris / Panitera.
D.
Hak
dan Kewajiban Para Pihak (Pemberi dan Penerima Kuasa)
KUHPerdata
tidak memerinci hak-hak pemberi kuasa dan penerima kuasa, hanya mengenai
kewajiban-kewajiban penerima kuasa dan pemberi kuasa (Pasal 1800-1803, Pasal
1805 dan Pasal 1807-1811 KUHPerdata). Namun demikian, dari ketentuan-ketentuan
mengenai kewajiban-kewajiban tersebut, mengandung pemahaman sebaliknya mengenai
hak-hak pemberi kuasa dan penerima kuasa. Khusus untuk hak penerima kuasa
sebagai berikut :
Penerima
kuasa berhak untuk memperhitungkan/memperoleh upah meskipun hakekat
pemberian kuasa terjadi secara cuma-cuma/gratis (Pasal 1794 KUHPerdata). Jika
diperjanjikan, besarnya upah sesuai dengan yang disebutkan dalam perjanjian
antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Sebaliknya, jika tidak diperjanjikan,
maka berlaku Pasal 411 KUHPerdata, yang berbunyi “Semua wali, kecuali
bapak atau ibu dan kawan wali, diperbolehkan memperhitungkan sebagai upah tiga
perseratus dari segala pendapatan, dan dua perseratus dari segala pengeluaran
dan satu setengah perseratus dari jumlah-jumlah uang modal yang mereka terima,
kecuali mereka lebih suka menerim upah yang kiranya disajikan bagi mereka
dengan surat wasiat, atau dengan akta otentik tersebut dalam Pasal 355; dalam
hal demikian mereka tidak boleh memperhitungkan upah yang lebih”.
Penerima
kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberi kuasa yang berada ditangannya
hingga kepadanya dibayar lunas segala sesuatu yang dapat dituntutnya akibat
pemberian kuasa (Pasal 1812 KUHPerdata). Hak ini disebut dengan hak retensi.
Adapun
kewajiban-kewajiban penerima kuasa dan pemberi kuasa berdasarkan Pasal
1800-1803, Pasal 1805 dan Pasal 1807-1811 KUHPerdata, sebagai berikut:
a.
Kewajiban
Penerima Kuasa
Melaksanakan
kuasanya dan bertanggung jawab atas segala biaya, kerugian dan bunga yang
timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa serta wajib menyelesaikan urusan yang
telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal dunia dan dapat
menimbulkan kerugian jika tidak segera diselesaikannya.
1. Bertanggung
jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan atas
kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya.
2. Memberi
laporan kepada penerima kuasa tentang apa yang telah dilakukan serta memberikan
perhitungan tentang segala sesuatu yang diterimanya berdasarkan kuasanya,
sekalipun apa yang diterima itu tidak harus dibayar kepada penerima kuasa.
3. Bertanggung
jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya dalam melaksanakan
kuasanya bila tidak diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai
penggantinya dan bila kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu,
sedangkan orang yang dipilihnya ternyata orang yang tidak cakap atau tidak
mampu.
4. Membayar
bunga atas uang pokok yang dipakainya untuk keperluannya sendiri, terhitung
dari saat ia mulai memakai uang itu, begitu pula bunga atas uang yang harus
diserahkan pada penutupan perhitungan, terhitung dari saat ia dinyatakan lalai
melakukan kuasa.
b.
Kewajiban
Pemberi Kuasa
Memenuhi
perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa menurut kekuasaan yang
telah diberikannya kepada penerima kuasa. Jika sebaliknya (kecuali
disetujuinya), maka pemenuhan beserta segala sebab dan akibat dari
perikatan-perikatan tersebut menjadi tanggung jawab penerima kuasa sepenuhnya.
1. Mengembalikan
persekot dan biaya yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa untuk
melaksanakan kuasanya, begitu pula membayar upahnya bila tentang hal ini telah
diadakan perjanjian, sekali pun penerima kuasa tidak berhasil dalam urusannya,
kecuali jika penerima kuasa melakukan suatu kelalaian.
2. Memberikan
ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian-kerugian yang dideritanya
sewaktu menjalankan kuasanya, asal dalam hal itu penerima kuasa tidak bertindak
kurang hati-hati.
3. Membayar
bunga atas persekot yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa, terhitung mulai
hari dikeluarkannya persekot itu.
Bertanggung
jawab untuk seluruhnya (tanggung renteng/tanggung menanggung) mengenai segala
akibat dari pemberian kuasa terhadap penerima kuasa yang diangkat oleh beberapa
orang pemberi kuasa untuk menyelenggarakan suatu urusan yang harus mereka
selesaikan secara bersama.
E. Berakhirnya
Surat Kuasa
Berdasarkan
Pasal 1813 KUHPerdata, pemberian kuasa berakhir :
1. Dengan
Penarikan Kembali Kuasa Penerima Kuasa;
Pemberi
kuasa bukan hanya dapat menarik kembali kuasanya bila dikehendakinya, tapi
dapat pula memaksa pengembalian kuasa tersebut jika ada alasan untuk itu.
Terhadap pihak ketiga yang telah mengadakan persetujuan dengan pihak penerima
kuasa, penarikan kuasa tidak dapat diajukan kepadanya jika penarikan kuasa
tersebut hanya diberitahukan kepada penerima kuasa. Pengangkatan penerima kuasa
baru untuk menjalankan urusan yang sama menyebabkan penarikan kembali kuasa
atas penerima kuasa sebelumnya terhitung sejak hari (tanggal) diberitahukannya
pengangkatan penerima kuasa baru tersebut.
2. Dengan
Pemberitahuan Penghentian Kuasanya Oleh Penerima Kuasa;
Pemegang
kuasa dapat membebaskan diri dari kuasanya dengan memberitahukan penghentian
kuasanya kepada pemberi kuasa dan pemberitahuan tersebut tidak mengesampingkan
kerugian bagi pemberi kuasa kecuali bila pemegang kuasa tidak mampu meneruskan
kuasanya tersebut tanpa mendatangkan kerugian yang berarti.
3. Dengan
Meninggalnya, Pengampuan Atau Pailitnya, Baik Pemberi Kuasa Maupun Penerima
Kuasa;
Setiap
perbuatan yang dilakukan pemegang kuasa karena ketidaktahuannya tentang
meninggalnya pemberi kuasa adalah sah dan segala perikatan yang dilakukannya
dengan pihak ketiga yang beritikad baik, harus dipenuhi terhadapnya.
4. Dengan
Kawinnya Perempuan Yang Memberikan Atau Menerima Kuasa (sudah tidak
berlaku lagi).
Selain
karena alasan-alasan yang disebutkan dalam Pasal 1813 KUHPerdata, berakhirnya
pemberikan kuasa dapat pula terjadi karena telah dilaksanakannya kuasa tersebut
dan karena berakhirnya masa berlaku atau jangka waktunya.
http://www.hukumacaraperdata.com/tag/surat-kuasa-khusus/
V.
Surat
Gugatan
A.
Pengertian
tentang Gugatan
Menurut RUU Hukum Acara Perdata pada Pasal 1
angka 2, gugatan adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan diajukan ke
pengadilan untuk mendapatkan putusan sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo,
gugatan/tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan
yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah main hakim sendiri
(eigenrichting). Darwan Prinst juga berpendapat bahwa gugatan adalah suatu
permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang
mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya dan harus diperiksa menurut tata
cara tertentu oleh pengadilan serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan
tersebut[15].
B .Bentuk-bentuk surat gugatan
Bentuk gugatan perdata yang dibenarkan undang-undang dalam prakatik dapat dijelaskan sebagai berikut :
Bentuk gugatan perdata yang dibenarkan undang-undang dalam prakatik dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.
Berbentuk lisan
Bentuk
gugatan lisan diatur dalam pasal 120 HIR (pasal 144 RBG) yang menegasakan:
Bilamana penggugat buta huruf maka surat giugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya.
Ketentuan ini dibuat untuk mengakomodasi kepentingan anggota masayarakat buta huruf yang sangat besar jumlahnya pada masa pembentukan ketentuan ini. Ketentuan ini sangat bermanfaat membantu masyarakat buta huruf yang tidak mampu membuat dan memformulasi gugatan tertulis. Mereka dapat mengajukan gugatan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang oleh undang-undang diwajibkan untuk mencatat dan menyuruh catat gugat lisan, dan selanjutnya Ketua PN memformulasinya dalam bentuk tertulis. Selain itu, ketentuan ini melepasakan rakyat kecil yang tidak mampu menunjuk seorang kuasa atau pengacara, karena tanpa bantuan pengacara dapat memperoleh bantuan pertolongan dari Ketua PNuntuk membuat gugatan yang diinginkannya.
Tanpa mengrangi penjelasan diatas, ada pihak yan berpendapat, ketentuan ini tidak relevan lagi. Bukankah tingkat kecerdasan masyarakat sudah jauh meningkat dibanding masa lalu. Namun demikian, memperhatikan luasanya Indonesia, serta tingkat kecerdasan yang tidak merata terutama di pelosok pedesaan, dihubungkan dengan mahalnya biaya jasa pengacara, ketentuan Pasal 120 HIR, dianggap masih perlu dipertahankan dalam pembaruan hukum acara perdata yang akan datang. Terlepas dari hal diatas, terdapat beberapa segia yang perlu dibicarakan mengenai pengajuan gugatan secara lisan. Yang terpenting diantaranya adalah sebagai berikut
2. Bentuk tertulis
Bilamana penggugat buta huruf maka surat giugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya.
Ketentuan ini dibuat untuk mengakomodasi kepentingan anggota masayarakat buta huruf yang sangat besar jumlahnya pada masa pembentukan ketentuan ini. Ketentuan ini sangat bermanfaat membantu masyarakat buta huruf yang tidak mampu membuat dan memformulasi gugatan tertulis. Mereka dapat mengajukan gugatan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang oleh undang-undang diwajibkan untuk mencatat dan menyuruh catat gugat lisan, dan selanjutnya Ketua PN memformulasinya dalam bentuk tertulis. Selain itu, ketentuan ini melepasakan rakyat kecil yang tidak mampu menunjuk seorang kuasa atau pengacara, karena tanpa bantuan pengacara dapat memperoleh bantuan pertolongan dari Ketua PNuntuk membuat gugatan yang diinginkannya.
Tanpa mengrangi penjelasan diatas, ada pihak yan berpendapat, ketentuan ini tidak relevan lagi. Bukankah tingkat kecerdasan masyarakat sudah jauh meningkat dibanding masa lalu. Namun demikian, memperhatikan luasanya Indonesia, serta tingkat kecerdasan yang tidak merata terutama di pelosok pedesaan, dihubungkan dengan mahalnya biaya jasa pengacara, ketentuan Pasal 120 HIR, dianggap masih perlu dipertahankan dalam pembaruan hukum acara perdata yang akan datang. Terlepas dari hal diatas, terdapat beberapa segia yang perlu dibicarakan mengenai pengajuan gugatan secara lisan. Yang terpenting diantaranya adalah sebagai berikut
2. Bentuk tertulis
Gugatan
yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 118 ayat (1) HIR (Pasal 142 RBG). Menurut pasal ini gugatan perdata
harus dimasukkan kepada PN dengan surat permintaan yang ditanda tangani oleh
penggugat atau kuasanya. Memperhatikan ketentuan ini, yang berhak dan berwenang
membuat dan mengajukan guagatan perdata adalah sebagai berikut :
1. Penggugat
sendiri
2. Kuasa
C. Elemen
dan Syarat Surat Gugatan
Secara umum dan teoritis
dalam membuat suatu surat gugatan menurut pandangan doktrina dikenal adanya dua
buah pola penyusunan yaitu[16] :
1.
Substantierings Theorie yaitu dimana teori ini
menyatakan bahwa gugatan selain harus menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi
dasar gugatan, juga harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului
peristiwa hukum dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hokum tersebut. Bagi penggugat
yang menuntut suatu benda miliknya misalnya dalam gugatan tidak cukup hanya
menyebutkan bahwa ia adalah pemilik benda itu, tetapi juga harus menyebutkan
sejarah pemilikannya, misalnya karena membeli, mewaris, hadiah dsb. Teori sudah
ditinggalkan
2.
Individualiserings
Theorie
yaitu teori ini menyatakan bahwa dalam dalam gugatan cukup disebutkan
peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang menunjukkan adanya hubungan hukum
yang menjadi dasar gugatan, tanpa harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang
mendahului dan menjadi sebab timbulnya kejadian-kejadian hokum tersebut. Bagi
penggugat
yang menuntut suatu
benda miliknya, misalnya dalam gugatan cukup disebutkan bahwa ia adalah pemilik
benda itu. Dasar terjadinya atau sejarah adanya hak milik atas benda itu
padanya tidak perlu dimasukan dalam gugatan karena ini dapat dikemukakan di
persidangan. pengadilan dengan disertai bukti-bukti. Teori ini sesuai dengan
system yang dianut dalam HIR/Rbg, dimana orang boleh beracara secara lisan,
tidak ada kewajiban menguasakan kepada ahli hukum dan hakim bersifat aktif.
Berdasarkan ketentuan pasal 8 ayat 3 Rv maka syarat-syarat surat
gugatan berisikan aspek-aspek sebagai berikut[17] :
Syarat-syarat
surat gugatan
1.
Ditujukan (dialamatkan) kepada PN sesuai kompetensi relative
Surat
gugatan secara formil harus ditujukan dan dialamatkan kepada PN sesuai dengan
kompetensi relatif. Harus tegas dan jelas tertulis PN yang dituju, sesuai
dengan patokan kompetensi relatif yang diatur dalam Pasal 118 HIR. Apabila
surat gugatan salah alamat atau tidak sesuai dengan kompetensi relatif :
-
Mengakinatkan gugatan mengalami cacat
formil , karena gugatan disampaikan dan dialamatkan kepada PN yang berada di
luar wilayah hukum yang memeriksa dan mengadilinya.
-
Dengan demikian gugatan dinyatakan tidak
dapat diterima (niet onvankelijke verkland) atas alasan hakim tidak berwenang
mengadili
2. Diberi Tanggal
Bertitik
tolak dari ketentuan pasal 118 ayat (1) HIR dihubungkan dengan pengertian akta
sebagai alat bukti pada dasarnya tidak mewajibkan pencantuman tanggal sebagai
syarat formil. Oleh karena ditinjau dari segi hukum :
1. Pencantuman
tanggal, tidak imperatif dan bahkan tidk merupakan syarat formil surat gugatan
2. Dengan
demikian, kelalaian atas pencantuman tanggal, tidak mengakbatkan surat gugatan mengandung
cacat formil
3. Surat
gugatan yang tidak mencantumkan tanggal, sah menurut hukum, sehingga tidak
dapat dijadikan dasar untuk menyataka gugatan tidak dapat diterima.
Namun
demikian, sebaikanya dicantumkan guna menjamin kepastian hukum atas pembuatan
dan penandatanganan surat gugatan, sehingga apabila timbul masalah
penandatanganan surat gugatan berhadapan dengan tanggal pembuatan dan penanda
tanganan surat kuasa , segera dapat diselesaikan.
3.
Ditandatangani penggugat atau Kuasa
1.
Tanda tangan ditulis dengan tangan sendiri.
2.
Cap jempol disamakan dengan tanda tangan dengan berdasarkan St. 1919-776
4.
Identitas para pihak
Penyebutan
identitas dalam surat gugatan, merupakan syarat formil keabsahan gugatan. Surat
gugatan yang tidak menyebut identitas tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah
dan dianggap tidak ada. Syarat identitas yang harus disebut dalam surat gugatn
bertitik tolak dari ketentuan pasal 118 ayat (1) HIR, identitas yang harus
dicantumkan cukup memadai sebagai dasar untuk
Menyampaikan panggilan atau Menyampaikan pemberitahuan.
Menyampaikan panggilan atau Menyampaikan pemberitahuan.
Dengan
demikian, oleh karena tujuan utama pencantuman identitas agar dapat disampaikan
panggilan dan pemberitahuan, identitas yang wajib disebut, cukup meliputi :
a. Nama
Lengkap
-
Nama terang dan lengkap, termasuk gelar
atau Alias (jika ada)
-
Kekeliruan penyebutan nama yang serius.
-
Penulisan nama tidak boleh didekati
secara sempit atau kaku (Strict Law) tetapi harus dengan lentur (Flexible)
-
Penulisan nama perseroan harus lenkap
dan terang
-
Alamat atau tempat tinggal
-
Penyebutan identitas lain tidak imperative
5.
Fundamentum Petendi
Fundamentum
petendi berarti dasar gugatan atau dasar tuntutan (grondslag van de lis). Dalam
praktik peradilan terdapat beberapa istilah yang akrab digunakan, antara lain
1. Positum
atau bentuk jamak disebut posita gugatan, dan
2.
Dalam bahasa Indonesia disebut dalil gugatan.
a.
unsur fundamentum petendi
Fundamentum
petendi yang dianggap lengkap memnuhi syarat, memuat dua unsur:
1)
Dasar hukum (Rechtlijke Grond)
Memuat penegasan atau penjelasan
mengenai hubungan hukum antara:
i. Penggugat dengan materi dan atau objek yang disengketakan, dan
ii. Antara penggugat dan tergugat berkaitan dengan materi atau objek sengketa
i. Penggugat dengan materi dan atau objek yang disengketakan, dan
ii. Antara penggugat dan tergugat berkaitan dengan materi atau objek sengketa
2) Dasar fakta (Feitelijke Grond)
Memuat
penjelasan pernyataan mengenai :
§ Fakta atau
peristiwa yang berkaitan langsung dengan atau disekitar hubungan hukum yang
terjadi antara penggugat dengan materi atau objek perkara manapun dengan pihak
tergugat.
§ Atau penjelasan fakta-fakta yang langsung berkaitan dengan dasar hukum atau hubungan hukum yang didalilkan penggugat
§ Atau penjelasan fakta-fakta yang langsung berkaitan dengan dasar hukum atau hubungan hukum yang didalilkan penggugat
b.
Dalil gugat yang dianggap tidak mempunyai dasar hukum
Beberapa masalah dalil gugatan yang dianggap tidak memenuhi atau tidak memiliki landasan hukum:
Beberapa masalah dalil gugatan yang dianggap tidak memenuhi atau tidak memiliki landasan hukum:
i. Pembebasan
pemidanaan atas laporan tergugat, tidak dapat dijadikan dasar hukum menuntut
ganti rugi
ii. Dalil gugatan brdasarkan
perjanjian tidak halal
iii.
Gugatan tuntutan ganti rugi atas
pebuatan melawan hukum (PMH)
iv.
Dalil gugatan yang tidak berdasarkan
sengketa, dianggap tidak mempunyai dasar hukuman
v.
untutan ganti rugi atas sesuatu hasil
yang tidak dirinci berdasarkan fakta dianggap gugatan yang tidak mempunyai
dasar hukum.
vi.
Dalil gugatan yang mengandung saling
pertentangan
vii.
Hak atas objek gugatan tidak jelas
6. Petitum Gugatan
Supaya
gugatan syah dalam arti tidak mengandung cacat formil harus mencatumkan petitum
gugatan yang berisi pokok tuntutan penggugat berupa deskripsi yang jelas
menyebut satu-persatu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi
pokok tuntutan penggugat yag harus dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat .
Dengan arti lain petitum gugatan berisituntutan atau permintaan trhadap
pengadilan untuk dinyatakan dan ditetapkan sebagai hak penggugat atau hukuman
kepada tergugat atau kepadakedua belah pihak.
Cara penyusunan surat gugatan
Cara penyusunan surat gugatan
a. Substantiaring
Theorie
Menghendaki
agar penyusunan suatu surat gugatan itu menguraikan secara jelas dan nyata
peristiwa-peristiwa hukum yang mendahuluinya.
b. Individualstering
Theorie
Menghendaki
kejadian-kejadian yang disebutkan dalam surat gugatan cukup menunjukkan adanya
hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan, tidak perlu kejadian yang
mendahului diuraikan dalam surat gugatan karena dapat dikemukakan pada sidang
tahap pembuktian.
VI.
Surat
Jawaban, Masuknya pihak ke-3 & Sita Jaminan
Surat
jawaban adalah suatu hal yang penting dalam hukum acara perdata dalam hal ini
kita bisa melihat bahwa bahwa tahapan in dilakukan oleh tergugat, dari tututan
hak yang diberikan oleh penggugat pada dirinya dan tahap selanjutnya adalah
replik dan duplik dalam hal ini penulis akan membahas mengenai isiny dan
dasar-dasar yang ada pada surat jawaban ini.
Walaupun sebenarnya dalam surat
jawaban itu sebaenar tidak ada keharusan di dalamnya dalam bentuk tertulis
ataupun lisan didalamnya, dalam hal ini hanaya ada diatur dalam pasal 121 ayat 2 HIR(pasal 145 ayat 2
Rbg) hanya menentukan bahwa tergugat dapat menentukan bahwa tergugat dapat
menjawab baik secara tertulis maupun lisan[18].
Dalam jawaban di dalamnya biasanya
di bagi menjadi 2 bagian utama dalam jawaban ya saaat ini ,untuk menjawab dalam
hal ini:
1. Jawaban
yang tidak lansung mengenai pokok perkara: isinya dialamnya mengenai eksepsi/
tangkisan/ Keberatan[19]
2. Jawaban
langsug mengenai pokok perkara: yang isinya mengenai pengakuan dan/atau
penyangkalan dan/atau Referte (verweer
ten principale)
Dalam
bahasan sealnjutanya akan dibahas mengenai isi bantahan yang ada pada bantahan
tidak langsung yang biasa disebut eksepsi
yang iatur dalam pasal 136 HIR, dan menurut KBBI ( Kamus Besar Bahasa
Indonesia) adalah sebagai berikut pengecualian; 2 Huk tangkisan
atau pembelaan yg tidak menyinggung isi surat tuduhan (gugatan), tetapi berisi
permohonan agar pengadilan menolak perkara yg diajukan oleh penggugat krn tidak
memenuhi persyaratan hukum: dl perkara itu pembela mengajukan -- kpd jaksa
krn terdakwa menderita penyakit jiwa. Dalam hal ini kita bisa melihat
bahwa di dalamnya dalam hal ini eksepsepsi dibagi menjadi 2 pokok lagi , yaitu
dalam hal ini , yaitu :
1. Eksepsi
prosesuil; adalah eksepsi
yang didasarkan pada Hukum Acara Perdata pada dasarnya bisa dikatakan bahwa di dalamnyaa mengenai
hal-hal yang bersifat formilnya. Termasuk dalam eksepsi ini misalnya:
- eksepsi yang menyatakan hakim tidak berwenang
memeriksa gugatan yang diajukan penggugat dalam hal ini dapat dibagi menjadi dua hal lagi ,
yaitudalam kompetensi relatif yang di atur dalam pasal 118 HIR[20]
dan dalam hal ini kewenangan absolut yang diatur dalam pasal 134 HIR[21];
- eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang diajukan
penggugat sudah pernah diputuskan oleh hakim; (Nebis in indem)
- eksepsi yang menyatakan bahwa penggugat tidak
mempunyai kedudukan sebagai penggugat (eksepsi
diskualifikasi);
- dan sebagainya.
2. Eksepsi
materiil
Eksepsi materiil adalah eksepsi
yang didasarkan pada hukum Perdata Materiil. Termasuk dalam eksepsi ini, antara
lain adalah :
- eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan
penggugat belum sampai waktunya untuk diajukan (dilatoire
exceptie), jadi eksepsi yang bersipat menunda;
- eksepsi yang bersifat menghalangi
dikabulkannya gugatan penggugat (paremtoire excepsi), misalnya
eksepsi yang menyatakan bahwa piutang yang dituntut oleh penggugat sudah
hapus karena pembebasan atau karena kopensasi pembayaran.
Ada beberapa contoh yang konkrit
dalam yang sering terjadi dalam sehingga
tergugat melakauakaan eksepsi.
·
Gugatan
yang diajukan pada pengadilan yang tidak berwewnang untuk mengadilai perkara
tersebut, contohnya: Tergugat berdomisil di jakarata selataan , anamun
gugatanya dimasukan ke pengadilan di Jakarta barat.
·
Gugataan
salah alamat, karena dari gugatan dan juga didalam sana tidak punya hubungan
hukum,contohnya A(penggugat) dan B (tergugat) A melakauakan perjanjian pinjam
pakai kepada C, namun uangnya diapakai oleh B, namun B digugat A karena C tidak
mau bertanggung jawab.
·
Penggugat
bukan kualitasnya untuk menggugat, contohnya:A melakukan perjanjian pinjam
pakai dengan B. karena A sakit, lalu C sebagaai sahabat karib A menggugat C
agar mebayar hutangnya
·
Perkara
tidak jelas, contohnya dalam hal ini
seharusnya gugatanya wanprestasi tetapi disini isinya menegenai wanprestasi
·
Penggugat
telah memberi tambahan jangka waktu tambahan, contohnya : A sebagai penggugat
memeberi waktu tambahan kepada B untuk melunasi hutangya , jadi hurtangya belum
dapat di gugat karena dalam hal ini tuntutan belum dapat dipenuhi.
Dalam
bagian ini kita bisa melihat bahwa di dalamnya mengenai eksepsi di dalamanaya
dibahas ,mengenai hal –hal di
dalamnya adaalaha sebai berikut:
1. Eksepsi dapat dialakauakan kapanpun
selama pengadilan tingkat pertama berlangsung
2. Tergugat dapat menyatakan/ menagjuakan
eksepsi saat pemeriksaan sesudah dan sebelum putusan diajukan.
Di dalam gugatan dalam kompetensi
absolut dapat dilkukan setiap saat di dalamnya, namun dalam hal ini juga bisa
hakim menyataakan bahawa ia tidak berwenang untuk mengajukan perkara dengan
bilamana; perkara yang diajukan di dalamanya jika di luar dari kewenangan nya
dan hakim juga menyatakan diri secara ex-officio
yang menyatakan bahwa dirinya tidak berwewnang dalam memerriksa hal tersebut.
Jawaban langsug terhadap surat gugtatan biasanya
disebut dengan konvensi.Dalam Konvensi isinya biasanya adalah tentang pengakuan
dan/atau penyangkalaan dan/atau referte. Istilah konvensi sebenarnya merupakan
istilah untuk menyebut gugatan awal atau gugatan asli. Istilah ini memang
jarang digunakan dibanding istilah gugatan karena istilah konvensi baru akan
dipakai apabila ada rekonvensi (gugatan balik tergugat kepada penggugat). Di
dalam penjelasan Yahya Harahap (hal. 470), Anda dapat menemukan bahwa ketika
penggugat asal (A) digugat balik oleh tergugat (B) maka gugatan A disebut
gugatan konvensi dan gugatan balik B disebut gugatan rekonvensi.
Contohnya konpensi:
§ Pengakuan dalam hal ini, jika A
berhutang dengan B sebesar 1 milyar rupiah, maka A menagkui hal tersebut bahawa
hal itu benar adanya.
§ Penyangkalan dalam hal ini , Jika
Aberhutang dengan B sebesar 20 Milyar, maka B menyangkal bahwa hutangnya hanya
18 milyar, dan 2 milayr lagi adalah bunga yang ada di hutang tersebut
§ Referte dalam ha ini , tergugat
menajawab seperti tidak menjawab ia atau tidak tapi seperti tidak tahu , jadi
rfete seperti kondisi tidak menajawab tetapi masuk kedalam jawaban yang ada
pada surat jawaban.
Dalam
jawaban selain konpensi juga ada yang anamanya rekopensi , seperti yang ada
pada gambar diatas, digambarkan begitu. Menurut M. Yahya
Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 468) istilah (gugatan)
rekonvensi diatur dalam Pasal 132a HIR yang maknanya rekonvensi adalah
gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang
diajukan penggugat kepadanya. Dalam penjelasan Pasal 132a HIR
disebutkan, oleh karena bagi tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan
gugatan melawan, artinya. untuk menggugat kembali penggugat, maka tergugat itu
tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan memajukan
gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya terhadap gugatan
lawannya.
Pada asasnya gugatan balasan dalam
hal ini dapat diajukan dalam setiap
perkara pengecualianya adalah dalam 4
hal yang disebut dalam 132a HIR[22],
ialah:
1. Jika penggugat dalam gugat asal
mengenai sifat , sedang gugat balasan
itu mengenai dirinya sendiri sendiri dan sebaliknya;
2. Jika pengadilan negeri,kepada siapa
gugat asal itu dimasukan ,tidak berhak ,oleh karena berhubung dengan pokok
perselisiahan, memerikasa guagatan asal;
3. Dalam perkaranya perselisiahan
tentang menjalankan putusan;
4. Jika dalam pemeriksaaab tingkat
pertama tidak dimasuakan gugatan balasan, maka dalam tingkat banding tidak boleh memajukan gugatan balasan
Manfaat dari rekovensi:
1. Menghemat biaya
2. Mempermudah prosedur pemeriksaan
3. Mempercepat penyelesaian sengketa
4. Menghindarkan putusan yang bersifat
saling bertentangan
Masuknya
pihak ke-3 di dalam hukum acara perdata
yang biasanya didalamnya bukan hanya penggugat dan juga bukan bagian
tergugata jadi dalam hal ini pihak ke-3 bisa masuk kedalam suatu sengketa ada
beberapa jenis di dalamanya,yaitu:
a. Intervensi
b. Vrijwaring
: atau bisa di bialang pihak penjamin
c.
Derdenverzet: perlawanana dari pihak ke-3 agar dia
tidak dirugikan
Dalam
hal intervensi dalam hal ini kita bisa melihat bahawa makna dari kata
intervensi adalah masuknya pihak ke-3 karena suatu hal tertentu, artiny jadi
dalam hal ini pihak ke-3 disini masuk kedalam suatu kasus tau sengketa perdata
atas keinginanya sendiri dalam hal ini tanpa ada paksaan dari pihak-pihak lain
yang berpekara didalamnya. Jenis-jenis berpekara di dalamnya ada beberapa jenis ,yaitu:
·
Voeging adalah masuknya pihak ke-3
mencampuri sengketa yang sedang berlangsung
anatara tergugat dan penggugat dengan bersiakap memeihak pada salah satu
pihak saja atau bisa di bilang dalam hal ini ia menggabungkan dirinya dengan salah
satu pihak saja di dalamnya, hal ini diataur di pasal 279-282 BRv.
·
Tussenkomst dalam hal ini ini masuknya pihak
ke-3 di dalamnya mengenai hal denagan ini adalah pada saaat perkara atau sengketa tersebut di
dalamnaya , namun dalam hal ini si pihak ke-3 di dalamanya tidak memihak ke
pihak mana pun , pihak tergugat ataupun pihak penggugat ,jadi posisinya dari
hal ini pihak ke-3nya ada di tengah-tengah dan juga tidak memihak manapun ,jadi
dalam hal ini adalah pihak ke-3 dari adalah membela kepentinganya sendiri.
Vrijwaring seperti yang ada di atas bahwa pihak
ke-3 disini adalah sebagai penjamin jadi di dalamanya dalam status ini kita
bisa melihat bahwa, di dalam sengketa atau suatu perkara ikut sertanya pihak ke-3 karena bukan dari
keinginan dirinya sendiri , anamun karena kemauan dari pihaknya sendiri sesudah
maupun sebelum dari perjanjian itu lahir di dalamnya . Biasanya dalam hal ini
,penjamin adalah jaminan orang untuk menjamin suatu hutang tertentu hal ini
diatur dalam pasal 70-76 BRv.
Derdenverzet adalah masuknya pihak ke-3 karena suatu hal
,untuk memebela dirinya sendiri dalam hal ini
iya disini dalam hal ini, ia membelan dirinya sendiri dalam hal ini
karena ia merasa dirugikan dalam hal adanaya sengketa antara pihak tergugat dan
pihak penggugat. Hal ini merupakan adalah upaya hukum luar biasa ,hal ini
disebut demikian karena pada dasarnya adalah suatu putusan dalam asasnya dalam
hal ini adalah mengikat pihak-pihak yang berperkara saja (pasal 1917
KUHPerdata), namun pihak ke-3 dalam hal ini adalah bisa kita lihat adalah
kepentingan pihak ke-3 jika dirugikan dalam putusan ini adalah dapat mengajukan
perlawanan terhadap putusan tersebut.
Replik
dalam hukum acara perdata adalah dalam hal ini adalah tahapan dalam beracara
setelah mendapatakan surat jawaban dari tergugat kepada penggugat, jadi dalam
hal ini pihak penggugat perlu membalas
surat jawaban itu ,karena itu dalam hal
ini replik itu penting.
Duplik
adalah sauatu balasan yang dilakuakan oleh tergugat untuk membalas dari repliek
yang di berikan ,agar hakim dapat meliahat dahlil yang diajukan oleh terggugat
.
Sita jaminan adalah suatu tindakan hukum yang
sah di mata hukum, hal ini adalah
dialakauakan di depan pengadilan tempat dajukan gugatan atas suatu
barang ,barangnya bisa barang bergerak, maupun tidak bergerak, dan berwujud
maupun tidak berwujud. Baik barang yang dimiliki atau pun arang yang tidak
dimiliki oleh pihak yang mengajukan sita dari hal tersebut, kesimpulanya adalah
siata jamian adalah tindakan dalam hukum yang memeiliki suatu tujuan untuk menajamin dari hal pelaksanaan dari suatu
putusan penagdialan.hal ini juga diatur dalam pasal 227 ayat(1)[23].
Untuk siata jamaiana barang bergrak adalah baraang yang harus dista terlebih dahula sebelum
benda tak bergerak , sesuai dengan peraturan dalam pasal 197 ayat (1) HIR[24],
dan peraturan yang lebih lengkapanya da
di dalam pasal 197-199 HIR.
Jenis-jenis
sita jaminan:
1. Conservatoir Beslag diatur dalam pasal 227 HIR [25]
jenis sita yang dapat dilakauak untuk jenis benda apapun.
2. Revndicatoir
Beslag daitur
dalam pasal 226 HIR, merupaka sita jaminan yang dikuka terhadap barang
penggugat yang dikuasai oleh tergugat.
3. Maritale
Beslag daiatur
dalam pasal 823a BRv hal ini adala siata dalam pernikahan yang biasaya
dilakauakan oleh istri agar barang-barang dalam pernikahan dapat diamankan smapai
putusan pengadilan.
4. Pand
Beslag diatur
dalam pasal 751a BRv , adalah sita yang dimintakan oleh oleh seorang pemilik
rumah yang menyewakan rumahanya , untuk menyita perabotan di dalam rumah yang
ia sewakan untuk sebagai jaminan untuk membayar harga sewaan yang perlu
diabayar.
5. Vergelijkende
Beslag diatur
dalam pasal 463 BRv , dalah permintaan sita yang dapat diakukan oleh pihak yang
telah permintaan siata pertamanaya dikabulkn oleh pengadilan dan telah dilaksanakan.yang ia dapat
hanayalah sisa hak dari yang belum diterima oleh penggugat
Persamaan
pokok dari sita jaminan dan sita
ekseutorial, yaitu
·
Pada
saat pelaksaan siata dimulai dari barang bergerak,pengecualianaya jiaka pada
barang yang di persengketakan adalah abrang tetap maka pada sita jaminan dapat
alngsung dilakukan.
·
Pelakasanaannya
dan tata cara pada sita ajaaiana dan sita eksekutorial adalah sama diatur dalam
pasal 197 ayat(2),(5),dan(6) HIR.
·
Terdapat
pendafataran dari berita acara penyitaan dari keduanaya jenis tersebut diatur
dala pasal 198 HIR
·
Terdapat
larangan memindah tanagan kan/menyewkan/memperjualbelikan/mengalihakan barang
sitaan dan hal tersebut diatu dalam pasal 199 HIR
·
Terdapat
laranagan terhadap barang-barng yang dita adalah, hewan dan perkakas yang
benar-benar digunakan untuk
menjalan sauatu usaha untuk mecari
nafkah, diatur dalam pasal 197 ayat(8) HIR.
Perbedaan dari sita jaminan dan sita
eksekutorial adalah:
·
Tujuan
pada sita jamian adalah untuk menjamin
gugatan sebelum puutusan BHT(berkeuatan hukum tetap), sedangakan sita
eksekutorial dilakauakan untuk menjalakan putusan BHT(berkekuatan hukum tetap).
·
Waktu
pelaksaanaan dalam sita jaminan sebelum dari putsan BHT sedangakan dalam sita
eksekutorial dilakukan setelah putusan BHT(berkekuatan hukum tetap)
·
Kewanagan
pelaksaanan siata jamina ditangan pada
KMH(ketua majelis hakim), dalam sita eksekutorial kewenaganya pada KPN (ketua
pengadilan negeri)
VII.
Pembuktian
Pembuktian adalah hal yang
terppenting dalam hukuam acara karena pembuktian sifatnya amat penting satu
sisi untuk hakim melihat apakah dahlil-dahlil yang diajukan para pihak benar
atau tidak adanya. Semua oaring pihak ayang mendahlilkan bahwa ia memilki
sesuatu hak,atau guna untuk memperkuat dari haknya tersebut ataupun
membantah suatu hak pihak lain,
memperlihatakan suatu poeritiwa,dan hal tersebut diwajibkan adanya hak atau
suatu peristiwa hukum tertentu(pasal 163 HIR)[26]dan
pasal 1865 KUHPerdata. Lalu ada beberapa doktrin yang berpendapat menegenai
pembuktian.
1. Prof..Dr.
Sudikno Mertokusumo,S.H.,M.H. dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia.
·
Arti logis memberi kepastian yang mutlak
,karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan
·
Arti Konvensional , memeberi kepastian
nisbi atau relative yang mempunyai tindakan-tindakan ,yaitu:
(1) Kepastian
yang di dasarkan atas perasaan belaka. Dalam hal ini bersifat intutif,disebut conviction in time.
(2) Kepastian
yang didasarakan atas pertimbangan akal ,biasa disebut oleh Conviction raisonnee
·
Arti yuridis maaksutnya dsii adalah sifat oembuktian yang
memilki sifatnya konvensionalyang
bersifat khusus. Dalam hal tersebut sifatnya dalah historis adalah hal-hal yang dimaksut disini secara concreto. Dengan tujuan untuk memeberi
dasar yang cukup kepada hakim untuk memutus perkara yang bersangkutan agar kepastian nya terjamin
dari peristiwa hukum tersebut yang diajuakan . hali ini berlakau bagi
pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dan hal ini diatur di dalam
pasal 162- 177 HIR dan 1865- 1945 KUHPerdata.
Objek
dalam pembuktian diatur dalam pasal 178
ayat (3). Dalam hal pemeriksan ini objek yang ada dalam pembuktian adalah
“peristiwanya” yangharus dicari
kebenaranya , lalu di dalam kebenaran perlu diacari kevenaran formilnya dalama
tahap ini kita bisa melihat bahwa di dalam peristiwa formil, maksutnya disini
adalah hakim sebagai pemeriksa dan juga
pemutus harus melampaui batas-batas yang
diajuakan oleh berpekara . hakim cukup
membuktikan dengan “preponderance of evidence” saja sebagai diatur dalam pasal 178 ayat (3) HIR[27]
Pihak
yang mebuktiakan dalam pembuktian adalah
penggugat tergugat dan tergugat sebagai
pihaknya masing-masing yang dapat
melakukan pembuktian secara aktif dlam hal ini
diatur dalam pasal 163 HIR[28]
yang intinya menagatakaan bahawa “ siapa yang mendahlilkan dia yang
mebuktikanya”.
Pembuktian
dalam teori yang ada pada di buku yang ditulis oleh Ny.Retnowulan Suntantio,S.H
dan Iskandar Oeripkaratwinata,S.H.. yang
berjudul”Hukum acara perdata dalam teori
dan praktek” mengatakan di dalamnyta
terdapat 3 macam kekuatan pembuktian dai dalam pembuktian dalam hukum acara
perdata, yaitu:
1. Teori
Pembuktian bebas , yang isinya mengatakan bahwa
tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengharuskan hakim untuk sehingga penilaian pembuktian itu seberapa dapat di serahkan
kepadanya.
2. Teori
Pembuktian negative : merupakan teori yang membatasai pada larangan
kepada hakim untuk melakukan
sesuatu yang ada hubungan dengan pembuktian
dengan kata lain bisa di bilang adalah , hakim hanay dilarang dengan
pengecualianya . hal diatur dalam pasal
169 HIR jo. Pasal 306 Rbg jo. Pasal 1905 KUHPerdata.
3. Teori
pembuktian positif , maksutnya dalam hal ini adalah teori yang menyatakan bahwa d dalamanya bisa
kita melihat dalam hal ini menghendaki
perintah bagi hakim . Artinya dalam hal ini adalah hakim mewajibkan dengan syarat dalam hal ini diatur dalam pasal 165 HIR jo. Pasal 285 Rbg
jo. Pasal 1870 KUHPerdata.
Macam-macam
alat buti dalama hukum cara perdata di Indonesia daiatur dala HIR ,yaitu dala
pasal 164 HIR[29]
di dalam diatur ada 5 jnis alat bukti, yaitu;
1. Bukti
surat
2. Bukti
skasi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Bukti
sumpah
1.
Alat Bukti Tertulis (Surat)
Orang
yang melakukan suatu hubungan hukum dalam perdata, pastilah dengan sengajanya
atau pun tidak membuat suatu alat bukti
berbentuk tulisan dengan maksutnya agar
dapat digunakan atau dijadikan bukti kalau sewaktu-waktu dibutuhkan.
Sebagai contoh: sewa menyewa, jual beli tanah dengan menggunakan akta, jual
beli menggunakan kuitansi, dan lain sebagainya. Sebelum kami membahas secara
mendalam, perlulah dilihat bentuk kerangka surat atau alat bukti tertulis
dibawah ini:
Akta
adalah surat yang dibubuhi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang
menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan dan dibuat di depan ataupun
oleh pegawai umum atau pejabat pembuat akta tanah itu sendiri, yang dibuat
sejak pemula dengan sengaja untuk pembuktian. Unsur paling penting terkait
dengan pembuktian adalah tanda tangan. Barang siapa yang telah menandatangani
suatu surat dianggap mengetahui isinya dan bertanggung jawab. Syarat
penandatanganan dapat kita lihat pada pasal 1874 B.W..
Akta
autentik adalah akta yang dibuat dalam
bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang
untuk itu ditempat akta dibuat’ (ps. 1868 KUH Perdata).
Dari
penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat oleh atau
dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Apabila yang
membuatnya pejabat yang tidak cakap – tidak berwenang atau bentuknya cacat maka
menurut Pasal 1869 KUH Perdata : akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi
syarat formil sebagai akta otentik; namun akta yang demikian mempunyai nilai
kekuatan sebagai akta dibawah tangan[30].
Sedangkan
akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh
para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara
para pihak yang berkepentingan.[31]
Akta
dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang mana menurut pasal
diatas, akata dibawah tangan ialah :
a)
Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan,
b)
Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.
c)
Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh
paling sedikit dua pihak.
Akta
pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk
dalam akta dibawah tangan yang bersifat partai, tetapi merupakan surat pengakuan
sepihak dari tergugat.[32]
Oleh karena bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka penilaian dan
penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata. Dengan demikian
harus memenuhi syarat :
- Seluruh isi akta harus ditulis
dengan tulisan tangan si pembuat dan si penandatangan;
- Paling tidak, pengakuan tentang
jumlah atau objek barang yang disebut didalamnya,ditulis tangan sendiri
oleh pembuat dan penanda tangan.
Selanjutnya ada penambahan alat bukti tertulis yang
sifatnya melengkapi, tetapi membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti
aslinya, diantaranya adalah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat
bukti yang fotokopi. Namun kembali ditegaskan lagi kesemuanya alat bukti
pelengkap tersebut membutuhkan penunjukan barang aslinya.[33]
Berikut kami pun memberikan contoh yang diambil dalam sebuah buku Teori dan
Praktik Peradilan Perdata di Indonesia oleh Dr. Wahju Muljono, S.H., Kn.:
Contoh Penyusunan
Bukti tulis – sederhana
NO.
DAFTAR BUKTI-BUKTI TERTULIS PEMBANTAH DALAM
PERKARA PERDATA DI BAWAH NO……./PDT/BANT/……./PN.BDG
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
= = = = = = = = = = = = = = = = = = =
P –
1 :
Surat No. 230/PC-BD/BDG/VI/…..tanggal …………….. . dari Bank ………. . Cabang Bandung
kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional 1 Kotamadya Bandung, perihal: Roya
Hipotek; (oleh Pd BPN)
P –
2 :
Akta Jual Beli No. ……./ …/Coblong/ …….tanggal …………….. . Notaris/PPAT………………………..
P –
3 :
Akta Jual Beli No. …../ …/Coblong/…….tanggal ………………………
P –
4 :
Sertifikat Hak Milik No. …../ Kel. Sekeloa, G.S. No. ……. Tanggal ……………..Seluas
….m2, setempat di kenal sebagai Blok Bangbayang Jl. ………………… Kotamadya Bandung,
Wilayah Cibeunying, Kecamatan Coblong, Kelurahan Sekeloa, atas nama ………………….. .
P –
5 :
Sertifikat Hak Milik No. ……./ Kel. Sekeloa, G.S. No. ……. Tanggal 27-6-1983
Seluas ….m2, setempat dikenal sebagai Blok Ciheulang Kotamadya Bandung, Wilayah
Cibeunying, Kecamatan Coblong, Kelurahan Sekeloa, atas nama………………….. .
Disampaikan dengan hormat oleh
Kuasa Pembantah,
2.
Alat Bukti Saksi
Kesaksian
adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa
yang dipersengketakan dengan cara pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh
orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam
persidangan.[34]
Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah
ia alami/nyata sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh dengan
cara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu yang disebut dengan kesaksian.
Penerapan
pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi ”pembuktian
dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”.
Jadi prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa
perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan
dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.
Alat
bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR merupakan
kewajiban para pihak pihak yang berperkara.Namun, apabila pihak yang
berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara sukarela, meskipun telah
berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang bersangkutan sangat relevan,
menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat menghadirkannya sesuai dengan tugas
dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan merupakan tindakan unproffesional
conduct.
Saksi
yang tidak datang diatur dalam Pasal 139-142 HIR, di mana saksi yang tidak
datang, para pihak dapat meminta kepada Pengadilan Negeri untuk menghadirkannya
meskipun secara paksa, karena kesaksian di butuhkan (Vide Pasal 141 ayat (2)
HIR).
Syarat-syarat
alat bukti saksi adalah sebagai berikut:[35]
a)
Orang yang Cakap
Orang
yang cakap adalah orang yang tidak dilarang menjadi saksi menurut Pasal 145
HIR, Pasal 172 RBG dan Pasal 1909 KUH Perdata antara lain, pertama keluarga
sedarah dan semenda dari salah satu pihak menurut garis lurus, kedua suami
atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai (Vide Putusan MA
No.140 K/Sip/1974. Akan tetapi mereka dalam perkara tertentu dapat menjadi
saksi dalam perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (2) HIR dan Pasal
1910 ayat (2) KUH Perdata. Ketiga anak-anak yang belum cukup berumur 15
(lima belas) tahun (Vide Pasal 145 ke-3 HIR dan Pasal 1912 KUH Perdata), keempat
orang gila meskipun terkadang terang ingatannya (Vide Pasal 1912 KUH
Perdata), kelima orang yang selama proses perkara sidang berlangsung
dimasukkan dalam tahanan atas perintah hakim (Vide Pasal 1912 KUH Perdata).
b)
Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan
Alat
bukti saksi disampaikan dan diberikan di depan sidang pengadilan, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 144 HIR, Pasal 171 RBG dan Pasal 1905 KUH Perdata.
Menurut ketentuan tersebut keterangan yang sah sebagai alat bukti adalah
keterangan yang disampaikan di depan persidangan.
c)
Diperiksa Satu Persatu
Syarat
ini diatur dalam Pasal 144 ayat (1) HIR dan Pasal 171 ayat (1) RBG. Menurut
ketentuan ini, terdapat beberapa prinsip yang harus dipenuhi agar keterangan
saksi yang diberikan sah sebagai alat bukti. Hal ini dilakukan dengan cara, pertama
menghadirkan saksi dalam persidangan satu per satu, kedua memeriksa
identitas saksi (Vide Pasal 144 ayat (2) HIR), ketiga menanyakan
hubungan saksi dengan para pihak yang berperkara.
d)
Mengucapkan Sumpah
Syarat
formil yang dianggap sangat penting ialah mengucapkan sumpah di depan
persidangan, yang berisi pernyataan bahwa akan menerangkan apa yang sebenarnya
atau voir dire, yakni berkata benar. Pengucapan sumpah oleh saksi dalam
persidangan, diatur dalam Pasal 147 HIR, Pasal 175 RBG, dan Pasal 1911 KUH
Perdata, yang merupakan kewajiban saksi untuk bersumpah/berjanji menurut
agamanya untuk menerangkan yang sebenarnya, dan diberikan sebelum memberikan
keterangan yang disebut dengan ”Sistim Promisoris”.
e)
Keterangan Saksi Tidak Sah Sebagai Alat Bukti
Menurut
Pasal 169 HIR dan Pasal 1905 KUH Perdata, keterangan seorang saksi saja tidak
dapat dipercaya, sehingga minimal dua orang saksi (unus testis nullus
testis) harus dipenuhi atau ditambah alat bukti lain.
f)
Keterangan Berdasarkan Alasan dan Sumber Pengetahuan
Keterangan
berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan diatur dalam Pasal 171 ayat (1) HIR
dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata. Menurut ketentuan ini keterangan yang
diberikan saksi harus memiliki landasan pengetahuan dan alasan serta saksi juga
harus melihat, mendengar dan mengalami sendiri.
g)
Saling Persesuaian
Saling
persesuaian diatur dalam Pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH Perdata. Dalam
ketentuan ini ditegaskan bahwa, keterangan saksi yang bernilai sebagai alat
bukti, hanya terbatas pada keterangan yang saling bersesuain atau mutual
confirmity antara yang satu dengan yang lain. Artinya antara keterangan
saksi yang satu dengan yang lain atau antara keterangan saksi dengan alat bukti
yang lain, terdapat kecocokan, sehingga mampu memberi dan membentuk suatu
kesimpulan yang utuh tentang persitiwa atau fakta yang disengketakan.
3.
Bukti Persangkaan
Menurut
Prof. Subekti, S.H., persangkaan adalah suatu kesimpulan yang diambil dari
suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata.[36]
Hal ini sejalan dengan pengertian yang termaktub dalam pasal 1915 KUH Perdata
“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik
dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak
diketahui umum”. Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana
berikut:[37]
1).
Persangkaan Undang-undang (wattelijk vermoeden)
Persangkaan
undang-undang adalah suatu peristiwa hukum yang oleh undang-undang disimpulkan
terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka dengan
adanya bukti pembayaran selama tiga kali berturut-turut membuktikan bahwa
angsuran sebelumnya telah dibayar.
2).
Persangkaan Hakim (rechtelijk vermoeden)
Yaitu
suatu peristiwa hukum yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain.
Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus
menerus. Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya.
Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan
tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama
bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi
perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun
hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun.
3)
Bukti Pengakuan
Pengakuan
(bekentenis, confession) adalah alat bukti yang berupa pernyataan atau
keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses
pemeriksaan, yang dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan.
Pengakuan tersebut berisi keterangan bahwa apa yang didalilkan pihak lawan
benar sebagian atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH Perdata dan Pasal 174 HIR).
Secara
umum hal-hal yang dapat diakui oleh para pihak yang bersengketa adalah segala
hal yang berkenaan dengan pokok perkara yang disengketakan. Tergugat dapat
mengakui semua dalil gugatan yang dikemukakan penggugat atau sebaliknya
penggugat dapat mengakui segala hal dalil bantahan yang diajukan tergugat.
Pengakuan tersebut dapat berupa, pertama pengakuan yang berkenaan dengan
hak, kedua pengakuan mengenai fakta atau peristiwa hukum.
Lalu
yang berwenang memberi pengakuan menurut Pasal 1925 KUH Perdata
yang berwenang memberi pengakuan adalah sebagai berikut:
a)
dilakukan principal (pelaku) sendiri yakni penggugat atau tergugat (Vide Pasal
174 HIR);
b)
kuasa hukum penggugat atau tergugat.
Kemudian
bentuk pengakuannya, berdasarkan pendekatan analog dengan ketentuan Pasal 1972
KUH Perdata, bentuk pengakuan dapat berupa tertulis dan lisan di depan
persidangan dengan cara tegas (expressis verbis), diam-diam dengan tidak
mengajukan bantahan atau sangkalan dan mengajukan bantahan tanpa alasan dan
dasar hukum.[38]
5.
Bukti Sumpah
Sumpah
sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas
nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut takut
akan murka Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan
diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan
dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.
Sedangkan
Soedikno berpendapat bahwa “Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang
hikmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan
dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa
yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya”[39]
Menurut
UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang “menentukan” (decissoire
eed) dan “tambahan” (supletoir eed). Sumpah yang “menentukan” (decissoire
eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang
berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang
sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang
perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah
itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan
sumpah itu, ia akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah,
mempunyai hak untuk “mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak
lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang
dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang
semula berbunyi : “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan
barang” perumusan sumpah yang dikembalikan akan berbunyi “Saya bersumpah bahwa
sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka
pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh
hakim apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila
dia menolak pengangkatan sumpah itu.[40]
Jika
suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang
menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan
perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang
disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan
yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu
peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus
dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan
itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri,
sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh “menentukan” jalannya
perkara. Suatu “sumpah tambahan”, adalah suatu sumpah yang diperintahkan
oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat
bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang
perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk
menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim,
leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan
apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.[41]
Untuk
lebih jelasnya kami membuatkan table tentang perbedaan antar kedua macam sumpah
ini;[42]
Sumpah
|
|
Decissoir
|
Suppletoir
|
|
|
Dikenal
juga dalam Hukum Acara Perdata sumpah aestimatoir (penaksiran) yang
diangkat oleh salah satu pihak atas perintah hakim untuk mengucapkan sumpah
dalam rangka menentukan jumlah kerugian yang diderita atau mengenai suatu harga
barang tertentu yang disengketakan.[43]
VIII.
Putusan
Putusan dalam hukum acara perdata definisinya adalah Sebagai
berikut dengan ketentuan Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, apabila pemeriksaan
perkara telah selesai, majelis hakim karena jabatannya yang ia punya melakukan
musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan kepada kasus/sengketa
tersebut. Proses pemeriksaan dianggap selesai, apabila telah menempuh tahap
jawaban dari tergugat yang dibarengi dengan replik dari penggugat maupun duplik
dari tergugat dan dilanjutkan dengan proses tahapan pembuktian dan konklusi.
Dalam
asas putusan yang ada dalam hukum acara perdata di dalamnya di perkuat dengan
beberapa lasan yang ada di dalamnya karena di dalamnya,pembahsan diawali dengan uraian yang ada denagan asas yang harus ditegakan , supaya
putusan yang diberiakan oleh hakim tidak
mengandung kecacatan di dalamnya. Asas ada terdapat di dalam HIR dengan dasar
hukum pasal 178 HIR[44]
, pasal 189 RGB,dan pasal 19 UU no 4 tahun 2004. Yang intiny adalaah harus
memuat isinya adalah:
·
Memuat dasar alasan yang jelas dan
rinci, dalam hal ini bisa kita melihat bahwa dalam hal ini adalah daiatur dalam
pasal 28 ayat(1) UU no4 tahun 2004, dan menurut Putusan MA NO. 698 K/Sip/1969,
yang menyatakan bahwa dai dalam putusan
harus disertai dengan alasan hukum yang pertimbangan yang jelas kenapa
petitum itu ditolak.
·
Wajib mengadili seluruh bagian Gugatan:
Dalam hal ini kita bisa melihat bahwa di dalamnya ini dalam hal diatur di dalam pasal 178 (2) HIR. Hal dari
bagian yang ada di dalam petiyumnya harus dibahasa dengan rinci agar putusanya
tidak menjadi kesalahan yang membuat putusan dari hal ini menjadi putusan yang
cacat hukum.
·
Tidak boleh mengabulkan melebihi
tuntutan: Menurut pasal 178(3) HIR,pasal 189 ayat(3) RBG dan pasal 50 Rv).
Adanya larangan yang disebut Ultra
petitum partium . jadai dalam hal ini jika dilanggar dalama putusan perdata
hal-hal yang tudak dimintakan tidak bisa dikabulkan, juga melebihi dari
permintaan yang ada pada jumlahnya.
·
Diucapkan di muka umum: Diucapkan di
depan umum maksudnya dibacakan di dalam pengadilan agar asas fair trial dalam hal ini akan dapat di jelaskan dalam hal
ini. Dala hal ini dijelasakan dalam pasal 20 UU no. 4 tahun 2004, dan dalam hal
ini juga dijelasakan akiabatanya pada psal 19 UU no 4 tahun 2004 yang
mnyebankan dalam hal ini pelanggaran
prinsipnya adalah tidak sah dan tidak mepunyai kekuatan hukum.
Jenis
putusan dalam hukum acara perdata
Dalam
penyusunan Hukum Acara Perdata telah dibuat dengan cara agar prosesnya dapat
berjalan secara secepat mungkin , sederhana mungkin, mudah untuk dimengerti
oleh para pihak yang berperkara dan tentunya dengan biaya yang terjangkau.
Menurut
bentuknya penyelesaian dari perkara yang dapat diselesaikan oleh pengadilan
dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
1.
Putusan / vonis : Suatu putusan
diambil untuk memutusi/menyelesaikan sebuah perkara yang masuk dalam suatu acara perdata di dalam pengadialan .
2.
Penetapan / beschikking : suatu
penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan yaitu dalam rangka yang
dinamakan “yuridiksi voluntair”
Sedangkan menurut golongannya, suatu putusan pengadilan
dikenal dua macam pengolongan putusan yakni :
Putusan
sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan
tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.
Dalam hukum acara dikenal macam putusan sela yaitu :
1)
Putusan Preparatuir, putusan
persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna
mengadakan putusan akhir
2)
Putusan Interlocutoir, putusan yang
isinya memerintahkan pembuktian karena putusan ini menyangkut pembuktian maka
putusan ini akan mempengaruhi putusan akhir
3)
Putusan Incidental, putusan yang
berhubungan dengan insiden yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan
biasa.
4)
Putusan provisional, putusan yang
menjawab tuntutan provisi yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan
tindakan pendahulu guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir
dijatuhkan.
2. Putusan Akhir
Putusan
akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara pada tingkat pemeriksaan
pengadilan, meliputi pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan MA.
Macam-macam putusan akhir adalah sbb. :
1)
Putusan Declaratoir, putusan yang
sifatnya hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata, misalnya
menerangkan bahwa A adalah ahli waris dari B dan C.
2)
Putusan Constitutif, putusan yang
sifatnya meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum
yang baru, misalnya putusan yang menyatakan seseorang jatuh pailit.
3)
Putusan Condemnatoir, putusan yang
berisi penghukuman, misalnya pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan sebidang
tanah berikut bangunan yang ada diatasnya untuk membayar hutangnya.
Jadi pada intinya adalah suatu acara
hukum perdata dalam hal ini akan membantu banayak hal untuk menyelesaikan
masalah yang ada dan telah masuk kedalam pengadilan untuk diselesai secara
hukum yang tepat dan berwenang untuk mengadilinya.
IX.
Eksekusi
A. Pengertian
Eksekusi
Untuk kesamaan
penggunaan istilah, maka kata Executie yang berasal dari bahasa asing, sering
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu ”Pelaksanaan”. Kata Executie
diadaptir ke dalam Bahasa Indonesia dengan ditulis menurut bunyi dari kata itu
sesuai dengan ejaan Indonesia, yaitu ”Eksekusi”. Kata ini sudah populer serta
diterima oleh insan hukum di Indonesia, sehingga untuk selanjutnya dalam
makalah ini akan mengunakan kata ”Eksekusi” untuk pengertian “pelaksanaan”
putusan dalam perkara perdata. Pengertian eksekusi sama dengan pengertian
“menjalankan putusan” (ten uitvoer legging van vonnissen), yakni melaksanakan
“secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, apabila pihak
yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara
sukarela. Dengan kata lain, eksekusi (pelaksanaan putusan) adalah tindakan yang
dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara[46]
B.
ASAS EKSEKUSI
Untuk
menjalankan eksekusi, perlu memperhatikan berbagai asas, yaitu:
1.
Putusan hakim yang akan di eksekusi haruslah telah berkekuatan hukum yang tetap
(in kracht van gewijsde). Maksudnya, pada putusan hakim itu telah terwujud
hubungan hukum yang pasti antara para pihak yang harus ditaati/dipenuhi oleh
tergugat, dan sudah tidak ada lagi upaya hukum (Rachtsmiddel), yakni :
a. Putusan pengadilan tingkat pertama yang
tidak diajukan banding;
b.
Putusan Makamah Agung (kasasi/PK);
c.
Putusan verstek yang tidak diajukan verzet. Sebagai pengecualian dari asas di
atas adalah: a. Putusan serta merta (Uitvoerbaar bii voorraad); b. Putusan
provisi; c. Putusan perdamaian; d. Grose akta hipotik/pengakuan hutang.
2.
Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah bersifat menghukum (condemnatoir).
Maksudnya, pada putusan yang bersifat menghukum adalah terwujud dari adanya
perkara yang berbentuk yurisdictio contentiosa (bukan yurisdictio voluntaria),
dengan bercirikan, bahwa perkara bersifat sengketa (bersifat partai) dimana ada
pengugat dan ada tergugat, proses pemeriksaannya secara berlawanan antara
penggugat dan tergugat (Contradictoir). Misalnya amar putusan yang berbunyi :
a. Menghukum atau memerintahkan “menyerahkan“ sesuatu barang; b. Menghukum atau
memerintahkan “pengosongan“ sebidang tanah atau rumah; c. Menghukum atau
memerintahkan “melakukan“ suatu perbuatan tertentu; d. Menghukum atau
memerintahkan “penghentian“ suatu perbuatan atau keadaan; e. Menghukum atau
memerintahkan “melakukan“ pembayaran sejumlah uang[47].
3.
Putusan hakim itu tidak dilaksanakan secara sukarela Maksudnya, bahwa tergugat
sebagai pihak yang kalah dalam perkara secara nyata tidak bersedia melaksanakan
amar putusan dengan sukarela. Sebaliknya apabila tergugat bersedia melaksanakan
amar putusan secara sukarela, maka dengan sendirinya tindakan eksekusi sudah
tidak diperlukan lagi.
4.
Kewenangan eksekusi hanya ada pada pengadilan tingkat pertama [Pasal 195 Ayat
(1) HIR/Pasal 206 Ayat (1) HIR R.Bg] Maksudnya, bahwa pengadilan tingkat
banding dengan Mahkamah Agung tidaklah mempunyai kewenangan untuk itu,
sekaligus terhadap putusannya sendiri, sehingga secara ex officio (ambtshalve)
kewenangan tersebut berada pada ketua pengadilan tingkat pertama (pengadilan
agama/pengadilan negeri) yang bersangkutan dari sejak awal hingga akhir (dari
aanmaning hingga penyerahan barang kepada penggugat).
5.
Eksekusi harus sesuai dengan amar putusan. Maksudnya, apa yang dibunyikan oleh
amar putusan, itulah yang akan dieksekusi. Jadi tidak boleh menyimpang dari
amar putusan. Oleh karena itu keberhasilan eksekusi diantaranya ditentukan pula
oleh kejelasan dari amar putusan itu sendiri yang didasari pertimbangan hukum
sebagai argumentasi hakim.
C.
MACAM EKSEKUSI
Pada
dasarnya ada dua bentuk eksekusi ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh
hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu melakukan suatu
tindakan nyata atau tindakan riil, sehingga eksekusi semacam ini disebut
“eksekusi riil”, dan melakukan pembayaran sejumlah uang. Eksekusi seperti ini
selalu disebut “eksekusi pembayaran uang”[48].
Demikian juga dalam praktek peradilan agama dikenal 2 (dua) macam eksekusi,
yaitu eksekusi riil atau nyata
sebagaimana diatur dalam Pasal 200 ayat (11) HIR/Pasal 218 ayat (2) R.Bg, dan
Pasal 1033 Rv, yang meliputi penyerahan pengosongan, pembongkaran, pembagian,
dan melakukan sesuatu eksekusi pembayaran sejumlah uang melalui lelang atau
executorial verkoop, sebagaimana tersebut dalam Pasal 200 HIR/Pasal 215 R.Bg
(Abdul Manan, 2005: 316).
1.
Eksekusi Riil Eksekusi riil adalah eksekusi yang menghukum kepada pihak yang
kalah dalam perkara untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, misalnya
menyerahkan barang, mengosongkan tanah atau bangunan, membongkar, menghentikan
suatu perbuatan tertentu dan lain-lain sejenis itu. Eksekusi ini dapat
dilakukan secara langsung (dengan perbuatan nyata) sesuai dengan amar putusan
tanpa melalui proses pelelangan.
2.
Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang Eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah
eksekusi yang mengharuskan kepada pihak yang kalah untuk melakukan pembayaran
sejumlah uang (Pasal 196 HIR/208 R.Bg). Eksekusi ini adalah kebalikan dari
eksekusi riil dimana pada eksekusi bentuk kedua ini tidaklah dapat dilakukan
secara langsung sesuai dengan amar putusan seperti pada eksekusi riil,
melainkan haruslah melalui proses pelelangan terlebih dahulu , karena yang akan
dieksekusi adalah sesuatu yang bernilai uang.
D.
TATA CARA EKSEKUSI
1.
Eksekusi Riil
Menjalankan
eksekusi riil adalah merupakan tindakan nyata yang dilakukan secara langsung
guna melaksanakan apa yang telah dihukumkan dalam amar putusan, dengan tahapan
:
A.
Adanya permohonan dari penggugat (pemohon eksekusi) kepada ketua pengadilan
[Pasal 196 HIR/Pasal 207 ayat (1) R.Bg];
B.
Adanya peringatan (aanmaning) dari ketua
pengadilan kepada termohon eksekusi agar ianya dalam waktu tidak lebih dari 8
(delapan) hari dari sejak aanmaning dilakukan, melaksanakan isi putusan
tersebut secara sukarela [Pasal 207 ayat (2) R.Bg], dengan cara:
1) Melakukan pemanggilan terhadap termohon eksekusi dengan menentukan
hari, tanggal, jam dan tempat;
2) Memberikan peringatan (kalau ianya datang), yaitu dengan
cara :
a) Dilakukan dalam sidang insidentil yang dihadiri ketua pengadilan,
panitera dan termohon eksekusi;
b) Dalam sidang tersebut diberikan peringatan/teguran agar termohon
eksekusi dalam waktu 8 (delapan) hari, melaksanakan isi putusan tersebut;
c) Membuat berita acara sidang insidentil (aanmaning), yang mencatat
peristiwa yang terjadi dalam persidangan tersebut;
d) Berita acara sidang aanmaning tersebut akan dijadikan bukti bahwa
kepada termohon eksekusi telah dilakukan peringatan/teguran untuk melaksanakan
amar putusan secara sukarela, yang selanjutnya akan dijadikan dasar dalam
mengeluarkan perintah eksekusi.
Apabila
setelah dipanggil secara patut, termohon eksekusi ternyata tidak hadir dan
ketidak hadirannya disebabkan oleh halangan yang sah (dapat dipertanggung
jawabkan), maka ketidak hadirannya masih dapat dibenarkan dan ianya harus
dipanggil kembali untuk di aanmaning. Akan tetapi apabila ketidak hadirannya
itu tidak ternyata adanya alasan yang sah (tidak dapat dipertanggung jawabkan),
maka termohon eksekusi harus menerima akibatnya, yaitu hilangnya hak untuk
dipanggil kembali dan hak untuk di aanmaning serta ketua pengadilan terhitung
sejak termohon eksekusi tidak memenuhi panggilan tersebut, dapat langsung
mengeluarkan surat penetapan (beschikking) tentang perintah menjalankan
eksekusi.
C.
Setelah tenggang waktu 8 (delapan) hari ternyata termohon eksekusi masih tetap
tidak bersedia melaksanakan isi putusan tersebut secara sukarela, maka ketua
pengadilan mengeluarkan penetapan dengan mengabulkan permohonan pemohon
eksekusi dengan disertai surat perintah eksekusi, dengan ketentuan :
1) Berbentuk
tertulis berupa penetapan (beschikking);
2) Ditujukan
kepada panitera/jurusita/jurusita pengganti;
3) Berisi
perintah agar menjalankan eksekusi sesuai dengan amar putusan.
D.
Setelah menerima perintah menjalankan eksekusi dari ketua pengadilan, maka
panitera/jurusita/jurusita pengganti merencanakan/menentukan waktu serta
memberitahukan tentang eksekusi kepada termohon eksekusi, kepala desa/lurah,/
kecamatan/kepolisian setempat;
E.
Proses selanjutnya, pada waktu yang telah ditentukan,
panitera/jurusita/jurusita pengganti langsung ke lapangan guna melaksanakan
eksekusi dengan ketentuan:
1)
Eksekusi dijalankan oleh panitera/jurusita/jurusita pengganti (Pasal 209 ayat
(1) R.Bg);
2)
Eksekusi dibantu 2 (dua) orang saksi (Pasal 200 R.Bg), dengan syaratsyarat:
a) Warga Negara Indonesia
b) Berumur minimal 21 tahun
c) Dapat dipercaya.
3)
Eksekusi dijalankan ditempat dimana barang (obyek) tersebut berada;
4)
Membuat berita acara eksekusi, dengan ketentuan memuat:
a) Waktu (hari, tanggal, bulan, tahun dan jam) pelaksanaan;
b) Jenis, letak, ukuran dari barang yang dieksekusi;
c) Tentang kehadiran termohon eksekusi;
d) Tentang pengawas barang (obyek) yang dieksekusi;
e) Penjelasan tentang Niet Bevinding (barang/obyek yang tidak
diketemukan/tidak sesuai dengan amar putusan);
F) Penjelasan tentang dapat/tidaknya eksekusi dijelaskan;
G) Keterangan tentang penyerahan barang (obyek) kepada
pemohon eksekusi;
H) Tanda tangan panitera/jurusita/jurusita pengganti (eksekutor), 2 (dua)
orang saksi yang membantu menjalankan eksekusi, Kepala desa / lurah / camat dan
termohon eksekusi itu sendiri; Untuk tanda tangan kepala desa/lurah/camat dan
termohon eksekusi tidaklah merupakan keharusan. Artinya tidaklah mengakibatkan
tidak sahnya eksekusi, akan tetapi akan lebih baik jika mereka turut tanda
tangan guna menghindari hal-hal yang tidak diingini.
5)
Memberitahukan isi berita acara eksekusi kepada termohon eksekusi (Pasal 209
R.Bg), yang dilakukan ditempat dimana eksekusi dijalankan (jika termohon
eksekusi hadir pada saat eksekusi dijalankan), atau ditempat kediamannya (jika
termohon eksekusi tidak hadir pada saat eksekusi dijalankan)
2.
Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang
Untuk
sampai pada realisasi penjualan lelang sebagai syarat dari eksekusi pembayaran
sejumlah uang, maka eksekusi tersebut perlu melalui proses tahapan sebagai
berikut :
a. Adanya permohonan dari pemohon eksekusi
kepada ketua pengadilan.
b.
Adanya peringatan/teguran (aanmaning) dari ketua pengadilan kepada termohon
eksekusi agar ianya dalam waktu tidak lebih dari 8 (delapan) hari, sejak
aanmaning dilakukan, melaksanakan amar putusan.
c.
Setelah masa peringatan/teguran (aanmaning) dilampaui, termohon eksekusi masih tetap
tidak memenuhi isi putusan berupa pembayaran sejumlah uang, maka sejak saat itu
ketua pengadilan secara ex afficio mengeluarkan surat penetapan (beschikking)
berisi perintah kepada panitera/jurusita/jurusita pengganti untuk melakukan
sita eksekusi (executorial beslag) terhadap harta kekayaan jika sebelumnya
tidak diletakkan sita jaminan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 9
197 HIR/Pasal 208 R.Bg (tata cara sita eksekusi hampir sama dengan sita
jaminan)
d.
Adanya perintah penjualan lelang, dilanjutkan dengan penjualan lelang setelah
terlebih dahulu dilakukan pengumuman sesuai dengan ketentuan pelelangan. Lalu
diakhiri dengan penyerahan uang hasil lelang kepada pemohon eksekusi.
E.
PENANGGUHAN EKSEKUSI
Dalam
menjalankan eksekusi tidak selamanya lancar sesuai rencana, terkadang dan
bahkan sering menemui hambatan baik bersifat yuridis maupun non yuridis,
sehingga memerlukan tindakan untuk menangguhkan eksekusi tersebut.
1.
Hambatan Yuridis
a.
Adanya perlawanan dari pihak ketiga (Derden Verzet). Pada dasarnya adanya
perlawanan dari pihak ketiga tidaklah menangguhkan eksekusi kecuali jika
perlawanan pihak ketika itu diajukan atas dasar hak milik [Pasal 196 Ayat (6)
HIR/Pasal 206 Ayat (6) R.Bg], atau atas dasar pemegang hipotik/pemegang hak tanggungan;
yang harus dilindungi dari tindakan penyitaan. Apabila perlawanan tersebut
menurut ketua pengadilan (sebelum perkara ditetapkan majelis hakimnya)
beralasan berdasarkan bukti yang kuat, atau setelah mendapat laporan dari
majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut (Pasal 208 HIR/228 R.Bg), maka
eksekusi ditangguhkan, dan sebaliknya jika perlawanan tersebut ditolak,
eksekusi dilanjutkan.
b.
Adanya perlawanan dari pihak termohon eksekusi Sebagaimana halnya dengan
perlawanan dari pihak ketiga, perlawanan dari pihak termohon eksekusi juga
tidaklah dapat menangguhkan eksekusi, kecuali apabila segera nampak bahwa 10
perlawanan tersebut adalah benar dan beralasan, barulah eksekusi ditangguhkan
hingga putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.
c.
Adanya permohonan Peninjauan Kembali Sebagai upaya hukum luar biasa, maka PK
tidaklah menghalangi eksekusi, namun demikian dalam kasus tertentu dapat saja
eksekusi ditangguhkan apabila benar-benar dengan dukungan bukti yang kuat,
seperti diatur dalam Pasal 67 dan Pasal 69 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 terakhir dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009, yang diperkirakan permohanan PK tersebut akan
dikabulkan olah Mahkamah Agung , maka atas izin ketua pengadilan tingkat
banding, eksekusi tersebut dapat ditangguhkan, karena dengan dikabulkannya
permohanan PK tersebut, sedangkan barang/obyek terperkara sudah terlanjur
dieksekusi, maka sangatlah sulit untuk memulihkan barang/obyek tersebut seperti
sediakala. Kalau sampai hal semacam ini terjadi, maka pihak termohon eksekusi
hanya dapat mengajukan gugatan baru terhadap pemohon eksekusi dengan petitum
serta merta.
2. Hambatan Non Yuridis
Hambatan
non yuridis adalah hambatan yang paling sering dijumpai di lapangan. Hambatan
tersebut dapat berupa :
a. Adanya perlawanan secara fisik atau dengan
pengerahan kekuatan/massa dari pihak termohon eksekusi dengan sangat emosi, dan
suasana semakin parah ketika pihak pemohon eksekusi juga melakukan hal yang
sama, yang dapat menimbulkan konflik.
b.
Adanya campur tangan dari pihak ketiga dalam proses eksekusi, yang berasal dari
lembaga-lembaga tertentu, yang dapat saja memicu kerusuhan. Untuk penangguhan
eksekusi hanya dapat dilakukan oleh ketua pengadilan tingkat pertama yang
bersangkutan yang memimpin eksekusi dan jika ianya 11 berhalangan dapat
digantikan oleh wakil ketua pengadilan tersebut, guna memerintahkan
penangguhannya. Sedangkan ketua pengadilan tingkat banding dan jika berhalangan
dapat digantikan wakil ketua pengadilan tersebut sebagai voorpost (kawal depan)
Mahkamah Agung dapat memerintahkan agar eksekusi ditangguhkan atau dilanjutkan,
dan dalam rangka tugas pengawasan atas jalannya peradilan yang baik, kewenangn
tersebut pada puncak tertinggi berada pada Mahkamah Agung.
X.
Upaya
Hukum
Definisi
dari upaya hukum adalah upaya yang
diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum (bisa dikatakan
dapat dilakauakan oleh subjek hukum) dalam hal ini dapat dilakukan untuk melawan putusan hakim.
Dalam hal ini maksudnya adalah untuk menguji dari kebenaran putusan yang
dilakauakan oleh hakim,atau bisa digunakan untuk memeriksa dan juga dapat
digunakan untuk membenarkan dari
kesalahan-kesalahan dalam putusan yang mungkin saja dilakukan oleh hakim di
tingkat yang dibawahnya. Dalam hal ini dibagi menjadi 2 hal dalam upaya hukum,
yaitu upaya hukum biasa dan juga upaya hukum luar biasa. Dalam hal ini upaya
hukum biasa digunkan untuk untuk putusan-putusan yang belum memiliki kekuatan
hukum tetap dalam kata lain upaya hukum biasa
masih ada batas waktu untuk menjadi putusan yang berkekuatan hukum
tetap,jadi dalam hal ini masih masih dapat melakauakan upaya hukum biasa.
Sedangkan dalam upaya hukum luar biasa dalam hal ini dapat dilakauakn dalam
jika putusan sudah memilki kekuatan hukum tetap dan juga ada alasan-alasan
khusus untuk mengajukan upaya hukum luar biasa ini.
1.
Upaya
hukum biasa dibagi menjadi 3, yaitu:
1.
Banding
Banding
adalah upaya hukum yang dilakauakan oleh
salah satu pihak dalam persidangan
dilakukan karena tidak puas dalam putusanya di dalam pengadilan
negeri.Para pihak dapat mengajukan banding dalam hal ini banding sesuai dengan
azasnya dengan di ajukan banding maka pelaksanaanya isi putusan pengadilan negeri belum dapat dilaksankan,
karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi ,kecuali
terhadap putusan yang bersifat uit bij
voeraad.(pasal 180 ayat 1 HIR)[49]. Banding diatur dalam pasal 188 s.d.
194 HIR (untuk daerah Jawa dan Madura) dan dalam pasal 199 s.d. 205 RBg (untuk
daerah di luar Jawa dan Madura). Kemudian berdasarkan pasal 3 Jo pasal 5 UU No. 1/1951
(Undang-undang Darurat No. 1/1951), pasal188 s.d. 194 HIR dinyatakan tidak
berlaku lagi dan diganti dengan UU Bo. 20/1947 tentang Peraturan Peradilan
Ulangan di Jawa dan Madura.[50]
Keputusan pengadilan yang
dapat dimintakan banding hanya keputusan pengadilan yang berbentuk Putusan
bukan penetapan, karena terhadap penetapan upaya hukum biasa yang dapat
diajukan hanya kasasi.[51]
TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN BANDING.
Tenggang
waktu pernyataan mengajukan banding adalah 14 hari sejak putusan dibacakan bila
para pihak hadir atau 14 hari pemberitahuan putusan apabila salah satu pihak
tidak hadir. Ketentuan ini diatur dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 20/1947
jo pasal 46 UU No. 14/1985. Dalam praktek dasar hukum yang biasa digunakan
adalah pasal 46 UU No. 14 tahun 1985.
Apabila jangka waktu pernyatan permohonan banding telah
lewat maka terhadap permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh
Pengadilan Tinggi karena terhadap putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan
dianggap telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi.
Pendapat diatas dikuatkan oleh Putusan MARI No. 391
k/Sip/1969, tanggal 25 Oktober 1969, yaitu bahwa Permohonan banding yang
diajukan melalmpaui tenggang waktu menurut undang-undang tidak dapat diterima
dan surat-surat yang diajukan untuk pembuktian dalam pemeriksaan banding tidak
dapat dipertimbangkan. Akan tetapi bila dalam hal perkara perdata permohonan
banding diajukan oleh lebih dari seorang sedang permohonan banding hanya
dapat dinyatakan diterima untuk seorangrang pembanding, perkara tetap
perlu diperiksa seluruhnya, termasuk kepentingan-kepentingan mereka yang
permohonan bandingnya tidak dapat diterima (Putusan MARI No. 46 k/Sip/1969,
tanggal 5 Juni 1971).
PROSEDUR
MENGAJUKAN PERMOHONAN BANDING
1.
Dinyatakan dihadapan Panitera
Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan terlebih dahuku
membayar lunas biaya permohonan banding.
2.
Permohonan banding dapat diajukan
tertulis atau lisan (pasal 7 UU No. 20/1947) oleh yang berkepentingan maupun
kuasanya.
3.
Panitera Pengadilan Negeri akan
membuat akte banding yang memuat hari dan tanggal diterimanya permohonan
banding dan ditandatangani oleh panitera dan pembanding. Permohonan banding
tersebut dicatat dalam Register Induk Perkara Perdata dan Register Banding
Perkara Perdata.
4.
Permohonan banding tersebut oleh
panitera diberitahukan kepada pihak lawan paling lambat 14 hari setelah
permohonan banding diterima.
5.
Para pihak diberi kesempatan untuk
melihat surat serta berkas perkara di Pengadilan Negeri dalam waktu 14 hari.
6.
Walau tidak harus tetapi pemohon
banding berhak mengajukan memori banding sedangkan pihak Terbanding berhak
mengajukan kontra memori banding. Untuk kedua jenis surat ini tidak ada jangka
waktu pengajuannya sepanjang perkara tersebut belum diputus oleh Pengadilan Tinggi.
(Putusan MARI No. 39 k/Sip/1973, tanggal 11 September 1975).
7.
Pencabutan permohonan banding tidak
diatur dalam undang-undang sepanjang belum diputuskan oleh Pengadilan Tinggi
pencabutan permohonan banding masih diperbolehkan.
2.
Kasasi
Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat
diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu
putusan Pengadilan Tinggi. Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak
puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung.
Kasasi berasal dari perkataan “casser”
yang berarti memecahkan atau membatalkan, sehingga bila suatu permohonan kasasi
terhadap putusan pengadilan dibawahnya
diterima oleh Mahkamah Agung, maka berarti putusan tersebut dibatalkan
oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan
hukumnya.[52]
Pemeriksaan kasasi hanya meliputi seluruh
putusan hakim yang mengenai hukum, jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang
mengenai duduk perkaranya sehingga pemeriksaaan tingkat kasasi tidak
boleh/dapat dianggap sebagai pemeriksaan tinggak ketiga.
ALASAN-ALASAN
MENGAJUKAN KASASI
Alasan mengajukan kasasi menurut pasal 30
UU No. 14/1985 antara lain :
1)
Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
Tidak bewenangan
yang dimaksud berkaitan dengan kompetensi relatif dan absolut pengadilan,
sedang melampaui batas bisa terjadi bila pengadilan mengabulkan gugatan
melebihi yang diminta dalam surat gugatan.
2)
Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
Yang dimaksud
disini adalah kesalahan menerapkan hukum baik hukum formil maupun hukum
materil, sedangkan melanggar hukum adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh
Judex facti salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau
dapat juga diinterprestasikan penerapan hukum tersebut tidak tepat dilakukan
oleh judex facti.
3)
Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh pertauran
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang bersangkutan.
Contohnya dalam suatu putusan tidak terdapat irah-irah
TENGGANG
WAKTU MENGAJUKAN KASASI
Permohonan kasasi harus sedah disampaikan
dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan atau penetepan pengadilan yang
dimaksud diberitahukan kepada Pemohon (pasal 46 ayat(1) UU No. 14/1985), bila
tidak terpenuhi maka permohonan kasasi tidak dapat diterima.
PROSEDUR
MENGAJUKAN PERMOHONAN KASASI
1. Permohonan kasasi disampaikan oleh
pihak yang berhak baik secara tertulis atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang
memutus perkara tersebut dengan melunasi biaya kasasi.
2. Pengadilan Negeri akan mencatat
permohonan kasasi dalam buku daftar, dan hari itu juga membuat akta permohonan
kasasi yang dilampurkan pada berkas (pasal 46 ayat (3) UU No. 14/1985)
3. Paling lambat 7 hari setelah
permohonan kasasi didaftarkan panitera Pengadilan Negeri memberitahukan secara
tertulis kepada pihak lawan (pasal 46 ayat (4) UU No. 14/1985)
4. Dalam tenggang waktu 14 hari setelah
permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar pemohon kasasi wajib membuat memori
kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan kasasi (pasal 47 ayat (1) UU No.
14/1985)
5. Panitera Pengadilan Negeri
menyampaikan salinan memori kasasi pada lawan paling lambat 30 hari (pasal 47
ayat (2) UU No. 14/1985).
6. Pihak lawan berhak mengajukan kontra
memori kasais dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan
memori kasai (pasal 47 ayat (3) UU No. 14/1985)
7. Setelah menerima memori dan kontra
memori kasasi dalam jangka waktu 30 hari Panitera Pengadilan Negeri harus
mengirimkan semua berkas kepada Mahkamah Agung (pasal 48 ayat (1) UU No.
14/1985)
3.
Verzet
Verzet merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat
diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu
putusan Pengadilan Negeri.
PROSEDUR
MENGAJUKAN VERZET , pasal 129 ayat (1) HIR
1. Dalam waktu 14 hari setelah putusan
verstek itu diberitahukan kepada tergugat sendiri, jika putusan tidak
diberitahukan kepada tergugat sendiri maka :
2. Perlawanan boleh diterima sehingga
pada hari kedelapan setelah teguran (aanmaning) yang tersebut dalam pasal 196
HIR atau;
Dalam prosedur verzet kedudukan para
pihak tidak berubah yang mengajukan perlawanan tetap menjadi tergugat
sedangyang dilawan tetap menjadi Penggugat yang harus memulai dengan pembuktian.[54][55]
Verzet dapat diajukan oleh seorang
Tergugat yang dijatuhi putusan verstek, akan tetapi upaya verzet hanya bisa
diajukan satu kali bila terhadap upaya verzet ini tergugat tetap dijatuhi
putusan verstek maka tergugat harus menempuh upaya hukum banding.
2. Upaya hukum luar biasa
Dalam hal ini adalah upaya hukum yang
digunkan jika dalam suatu putusan yang ada dalam sana, karena hal ini dapat
digunakna jika putusan yang ada telah berkekuatan hukum tetap. Upaya hukum itu
adalah:
1.
Peninjauan Kembali Putusan
Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap
Upaya hukum peninjauan kembali (request civil) merupakan
suatu upaya agar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap
(inracht van gewijsde), mentah kembali. Permohonan Peninjauan Kembali tidak
menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).
Peninjauan
kembali menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., merupakan upaya hukum
terhadap putusan tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir
tergugat (verstek), dan yang tidak lagi terbuka kemungkinan untuk mengajukan
perlawanan. [56]
Peninjauan kembali (Request Civil) tidak
diatur dalam HIR, melainkan diatur dalam RV (hukum acara perdata yang dahulu
berlaku bagi golongan eropa) pasal 385
dan seterusnya. Dalam perundang-undangan nasional, istilah Peninjauan Kembali
disebut dalam Pasal 15 UU No. 19/1964 dan pasal 31 UU No. 13/1965.
Perbedaan yang terdapat antara Peninjauan
Kembali (PK) yang dimaksud oleh perundang-undangan nasional dengan Request
Civil (RC) antara lain, sebagai berikut:
1)
Bahwa PK merupakan wewenang penuh
dari Mahkamah Agung, sedangkan RC digantungkan pada putusan yang mana
dimohonkan agar dibatalkan.
2) Akibatnya adalah bahwa putusan PK adalah putusan dalam taraf
pertama dan terakhir, sedangkan yang menyangkut RC masih ada kemungkinan untuk
banding dan kasasi.
3) Bahwa PK dapat diajukan oleh yang berkepentingan, sedangkan
RC hanya oleh mereka yang pernah menjadi pihak dalam perkara tersebut.[57][58]
Dalam
perkembangannya sekarang Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 66-75 UU No. 14
tahun 1985.
\
I.
Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali
Berdasarkan pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982.
permohonan pinjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap hanya dapat diajukan bila berdasarkan alasan-alasan sebagai
berikut :
a) Apabila putusan didasarkan pada
suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah
perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim
pidana dinyatakan palsu.
b) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti
yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
c) Apabila telah dikabulkan suatu hal
yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
d) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal
yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama
tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
e) Apabila mengenai sesuatu bagian dari
tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
f) Apabila dalam suatu putusan terdapat
suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Pihak-pihak
yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali menurut pasal 68 ayat (1)
UU No. 14/1985 adalah hanya pihak yang berperkara sendiri atau ahli warisnya,
atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Dari
pasal tersebut jelas terlihat bahwa orang ketiga bukan pihak dalam perkara
perdata tersebut tidak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Tenggang
waktu mengajukan permohonan peninjauan kembali diatur dalam pasal 69 UU No.
14/1985.
II. PROSEDUR
PENGAJUAN PERMOHONAN KEMBALI
1) Permohonan kembali diajukan oleh pihak yang berhak kepada
Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam
tingkat pertama.
2) Membayar biaya perkara.
3) Permohonan Pengajuan Kembli dapat diajukan secara lisan
maupun tertulis.
4) Bila permohonan diajukan secara tertluis maka harus
disebutkan dengan jelas alasan yang menjadi dasar permohonannnya dan dimasukkan
ke kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama
(Pasal 71 ayat (1) UU No. 14/1985)
5) Bila diajukan secara lisan maka ia dapat menguraikan permohonannya
secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau dihadapan
hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan Negeri tersebut, yang akan membuat catatan
tentang permohonan tersebut (Pasal 71 ayat (2) UU No. 14/1985)
6) Hendaknya surat permohonan peninjauan kembali disusun secara
lengkap dan jelas, karena permohonan ini hanya dapat diajukan sekali.
7) Setelah Ketua Pengadilan Negeri menerima permohonan
peninjauan kembali maka panitera berkewajiban untuk memberikan atau mengirimkan
salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon paling lambat 14 hari
dengan tujuan agar dapat diketahui dan dijawab oleh lawan (pasal 72 ayat (1) UU
No. 14/1985)
8) Pihak lawan hanya punya waktu 30 hari setelah tanggal
diterima salinan permohonan untuk membuat jawaban bila lewat maka jawaban tidak
akam dipertimbangkan (pasal 72 ayat (2) UU No. 14/1985).
9) Surat jawaban diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang oleh
panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diteimanya untuk selanjutnya salinan
jawaban disampaikan kepada pemohon untuk diketahui (pasal 72 ayat (3) UU No.
14/1985).
10)permohonan peninjauan kembali lengkap dengan berkas perkara
beserta biayanya dikirimkan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 hari (pasal
72 ayat (4) UU No. 14/1985).
11)Pencabutan permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan
sebelum putusan diberikan, tetapi permohonan peninjauan kembali hanya dapat
diajukan satu kali (pasal 66 UU No. 14/1985)
2.
DERDEN VERSET
Merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dilakukan
oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupak perlawanan
pihak ketiga yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan, karena merasa
dirugikam oleh putusan pengadilan. Syarat mengajukan derden verzet ini adalah
pihak ketiga tersebut tidak cukup hanya punya kepentingan saja tetapi hak
perdatanya benar-benar telah dirugikan oleh putusan tersebut. Secara singkat
syarat utama mengajukan derden verzet adalah hak milik pelawan telah terlanggar
karena putusan tersebut.
Dengan mengajukan perlawanan ini pihak ketiga dapat mencegah
atau menangguhkan pelaksanaan putusan (eksekusi).
XI.
CLASS
ACTION
Istilah
class action berasal dari bahasa Inggris, yakni gabungan dari kata class dan
action. Pengertian class adalah sekumpulan orang, benda, kualitas atau kegiatan
yang mempunyai kesamaan sifat atau ciri, sedangkan pengertian action dalam
dunia hukum adalah tuntutan yang diajukan ke pengadilan (Black, 1991: 18, 170).
Class
action menurut Black (1991: 170) menggambarkan suatu pengertian di mana
sekelompok besar orang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih
dapat menuntut atau dituntut mewakili kelompok besar orang tesebut tanpa harus
menyebutkan satu-satu anggota kelompok yang diwakili. Dalam Grollier Multi
Media Encyclopedi (1997) dikatakan bahwa class action adalah gugatan yang
diajukan oleh seorang atau lebih anggota suatu kelompok masyarakat, mewakili
seluruh anggota kelompok masyarakat tersebut.
Ontario
Law Reform Commision (1982: 5) menjelaskan pengertian berkepentingan secara
langsung, baik berkepentingan secara hukum maupun berkepentingan untuk suatu
manfaat atau keuntungan. Dalam gugatan class action, seseorang atau lebih yang
maju ke pengadilan sebagai penggugat atau tergugat mewakili kepentingan seluruh
anggota kelompok lainnya didasarkan atas adanya kesamaan kepentingan serta
kesamaan permasalahan (Ontario Law Reform Commision, 1982: 2, 19). Berdasarkan
syarat tersebut, maka seseorang atau beberapa orang yang maju sebagai pihak di
pengadilan, mengajukan tuntutan untuk kepentingannya sendiri sekaligus untuk
kepentingan kelompoknya, karena kepentingan pihak yang maju dengan kelompok
yang diwakilinya adalah sama. Karena kepentingan sekelompok orang identik, maka
sesuai dengan prinsip class action tersebut tuntutan cukup diajukan oleh salah
satu atau beberapa dari anggota kelompok tersebut.
Lembaga
class action dikenal di banyak negara yang menganut sistem hukum common law.
Hal tersebut sesuai dengan sejarah diperkenalkannya lembaga class action untuk
pertama kalinya, yakni di Inggris, negara tempat lahirnya sistem hukum common
law, sekitar tahun seribu tujuh ratusan (Ontario Law Reform Commision, 1982:
5). Kebanyakan negara-negara bekas jajahan Inggris kemudian ikut menganutnya.
Negara
Inggris sendiri mula-mula memperkenalkan prosedur class action berdasarkan
“judge made law” dan khusus untuk perkara-perkara berdasarkan “equity” yang
diperiksa oleh Court of Chancery.[59]
Pada saat itu Court of Chancery mengadili sengketa yang melibatkan pihak
penggugat puluhan dan ratusan orang secara kumulasi. Pengadilan secara
administratif mengalami kesulitan untuk melakukan pemanggilan dan pemeriksaan
terhadap gugatan tersebut. Maka mulailah pengadilan menciptakan prosedur class
action, di mana puluhan atau ratusan orang yang mempunyai kepentingan yang sama
tersebut tidak perlu semuanya maju ke pengadilan, melainkan cukup diwakilkan
pada salah satu diantaranya.
Di
negara Kanada, prosedur class action pertama kali dikenal di provinsi Ontario,
yakni diatur dalam the Ontario Judicature Act tahun 1881, yang kemudian
diperbaharui dengan bahsa yang lebih modern dalam Supreme Court of Ontario
Rules of Practice (SCORP, 1980). Rule 75 dari SCORP tersebut menentukan bahwa
dalam hal ada sejumlah besar orang mempunyai kepentingan yang sama dalam suatu
perkara, satu atau lebih dapat mengajukan gugatan atau digugat, mewakili
kepentingan seluruhnya (Ontario Law Reform Commision, 1982: 7).
Pembatasan-pembatasan tentang prosedur class action di Ontario banyak meniru
ketentuan class action di Inggris.
Di
negara India, pengakuan terhadap prosedur class action mulai dikenal pada tahun
1908 dan diatur dalam Rule 8 of Order 1 of Civil Procedure, 1908, sebagaimana
diubah dan disempurnakan pada tahun 1976. Menurut ketentuan tersebut, yang
dimaksud dengan class action adalah gugatan yang diajukan oleh atau terhadap
seseorang yang merupakan anggota dari suatu kelompok untuk mewakili seluruh
kepentingan tersebut dengan syarat: (1) ada sejumlah besar orang, (2) mempunyai
kepentingan yang sama, (3) pengadilan mengijinkan orang tersebut menjadi wakil
kelompok, (4) ada kewajiban memberitahukan kepada seluruh anggota kelompok
(Santosa, 1997: 17).
Negara
Amerika Serikat mengatur prosedur class action untuk sistem peradilan federal,
yakni di dalam the United State of Federal Rules of Civil Procedure (FRCP),
1938, yang kemudian direvisi pada tahun 1966. Pada awalnya (berdasarkan FRCP
Tahun 1938) di peradilan federal Amerika Serikat dikenal adanya tiga jenis
class action, yakni true class action, hybrid class action serta spurious class
action. Di dalam FRCP tahun 1966 ketiga jenis class action tersebut dihapuskan,
sehingga hanya dikenal satu jenis class action, sebagaimana diatur di dalam
Rule 23 FRCP 1966.
Di
Australia class action pertama kali diperkenalkan oleh Law Reform Committee of
South Australia, kemudian juga oleh Law Reform Commission of Australia. Di New
South Wales terbentuk NGO yang memberi perhatian pada perkembangan class action
di Australia, yakni Coalition for Class Action, di bawah Public Interest
Advocacy Centre (PIAC).
Di
bawah ini adalah beberapa jenis class action:
1. Plaintiff
class action dan defendant class action
Demi alasan efisiensi
dan efektivitas, prosedur class action dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
praktik di negara yang menganutnya. Dilihat dari para pihak yang saling
behadapan, di beberapa negara dikenal adanya dua jenis class action, yakni (a)
pengajuan gugatan secara perwakilan oleh seseorang untuk kepentingan sendiri
dan kepentingan kelompok dalam jumlah yang besar (plaintiff class action), (b)
pengajuan gugatan secara perwakilan terhadap seseorang atau lebih yang ditunjuk
untuk membela kepentingan sendiri dan kepentingan kelompok dalam jumlah yang
besar (defendant class action).
2. Public
class action dan private class action
Dilihat dari kepentingan
yang hendak dilindungi dan siapa yang berwenang menuntutnyam di negara bagian
Ontario, Kanada, oleh Ontario Law Reform Commission (1982: 279) diperkenalkan
adanya public class action dan private class action. Pembagian tersebut
berkaitan dengan penentuan tentang siapa yang mewakili untuk menuntutkan ke
pengadilan dalam hal terjadi ketidakadilan bagi masyarakat luas.
3. True
class action, hybrid class action dan spurious class action
Pembagian class action
ke dalam true, hybrid serta spurious dikenal di Amerika Serikat dalam sistem
peradilan federal pada jaman berlakunya FRCP, 1938. Setelah ketentuan pasal 23
FRCP 1938 direvisi pada tahun 1966, pembagian tersebut ditiadakan karena sering
menimbulkan kebingungan dalam penerapannya. Meskipun dalam sistem peradilan
federal pembagian tersebut telah dihapuskan, ada negara bagian yang masih
menganutnya, meskipun tidak semua jenis. Negara bagian Lousiana misalnya, hanya
menganut true class action. Negara bagaian Georgia menganut spurious class
action.
Dari
beberapa poin di atas, dapat kita lihat secara garis besar sejarah terciptanya
class action ialah berawal dari negara-negara common law, yang mana dikenal
pertama kali pada abad ke-18 di Inggris, disusul dengan Amerika, dan akhirnya
negara-negara lain.
Jika
melihat di Indonesia, class action diatur dalam beberapa ketentuan yang adalah
sebagai berikut:
1. PERMA
Nomor 1 Tahun 2002;
2. Pasal
91 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
3. Pasal
46 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
4. Pasal
38 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi;
5. Pasal
71 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Dalam
PERMA Nomor 1 Tahun 2002 dinyatakan bahwa class action adalah suatu tata cara
atau prosedur pengajuan gugatan di mana satu orang atau lebih mewakili kelompok
mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok
orang yang jumlahnya banyak yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar
hukum dan kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
Penggunaan
class action ini membawa beberapa keuntungan kepada pihak-pihak. Keuntungan
yang pertama adalah manfaat ekonomis, di mana pihak penggugat maupun tergugat
hanya satu kali mengeluarkan biaya perkara, dan pengadilan pun juga tidak
memerlukan banyak majelis hakim untuk menangani perkara yang sejenis. Di
samping tenaga, uang dan waktu yang dikeluarkan relatif lebih sedikit
dibandingkan bila gugatan diajukan secara individu.
Keuntungan
yang kedua adalah akses pada keadilan, di mana apabila gugatan diajukan secara
individual akan menyebabkan beban bagi calon penggugat. Akan terjadi
pengurangan beban terhadap tekanan yang akan dialami oleh pihak tergugat yang
biasanya mempunyai kekuatan lebih besar dibanding penggugat. Apalagi jika biaya
gugatan yang dikeluarkan tidak sebanding dengan tuntutan yang diajukan.
Keuntungan yang ketiga adalah perubahan sikap pelaku pelanggaran, yang mana
berpeluang mendorong perubahan sikap dari mereka yang berpotensi merugikan
kepentingan masyarakat luas, yang diharapkan ada efek penjera. Keuntungan yang
keempat adalah putusan yang bertentangan satu sama lain atau tidak konsisten
mengenai tuntutan sejenis dapat dihindarkan.
Proses
pengajuan class action berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2002 adalah sebagai
berikut:
1. Pemberian
kuasa, di mana tidak semua anggota kelas harus memberikan persetujuan secara
tertulis. Pemberian kuasa cukup diwakilkan oleh wakil kelas yang jumlahnya
relatif lebih sedikit;
2. Bagian-bagian
dalam gugatan harus lebih diperjelas secara formal tentang identitas
pihak-pihak (persamaan fakta, hukum dan tuntutan). Pada bagian posita dan
petitum dijelaskan tentang mekanisme pendistribusian ganti rugi;
3. Akan
ada penetapan terlebih dahulu untuk memutuskan apakah suatu gugatan dapat
diajukan dengan cara class action atau tidak;
4. Pemberitahuan
(Notifikasi), yang dapat dilakukan dengan berbagai cara yang sifatnya lebih
efektif agar semua anggota kelas mengetahui akan adanya gugatan class action
tersebut;
5. Bunyi
putusan lebih terperinci dan dapat dilaksanakan. Mekanisme yang digunakan dalam
notifikasi adalah mekanisme opt-out yaitu bagi anggota kelas yang tidak setuju
atau tidak ingin diikutkan dalam perkara tersebut dapat menyatakan keluar dari
gugatan tersebut secara tertulis;
6. Penggunaan
mekanisme opt-out dirasakan lebih sesuai dengan tujuan digunakannya class
action sebab apabila yang digunakan adalah mekanisme opt-in (semua anggota
kelas memberikan kuasa secara tertulis, hal ini sesuai dengan pasal 123 H.I.R.)
maka gugatan class action tersebut tidak akan ada bedanya dengan gugatan biasa
dengan jumlah penggugat yang banyak.
XII.
Peradilan
Niaga
Latar Belakang Peradilan Niaga
Dalam pasal 13 UU No 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan
pokok
kekuasaan kehakiman yang diganti dengan UU No 4 tahun 2004 di mungkinkan di
bentuknya badan-badan peradilan khusus disamping badan-badan peradilan yang
sudah ada dengan acara diatur dalam UU. Dalam pasal 10 dan 15 UU No 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawah peradilan umum, peradilan Agama, peradilan Militer,
peradilan TUN, dan Mahkamah Konstitusi.
kekuasaan kehakiman yang diganti dengan UU No 4 tahun 2004 di mungkinkan di
bentuknya badan-badan peradilan khusus disamping badan-badan peradilan yang
sudah ada dengan acara diatur dalam UU. Dalam pasal 10 dan 15 UU No 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawah peradilan umum, peradilan Agama, peradilan Militer,
peradilan TUN, dan Mahkamah Konstitusi.
A. Tugas dan Wewenang Pengadilan Niaga
Mengenai
tugas dan wewenang Pengadilan Niaga ini pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998
diatur dalam Pasal 280, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
diatur pada Pasal 300. Pengadilan Niaga merupakan lembaga peradilan yang berada
di bawah lingkungan Peradilan Umum yang mempunyai tugas sebagai berikut[60]
1) Memeriksa dan memutusakan permohonan pernyataan pailit;
2) Memeriksa dan memutus permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang;
3) Memeriksa perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya
ditetapkan dengan undang-undang, misalnya sengketa di bidang HaKI.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 juga mengatur tentang kewenangan
Pengadilan Niaga dalam hubungannya dengan perjanjian yang mengadung klausula
arbitrase. Dalam Pasal 303 ditentukan bahwa Pengadilan tetap berwenang
memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari pihak yang
terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi
dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tentang syarat-syarat kepailitan. Ketentuan
pasal tersebut dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa Pengadilan tetap
berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para
pihak, sekalipun perjanjian utang piutang yang mereka buat memuat klausula
arbitrase.
B.
Kompetensi Pengadilan Niaga
1)
Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif merupakan kewenangan atau kekuasaan mengadili
antar Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga sampai saat ini baru ada lima.
Pengadilan Niaga tersebut berkedudukan sama di Pengadilan Negeri. Pengadilan
Niaga hanya berwenang memeriksa dan memutus perkara pada daerah hukumnya
masing-masing. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa
putusan atas permohonan pernyataan pailit diputus oleh Pengadilan Niaga yang
daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor, apabila debitor
telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, maka Pengadilan yang
berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir
Debitor. Dalam hal debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang
memutuskan.
Debitur yang tidak berkedudukan di wilayah negara Republik
Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik
Indonesia, Pengadilan yang berwenang adalah Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor menjalankan profesi atau
usahanya di wilayah negara Republik Indonesia. Dalam hal Debitor merupakan
badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam
anggaran dasarnya.[61]
2) Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut merupakan kewenangan memeriksa dan mengadili
antar badan peradilan. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman mengatur tentang badan peradilan beserta kewenangan yang dimiliki.
Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang berada di bawah Pengadilan
umum yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan memutus permohonan pernyataan
pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Selain itu, menurut Pasal 300
ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga juga berwenang
pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya
dilakukan dengan undang-undang. Perkara lain di bidang perniagaan ini misalnya,
tentang gugatan pembatalan paten dan gugatan penghapusan pendaftaran merek.
Kedua hal tersebut masuk ke dalam bidang perniagaan dan diatur pula dalam
undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten dan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dengan kompetensi absolut ini
maka hanya Pengadilan Niaga sebagai satu-satunya badan peradilan yang berhak
memeriksa dan memutus perkara-perkara tersebut[62].
(Martiman Prodjohamidjojo.1999 : 17)
c. Hukum
Acara di Pengadilan Niaga
Pasal 299 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa
“kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini maka hukum acara yang berlaku
adalah Hukum Acara Perdata (HIR/RBg).” Hukum acara yang dipakai Pengadilan
Niaga dalam perkara kepailitan pada dasarnya tetap berpedoman pada
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ..
Hukum acara di Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan mempunyai
ciri yang berbeda, antara lain[63]:
1) Acara dengan surat Acara perdata di muka Pengadilan Niaga
berlaku dengan tulisan atau surat (schiftelijke procedure).
Acara dengan surat berarti bahwa pemeriksaan perkara pada pokoknya
berjalan dengan tulisan. Akan tetapi, kedua belah pihak mendapat kesempatan
juga untuk menerangkan kedudukannya dengan lisan.
2) Kewajiban dengan Bantuan Ahli
Pasal 7
ayat (1)Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mewajibkan bantuan seorang ahli
hukum. Adapun dasar yang menjadi pertimbangan ketentuan tersebut adalah bahwa
di dalam suatu proses kepailitan dimana memerlukan pengetahuan tentang hukum
dan kecakapan teknis, perlu kedua pihak yang bersengketa dibantu oleh seorang
atau beberapa ahli yang memiliki kemampuan teknis, agar segala sesuatunya
berjalan dengan layak dan wajar.
3) Model Liberal-Individualistis
Hukum
acara dalam proses kepailitan berpangkal pada pendirian bahwa hakim pada
intinya pasif. Hakim hanya mengawasi supaya peraturan-peraturan acara yang
ditetapkan dengan undang-undang dijalankan oleh kedua belah pihak. Acara
demikian adalah model liberal-individualistis.
4) Pembuktian Sederhana
Pemeriksaan
perkara kepailitan di Pengadilan Niaga berlangsung lebih cepat, hal ini
dikarenakan Undang-Undang Kepailitan memberikan batasan waktu proses
kepailitan. Selain itu, lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan
Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang dianut, yaitu
bersifat sederhana atau pembuktian secara sumir, ini dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan. Permohonan pernyataan pailit
harus dikabulkan apabila terdapat fakta yang terbukti secara sederhana bahwa
pernyataan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Pembuktian hanya meliputi
syarat untuk dapat dipailitkan yaitu, adanya utang yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih, adanya kreditor yang lebih dari satu serta adanya fakta bahwa
debitor atau termohon pailit telah tidak membayar utangnya. Sifat pembuktian
yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai alasan untuk menolak
permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat menyatakan bahwa perkara
yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa. Jika suatu perkara
dikategorikan hakim niaga sebagai perkara yang pembuktiannya berbelit-belit,
maka hakim dapat menyatakan bahwa kasus itu bukan kewenangan Pengadilan Niaga.
5) Waktu pemeriksaan yang terbatas
Pembaharuan
yang tak kalah penting dari Undang-Undang Kepailitan ialah tentang pemeriksaan
yang dibatasi waktunya. Undang-Undang Kepailitan menentukan batas waktu
pemeriksaan serta tenggang waktu yang pasti tentang hari putusan pailit harus
diucapkan. Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa
Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling
lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit
didaftarkan.
6) Putusan bersifat serta merta (UVB)
Menurut
Pasal 8 ayat (7) Undang-Undang Kepailitan, putusan atas permohonan pernyataan
pailit di Pengadilan Niaga dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun terhadap
putusan tersebut masih diajukan upaya hukum. Undang-Undang Kepailitan
mewajibkan kurator untuk melaksanakan segala tugas dan kewenangannya untuk
mengurus dan atau membereskan harta pailit terhitung sejak putusan pernyataan
pailit ditetapkan. Meskipun putusan pailit tersebut di kemudian hari dibatalkan
oleh suatu putusan yang secara hierarkhi lebih tinggi. Semua kegiatan
pengurusan dan pemberesan oleh kurator yang telah dilakukan terhitung sejak
putusan kepailitan dijatuhkan hingga putusan tersebut dibatalkan, tetap
dinyatakan sah oleh undang-undang.
7) Klausula Arbitrase
Eksistensi
Pengadilan Niaga, sebagai Pengadilan yang dibentuk berdasarkan Pasal 280 ayat
(1) Perpu No. 1 tahun 1998 memiliki kewenangan khusus berupa yurisdiksi
substansif eksklusif terhadap penyelesaian perkara kepailitan. Yurisdiksi
substansif eksklusif tersebut mengesampingkan kewenangan absolut dari Arbitrase
sebagai pelaksanaan prinsip pacta sunt servanda yang digariskan dalam Pasal
1338 KUH Perdata yang telah memberikan pengakuan extra judicial atas klausula
Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para pihak sebagaimana telah
diperjanjikan. Jadi, walaupun dalam perjanjian telah disepakati cara
penyelesaian sengketa melalui arbitrase, di sini Pengadilan Niaga tetap
memiliki kewenangan memeriksa dan memutus. Ketentuan tersebut terdapat dalam
Pasal 300 Undang-Undang Kepailitan.
8) Tidak tersedia Upaya Banding
Pasal 11
ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 dengan tegas menyatakan bahwa Upaya
hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit
adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Jadi, terhadap putusan pada Pengadilan Niaga
tingkat pertama tidak dapat diajukan upaya hukum banding.
d. Hakim
Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan memutus perkara Kepailitan
atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada tingkat pertama dilakukan oleh
Majelis Hakim. Dalam hal menyangkut perkara lain di bidang perniagaan, Ketua
Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat
pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal, ketentuan ini terdapat dalam
Pasal 301 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004.
Hakim
Pengadilan Niaga diangkat melalui Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Syarat Untuk
dapat diangkat menjadi Hakim Niaga harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 302,
antara lain :
1) telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum;
2) mempunyai dedikasi dan mengusai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga;
3) berwibawa, jujur, adil, dan berkelakukan tidak tercela; dan
4) telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan.
1) telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum;
2) mempunyai dedikasi dan mengusai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga;
3) berwibawa, jujur, adil, dan berkelakukan tidak tercela; dan
4) telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan.
Ketentuan-ketentuan
di atas hanyalah dapat dipenuhi oleh hakim karier saja, namun Undang-Undang
Kepailitan juga memberikan peluang adanya hakim Ad Hoc dengan syarat-syarat
sebagai berikut :
1) mempunyai keahlian;
2) mempunyai dedikasi dan mengusai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga;
3) berwibawa, jujur, adil,dan berkelakukan tidak tercela; dan
4) telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan.
1) mempunyai keahlian;
2) mempunyai dedikasi dan mengusai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga;
3) berwibawa, jujur, adil,dan berkelakukan tidak tercela; dan
4) telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan.
Berbeda
dengan hakim karier, pengangkatan hakim ad hoc tersebut berdasarkan Keputusan
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung baik pada tingkat pertama, kasasi
maupun peninjauan kembali. Dalam menjalankan tugasnya, hakim pengadilan niaga
dibantu oleh seorang panitera atau panitera pengganti dan juru sita.(Jono, 2008
: 86)
2) Hukum
Acara dalam Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga
Pasal
299 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa Kecuali ditentukan lain
dalam Undang-Undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara
Perdata (HIR/RBg). Pengaturan tentang kekhususan hukum acara Pengadilan Niaga
sampai saat ini belum dilakukan secara tegas dan khusus. Hukum acara Pengadilan
Niaga yang ada saat ini terpisah-pisah sesuai dengan obyek sengketa yang
diajukan. Sampai saat ini, ada dua masalah dan dua UU yang mengatur tentang
penunjukan Pengadilan Niaga sebagai lembaga penyelesaian sengketa, yaitu UU
tentang Kepailitan dan UU tentang HaKI. Hukum acara yang dipakai Pengadilan
Niaga dalam perkara kepailitan pada dasarnya tetap berpedoman pada
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Hukum acara di Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan
mempunyai sifat-sifat khusus yaitu :
a) Acara
dengan surat
Acara
perdata di muka Pengadilan Niaga berlaku dengan tulisan atau surat
(schiftelijke procedure), berlainan dengan acara yang berlaku di Pengadilan
Negeri yang memungkinkan acara lisan (modelinge procedure). Acara lisan berarti
bahwa pemeriksaan perkara pada pokoknya berjalan dengan tanya jawab dengan
lisan di muka Hakim. Salah satu atau kedua belah pihak diperbolehkan juga
mengajukan surat, bahkan dalam Pasal 121 ayat (2) HIR memberikan kesempatan
kepada tergugat untuk menjawab dengan tulisan. Acara dengan surat berarti bahwa
pemeriksaan perkara pada pokoknya berjalan dengan tulisan. Akan tetapi, kedua
belah pihak mendapat kesempatan juga untuk menerangkan kedudukannya dengan
lisan. (Martiman Prodjohamidjojo, 1999 : 11)
b)
Kewajiban dengan Bantuan Ahli
Undang-Undang
Kepailitan dan PKPU mewajibkan bantuan seorang ahli hukum. Adapun dasar yang
menjadi pertimbangan ketentuan tersebut adalah bahwa di dalam suatu proses
kepailitan dimana memerlukan pengetahuan tentang hukum dan kecakapan teknis, perlu
kedua pihak yang bersengketa dibantu oleh seorang atau beberapa ahli yang
memiliki kemampuan teknis, agar segala sesuatunya berjalan dengan layak dan
wajar.
c) Model
Liberal-Individualistis
Hukum
acara dalam proses kepailitan berpangkal pada pendirian bahwa hakim pada
intinya pasif. Hakim hanya mengawasi supaya peraturan-peraturan acara yang
ditetapkan dengan undang-undang dijalankan oleh kedua belah pihak. Acara
demikian adalah model liberal-individualistis. (Martiman Prodjohamidjojo, 1999
: 13)
d) Pembuktian
Sederhana
Pemeriksaan
perkara kepailitan di Pengadilan Niaga berlangsung lebih cepat, hal ini
dikarenakan Undang-Undang Kepailitan memberikan batasan waktu proses
kepailitan. Selain itu, lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan
Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang dianut, yaitu
bersifat sederhan atau pembuktian secara sumir. Permohonan pernyataan pailit
harus dikabulkan apabila terdapat fakta yang terbukti secara sederhana bahwa
pernyataan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Pembuktian hanya meliputi
syarat untuk dapat dipailitkan yaitu, adanya utang yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih, adanya kreditor yang lebih dari satu serta adanya fakta bahwa
debitor atau termohon pailit telah tidak membayar utangnya. Sifat pembuktian
yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai alasan untuk menolak
permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat menyatakan bahwa perkara
yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa. Jika suatu perkara
dikategorikan hakim niaga sebagai perkara yang pembuktiannya berbelit-belit,
maka hakim dapat menyatakan bahwa kasus itu bukan kewenangan Pengadilan
Niaga,melainkan Pengadilan Perdata.
e) Waktu
pemeriksaan yang terbatas
Pembaharuan
yang tak kalah penting dari Undang-Undang Kepailitan ialah tentang pemeriksaan
yang dibatasi waktunya. Undang-Undang Kepailitan menentukan batas waktu
pemeriksaan serta tenggang waktu yang pasti tentang hari putusan pailit harus
diucapkan. Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan bahwa
Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling
lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit
didaftarkan.
f)
Putusan bersifat serta merta (UVB)
Putusan
atas permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dapat dilaksanakan lebih
dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut masih diajukan upaya hukum.
Undang-Undang Kepailitan mewajibkan kurator untuk melaksanakan segala tugas dan
kewenangannnya untuk mengurus dan atau membereskan harta pailit terhitung sejak
putusan pernyataan pailit ditetapkan. Meskipun putusan pailit tersebut di
kemudian hari dibatalkan oleh suatu putusan yang secara hierarkhi lebih tinggi,
semua kegiatan pengrurusan dan pemberesan oleh kurator yang telah dilakukan
terhitung sejak putusan kepailitan dijatuhkan hingga putusan tersebut
dibatalkan, tetap dinyatakan sah oleh undang-undang. (Ahmad Yani&Gunawan
Widjaja, 2004 : 23-24)
g)
Klausula Arbitrase
Eksistensi
Pengadilan Niaga, sebagai Pengadilan yang dibentuk berdasarkan Pasal 280 ayat
(1) Perpu No. 1 tahun 1998 memiliki kewenangan khusus berupa yurisdiksi
substansif eksklusif terhadap penyelesaian perkara kepailitan. Dengan status
hukum dan kewenangan (legal status and power), Pengadilan Niaga memiliki
kapasitas hukum (legal capacity) untuk menyelesaikan permohonan pailit.
Yurisdiksi substansif eksklusif tersebut mengesampingkan kewenangan absolut
dari Arbitrase sebagai pelaksanaan prinsip pacta sunt servanda yang digariskan
dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang telah memberikan pengakuan extra judicial
atas klausula Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para pihak sebagaimana
telah diperjanjikan. Jadi, walaupun dalam perjanjian telah disepakati cara
penyelesaian sengketa melalui arbitrase, di sini Pengadilan Niaga tetap memiliki
kewenangan memeriksa dan memutus.
h) Tidak
tersedia Upaya Banding
Pasal 11
ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 dengan tegas menyatakan bahwa Upaya
hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit
adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Jadi, terhadap putusan pada Pengadilan Niaga
tingkat pertama tidak dapat diajukan upaya hukum banding. Sepanjang menyangkut
kreditor, yang dapat mengajukan kasasi bukan saja kreditor yang merupakan pihak
pada persidangan tingkat pertama, akan tetapi kasasi dapat diajukan pihak lain
yang tidak berperkara, termasuk pula kreditor lain yang bukan pihak pada
tingkat pertama, namun tidak puas terhadap putusan permohonan pailit yang
diputuskan.
[1]
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia, hal. 2
[2]
Ny. Retno Wulan S dan iskandar O, Hukum
acara perdata dalam teori dan praktek, hal. 1 dan 2
[3]
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia, hal. 11-18
[4]
Lilik Mulyadi S.H. Hukum Acara Perdata
Indonesia menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia. Hal. 7-8
[5]
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indonesia, hal. 2
[7]
Suyud Margono, “Alternative Dispute Resolution (ADR) dan Arbitrase”. Cetakan
ke-2 (Jakarta: Ghalia Indonesia 2004.) ,h. 60-61.
[8]
Yahya Harahap,” Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan.”( Jakarta: Sinar Grafika,2004), hlm 251-259.
[9]
Yahya Harahap, Ibid, h.259-268.
[10] Gatot
Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2006, hal. 151.
[11] Pasal
20 Perma No. 01 Tahun 2008.
[12] Pasal
3 Perma no. 01 Tahun 2008.
[13]Pasal
16 Perma No. 01 Tahun 2008
[14] Pasal 23
Perma Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
[15]
Lilik Mulyadi, S.H. Hukum Acara Perdatamenurut teori dan Praktik Peradilan
Indonesia, Hal 38
[16] Ibid, hal 42
[17] Ibid hal 43-46
[18] Sudikno ,Mertokusumo,Hukum
Acara Perdata Indonesia(edisi 8), Liberty ,Yogyakarata ,2009, hlm 122
[19]
Perlawanan yang sekiranya hendak dikemukakan
oleh tergugat (exceptie), kecuali tentang hal hakim tidak berkuasa, tidak akan
dikemukakan dan ditimbang masing-masing, tetapi harus dibicarakan dan
diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara.
Penjelasan:
1. Mr.
R. Tresna dalam bukunya yang berjudul "Komentar H.I.R." pada pasal
136 ini memberikan penjelasan bahwa dalam hal ini ada perbedaan sistem acara
perdata di muka "Raad van Justitie" dahulu: Pasal 114 ayat (1)
Reglemen Hukum acara perdata tersebut
eksepsi-eksepsi dan jawaban
yang mengenai pokok gugatan, apabila tidak, maka gugurlah eksepsi-eksepsi yang
tidak sekalian diajukannya dan jikalau tidak sekalian mengajukan jawaban yang
mengenai pokok gugatan, maka apabila eksepsinya ditolak, gugurlah hak untuk
mengajukan jawaban itu. Pengukuhan serupa itu tidak terdapat dalam pasal 136
H.I.R. Dengan demikian pemisahan antara eksepsi dan perlawanan pokok bagi
pemeriksaan di muka pengadilan Negeri tidak mempunyai arti.
2.
Apakah yang dimaksud dengan eksepsi, dikatakan bahwa eksepsi itu harus
diartikan sebagai perlawanan tergugat yang tidak mengenai pokok persoalannya,
melainkan misalnya hanya mengenai acara belaka.
Eksepsi itu macam-macamnya
seperti berikut:
1)
declinatoire exeptie, yaitu yang mengajukan perlawanan, bahwa pengadilan tidak
berkuasa mengadili atau bahwa tuntutan terhadapnya itu batal.
2)
dilatoire exeptie, yaitu yang mengajukan perlawanan, bahwa tuntutannya belum
sampai waktunya untuk diajukan, di antaranya oleh karma masih ada surat
perjanjian yang belum dipenuhi:~atau oleh karena jangka waktunya belum terlewat
atau oleh karena tergugat masih sedang berada di dalam waktu pertimbangan.
3)
paremptoire exeptie, yaitu yang mengajukan perlawanan mutlak terhadap tuntutan
penggugat, misalnya karena perkaranya sudah usang atau daluwarsa, oleh karena
yang digugat telah diberikan pembebasan dari utangnya, atau oleh karena telah
diadakan perhitungan bayar-membayar atau oleh karena telah ada keputusan
pengadilan yang tidak dapat digugat lagi.
3.
Walaupun pasal 136 H.I.R. memuat ketentuan yang tegas, akan tetapi di dalam
prakteknya pemeriksaan perkara-perkara perdata di muka Pengadilan Negeri
ketentuan tersebut tidak begitu dipegang dengan teguh.
Lagi pula, oleh karena
terhadap pasal 136 itu tidak ada sanksinya seperti halnya terhadap pasal 114
ayat (1) Reglemen Hukum acara perdata tersebut di atas, maka Mr. R. Tresna
berpendapat sesuai dengan pendapat Mr. Wirjono Projodikoro, bahwa pasal 136 itu
sebaiknya diartikan sebagai anjuran saja kepada tergugat supaya seberapa boleh
mengumpulkan segala sesuatu yang ingin diajukannya dalam jawabannya, pada waktu
ia mengadakan perlawanan pada permulaan pemeriksaan perkara.
(1) Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan
pengadilan Negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani
oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan
negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui
tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.
(2) Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal
di dalam itu dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal salah
seorang dari tergugat itu, yang dipilih oleh penggugat. Jika tergugat-tergugat
satu sama lain dalam perhubungan sebagai perutang
utama dan penanggung, maka penggugatan itu dimasukkan kepada ketua
pengadilan negeri di tempat orang yang berutang utama dari salah seorang dari
pada orang berutang utama itu, kecuali dalam hal yang ditentukan pada ayat 2
dari pasal 6 dari reglemen tentang aturan hakim dan mahkamah serta
kebijaksanaan kehakiman (R.O.).
(3) Bilamana tempat diam dari tergugat tidak dikenal, lagi pula
tempat tinggal sebetulnya tidak diketahui, atau jika tergugat tidak dikenal,
maka surat gugatan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat
tinggal penggugat atau salah seorang dari pada penggugat, atau jika surat gugat
itu tentang barang gelap, maka surat gugat itu dimasukkan kepada ketua
pengadilan negeri di daerah hukum siapa terletak barang itu.
(4) Bila dengan surat syah dipilih dan ditentukan suatu tempat
berkedudukan, maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugat itu
kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat
kedudukan yang dipilih itu.
Jika perselisihan itu suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan
pengadilan negeri, maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu, dapat
diminta supaya hakim menyatakan dirinya tidak berkuasa dan hakim pun wajib pula
mengakuinya karena jabatannya.
Penjelasan:
Eksepsi atau penyangkalan yang disebutkan dalam pasal-pasal 125
dan 133 itu dikenakan kepada penyangkalan wewenang pengadilan negeri yang
bersifat relatif, yaitu wewenang yang berhubungan dengan daerah hukumnya,
sedangkan eksepsi atau penyangkalan yang disebutkan dalam pasal 134 ini adalah
penyangkalan mengenai wewenang pengadilan negeri yang bersifat absolut, yaitu
wewenang yang berhubungan dengan sifat perkaranya.
Apabila mengenai wewenang yang bersifat relatif, eksepsi atau
penyangkalan itu hanya dapat diperhatikan, jika eksepsi itu diajukan dengan
segera pada sidang permulaan atau dengan surat jawaban yang dimaksud dalam
pasal 121, maka eksepsi atau penyangkalan wewenang yang bersifat absolut dapat
diajukan pada sembarang waktu dalam pemeriksaan perkara.
Apabila penyangkalan itu ternyata betul dan beralasan, maka hakim
karena jabatannya wajib mengakui, bahwa ia tidak berwenang.
Tergugat
berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan kecuali.
kalau
penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang gugatan melawan itu akan
mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;
kalau
pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak berhak memeriksa
gugatan melawan itu berhubung dengan pokok perselisihan.
dalam
perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.
Jikalau
dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugat melawan, maka dalam
bandingan tidak dapat memajukan gugatan itu.
Penjelasan:
Oleh karena bagi tergugat
diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya. untuk menggugat
kembali penggugat, maka tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan
tetapi cukup dengan memajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan
jawabannya terhadap gugatan lawannya. Gugatan melawan ini dapat diajukan baik
secara tertulis, maupun secara lisan (lihat pasal 132 b).
Dengan diberikannya kesempatan
untuk gugat-menggugat ini maka jalannya berperkara menjadi lebih lancar, oleh
karena dua persoalan dapat diperiksa sekaligus.
Pada sub 1,2 dan 3 dari pasal
ini disebutkan pengecualiannya, yaitu:
1.
Jikalau penggugat dalam perkara itu bertindak untuk orang atau badan lain,
sedangkan gugatan melawan itu untuk kepentingan pribadi penggugat. Hal ini
memang beralasan, sebab penggugat pertama dengan penggugat melawan di sini
merupakan dua oknum yang satu sama lain tidak ada hubungannya.
2.
Jikalau Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatan pertama tidak mempunyai
wewenang guna memeriksa gugatan melawan, seperti misalnya isi gugatan melawan
itu karena sifatnya termasuk kompentensi Pengadilan Agama atau pengadilan lain
yang bukan pengadilan Negeri itu.
3.
Jikalau perkara itu tentang sengketa mengenai eksekusi keputusan hakim, oleh
karena dalam pelaksanaan keputusan hakim itu pada hakekatnya sudah tidak ada
persoalan lagi tentang persengketaan, sebab segala sesuatu oleh hakim telah
diselesaikan, sehingga tidak ada alasan lagi untuk saling bergugatan.
(1) Jika
ada persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang, selagi belum
dijatuhkan keputusan atasnya atau selagi putusan yang mengalahkannya belum
dapat
dijalankan,
mencari akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap
maupun yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari penagih hutang,
maka atas surat permintaan orang yang berkepentingan ketua pengadilan negeri
dapat memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang
memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta harus diberitahukan akan
menghadap persidangan, pengadilan negeri yang pertama sesudah itu untuk
memajukan dan menguatkan gugatannya.
(2)
Orang yang berhutang harus dipanggil atas perintah ketua akan menghadap
persidangan itu.
(3)
Tentang orang yang harus menjalankan penyitaan itu dan tentang aturan yang
harus dituruti, serta akibat-akibat yang berhubung dengan itu maka pasal 197,
198, dan 199 berlaku juga.
(4) Pada
hari yang ditentukan itu, maka perkara diperiksa seperti biasa. Jika gugatan
itu ditolak, maka diperintahkan, supaya dicabut penyitaan itu.
(5)
Pencabutan penyitaan itu di dalam segala hal dapat diminta, jika ditunjuk
jaminan atau tanggungan lain yang cukup.
Jika
sudah lewat tempo yang ditentukan itu, dan yang dikalahkan belum juga memenuhi
keputusan itu, atau ia jika dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap,
maka ketua oleh karena jabatannya memberi perintah dengan surat, supaya disita
sekalian banyak barang-barang yang tidak tetap dan jika tidak ada, atau
ternyata tidak cukup sekian banyak barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan
itu sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut di dalam
keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya untuk menjalankan keputusan
itu.
Penyitaan dijalankan oleh panitera pengadilan negeri.
(1) Jika
ada persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang, selagi belum
dijatuhkan keputusan atasnya atau selagi putusan yang mengalahkannya belum
dijalankan,
mencari akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap
maupun yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari penagih hutang,
maka atas surat permintaan orang yang berkepentingan ketua pengadilan negeri
dapat memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang
memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta harus diberitahukan akan
menghadap persidangan, pengadilan negeri yang pertama sesudah itu untuk
memajukan dan menguatkan gugatannya.
(2)
Orang yang berhutang harus dipanggil atas perintah ketua akan menghadap
persidangan itu.
(3)
Tentang orang yang harus menjalankan penyitaan itu dan tentang aturan yang
harus dituruti, serta akibat-akibat yang berhubung dengan itu maka pasal 197,
198, dan 199 berlaku juga.
(4) Pada
hari yang ditentukan itu, maka perkara diperiksa seperti biasa. Jika gugatan
itu ditolak, maka diperintahkan, supaya dicabut penyitaan itu.
(5)
Pencabutan penyitaan itu di dalam segala hal dapat diminta, jika ditunjuk
jaminan atau tanggungan lain yang cukup
Barang
siapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan
untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang
itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.
Penjelasan:
Apabila kita membaca pasal ini, kita
mudah memperoleh kesan, bahwa seakan-akan para pengadu perkara pada pengadilan
negeri itu senantiasa harus membuktikan kebenaran hal-hal yang ia ajukan, pada
hal sesungguhnya bukan begitu, sebab yang harus dibuktikan kebenarannya itu
hanyalah segala sesuatu yang tidak disetujui oleh tergugat, seperti misalnya A
mengajukan gugatan pada pengadilan, menuntut agar supaya B mengembalikan sepeda
milik A yang berada di tangan B. Dalam tuntutan itu tidak perlu misalnya A
sebagai pemilik harus juga menyatakan dalam tuntutannya, bahwa. sepeda itu didapat
olehnya dari pembelian yang syah dengan melampirkan kwintasi tanda
pembayarannya, ia cukup mengemukakan bahwa ia adalah menjadi pemilik sebuah
sepeda yang ia terangkan tanda-tandanya, dan sepeda itu berada di tangan B yang
tidak mau menyerahkan kepada A, Apabila kemudian B menyangkal dan mengatakan
bahwa sepeda itu bukan milik A akan tetapi milik B sendiri, asal pembeliannya 6
bulan yang lalu dari toko X, maka B harus membuktikan apa yang ia katakan itu.
Apa yang tersebut dalam pasal 163 ini adalah yang biasa disebut "pembagian
beban pembuktian", yang maksudnya adalah bahwa yang harus dibuktikan itu
hanyalah perbuatan-perbuatan dan kejadian-kejadian yang dipersengketakan oleh
ke dua belah pihak yang berperkara, artinya yang tidak mendapat persetujuan kedua
pihak. Dengan kata-kata lain, bahwa perbuatan-perbuatan dan kejadian-kejadian
yang telah diakui atau yang tidak disangkal oleh pihak lawan, tidak usah
dibuktikan lagi.
Perlu
diterangkan di sini bahwa juga hal-hal yang telah diketahui oleh umum dan oleh
hakim sendiri tidak perlu dibuktikan, sebab "membuktikan" itu berarti
"memberikan kepastian kepada hakim" tentang adanya kejadian-kejadian
dan keadaan-keadaan itu. Pihak yang mengemukakan sesuatu kejadian atau keadaan,
baik penggugat maupun tergugat, yang tidak diakui oleh pihak- lawan, harus
membuktikan kejadian atau keadaan itu, seperti misalnya A (penggugat)
menerangkan, bahwa ia telah menjual dan menyerahkan barang-barang kepada B
(tergugat) dan menuntut dari pada B pembayaran harga pembelian itu. B menyangkal,
bahwa ia telah membeli dan menerima barang-barang itu. Dalam hal ini A harus
membuktikan penjualan dan penyerahan barang-barang itu. B (tergugat) dalam hal
ini tidak memajukan suatu kejadian atau keadaan tertentu, ia hanya menyangkal
saja apa yang diterangkan oleh A (penggugat), oleh karena itu B dari pihaknya
tidak usah membuktikan apa-apa.
Kalau
di samping penyangkalan itu, B mengatakan pula bahwa ia telah menerima
barang-barang itu sebagai hadiah dari A, maka B harus membuktikan. pemberian sebagai
hadiah itu, jika ini disangkal oleh A.
Menurut Prof. R. Subekti S.H. dalam
bukunya yang berjudul "Hukum Pembuktian", maka "pembagian beban
pembuktian" itu adalah suatu masalah yang amat penting dalam buku Hukum
Pembuktian, oleh karena itu pembagian beban pembuktian itu harus dilakukan
dengan adil dan tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban pembuktian
yang berat sebelah berarti apriori menjerumuskan pihak yang menerima beban yang
terlampau berat, dalam jurang kekalahan. Soal pembagian beban pembuktian ini
dianggap sebagai suatu soal hukum atau soal juridis, yang dapat diperjuangkan
sampai tingkat kasasi di muka mahkamah Agung.
Melakukan
beban pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum atau
undang-undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan
putusan hakim atau pengadilan rendahan yang bersangkutan. Melakukan beban
pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum atau
undang-undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan
putusan hakim atau pengadilan rendahan yang bersangkutan.
Pasal
1865 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (B.W.) atau pasal 163 H.I.R. sebenarnya
memang bermaksud memberikan pedoman dalam hal pembagian beban pembuktian.
Dalam
hal itu Malikul Adil dalam bukunya yang berjudul "Pembaharuan Hukum
Perdata Kita" mengatakan bahwa "Hakim yang insyaf akan arti
kedudukannya tidak akan lupa bahwa dalam membagi-bagi beban pembuktian, ia
harus bertindak jujur dan sportif, tidak akan membebankan kepada suatu pihak
untuk membuktikan hal yang tidak dapat dibuktikan."
Dalam
hubungan ini hukum material sering kali sudah menetapkan suatu pembagian beban
pembuktian, misalnya:
a. Adanya keadaan memaksa harus
dibuktikan oleh pihak debitur (pasal 1244 B.W.).
b. Siapa yang menuntut penggantian
kerugian yang disebabkan suatu perbuatan melanggar hukum, harus membuktikan
adanya kesalahan (pasal 1365 B. W.).
c. Siapa yang menunjukkan tiga kwitansi
yang terakhir, dianggap telah membayar semua angsuran (pasal 1394 B.W.).
d. Barang siapa menguasai suatu barang
bergerak, dianggap sebagai pemiliknya (pasal 1977 ayat (1) B.W.).
[27] Ayat (3) melarang hakim untuk
menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat atau meluluskan yang
lebih daripada yang digugat, seperti misalnya apabila seorang penggugat
dimenangkan di dalam perkaranya untuk membayar kembali uang yang dipinjam oleh
lawannya, akan tetapi ia lupa untuk menuntut agar supaya tergugat dihukum pula
membayar bunganya, maka hakim tidak diperkenankan menyebutkan dalam putusannya
supaya yang kalah itu membayar bunga atas uang pinjaman itu.
[29] Pasal 164
Maka
yang disebut alat-alat bukti, yaitu:
bukti
dengan surat
bukti
dengan saksi
persangkaan-persangkaan
pengakuan
sumpah
di
dalam segala hal dengan memperhatikan aturan-aturan yang ditetapkan dalam
pasal-pasal yang berikut.
Penjelasan:
1. Apa yang disebutkan sebagai alat-alat
bukti dalam pasal ini sebenarnya kurang lengkap. Menurut HIR sesungguhnya masih
ada lagi beberapa macam alat bukti lain lagi, seperti misalnya: hasil
pemeriksaan hakim sendiri atau hasil penyelidikan setempat yang tersebut dalam
pasal 154, hasil pemeriksaan orang ahli yang disebutkan dalam pasal 155 dan
begitu pula hal-hal yang diakui oleh umum, atau yang diakui kebenarannya oleh
kedua belah pihak.
2. Kalau kita bandingkan isi pasal ini
dengan pasal 295 HIR, maka sebagian daripada alat-alat bukti dalam perkara
perdata ini berlainan dari alat-alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana.
Kalau dalam pembuktian perkara pidana, keyakinan hakim mempunyai peranan
yang penting, maka dalam pembuktian
perkara perdata tidak demikian. Keyakinan hakim tidak berperanan sama sekali.
[30] M. Yahya Harahap, S.H., Hukum
Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika), cet. 10, 2010, h. 566
[31] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo,
S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta)
Ed. 7, 2006, h. 158
[32] Op. cit, h. 607
[33] Op. cit, h. 166
[34] Sudikno Mertokusumo, Op. cit,
h. 166
[35] Aza, Pembuktian dan Alat-alat
Bukti, artikel ini diposkan 9 Desember 2010 dari http://po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html.
[36] Prof. Subekti, S.H., Pokok-pokok
Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa), cet. 31, 2003, h. 181
[37] Abdullah Tw, Alat Bukti Dalam
Perkara Perdata, artikel diposkan pada 6 Mei 2010 dari http://advosolo.wordpress.com/2010/05/06/alat-bukti-dalam-perkara-perdata/
[38] Aza, Op. cit.
[39] Dr. Wahju Muljono, S.H., Kn., Toeri
dan Prakatik Peradilan Perdata Di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Yustisia),
h 117
[40] Prof. Subekti, S.H., Op. cit,
h. 183
[41] Ibid, h. 184.
[42] Bambang Sugeng A.S., S.H., M.H.,
dan Sujayadi, S.H., Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata
(Jakarta: Kencana), 2011, h 76
[43] Ibid
Hakim
karena jabatannya waktu bermusyawarat wajib mencukupkan segala alasan hukum;
yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.
Hakim
wajib mengadili atas segala bahagian gugatan.
Ia tidak
diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau
memberikan lebih dari pada yang digugat.
Penjelasan:
Dalam ayat (1) hakim harus
mencukupkan segala alasan hukum. Apakah yang dimaksud "alasan hukum"
itu? Alasan-alasan hukum yaitu pasal-pasal dari peraturan-peraturan
undang-undang yang digunakan sebagai dasar tuntutan penggugat, atau dasar yang
digunakan hakim untuk meluluskan atau menolak tuntutan penggugat.
Dengan adanya ketentuan ini
maka penggugat sebenarnya sekali-kali tidak perlu khawatir kalau ia lupa tidak
menyebutkan atau keliru mengemukakan pasal perundang-undangan yang ia pakai
untuk mendasarkan tuntutannya, sebab semuanya itu toh akan dibetulkan oleh
hakim yang pada hakekatnya berkewajiban menggunakan peraturan
perundang-undangan dalam mempertimbangkan perkara yang berada di tangannya.
Ayat (2) mewajibkan kepada
hakim mengadili dan memberikan putusan atas semua bagian dari apa yang digugat
atau dituntut, artinya apabila dalam gugatan itu disebutkan beberapa hal yang
dituntut seperti misalnya membayar pokok hutang, membayar bunga dan membayar
kerugian, maka atas ketiga macam tuntutan ini Pengadilan Negeri harus dengan
nyata memberikan keputusannya. Tidak diperkenankan misalnya, apabila atas
tuntutan yang pertama ia memberi keputusan meluluskan, sedangkan tuntutan kedua
dan ketiga tidak ia singgung sama sekali karena persoalannya sulit umpamanya.
Ayat (3) melarang hakim untuk menjatuhkan keputusan
atas perkara yang tidak digugat atau meluluskan yang lebih daripada yang
digugat, seperti misalnya apabila seorang penggugat dimenangkan di dalam
perkaranya untuk membayar kembali uang yang dipinjam oleh lawannya, akan tetapi
ia lupa untuk menuntut agar supaya tergugat dihukum pula membayar bunganya,
maka hakim tidak diperkenankan menyebutkan dalam putusannya supaya yang kalah
itu membayar bunga atas uang pinjaman itu.
[45]
Prof. R. Subekti, SH., Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, 1989,
Hal. 12
[46]
Yahya Harahap, Eksekusi Acara Perdata. Hal. 5
[47]
Ibid hal. 13
[48] Ibid hal. 20
[49] Pasal 180
Ketua
pengadilan negeri dapat memerintahkan supaya keputusan itu dijalankan dahulu
biarpun ada perlawanan atau bandingan, jika ada surat yang syah, suatu surat
tulisan yang menurut aturan yang berlaku dapat diterima sebagai bukti atau jika
ada hukuman lebih dahulu dengan keputusan yang sudah mendapat kekuasaan pasti,
demikian juga jika dikabulkan tuntutan dahulu, lagi pula di dalam perselisihan
tentang hak kepunyaan.
Akan tetapi hal
menjalankan dahulu, keputusan ini sekali-kali tidak dapat menyebabkan orang
disanderakan
[50] Riduan Syahrani, Hukum
Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum,cet. 1, (Jakarta :Sinar
Grafika,1994), hal. 94,
[51] Retnowulan Soetantio dan Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata dalam teori dan Praktek,cet.8.(Jakarta:
CV. Mandar Maju,1997), hal.149.
[52] sutantio,op.cit.,
hal 163.
[53] Supomo, Prof. Dr. , S.H., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta, Pradnjaparamita,
1967) hal 39.
[56]
R. Soeroso,Praktik Hukum Acara Perdata,
Tata Cara, Proses Persidangan, cet. 1,(Jakarta: Sinar Grafika,
1994),hal.92.
[58]
R. Subekti, Hukum Acara Perdata,Cet.
2, (Bandung: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, 1997),
hal.171-172.
[59]
E. Sundari, S.H., M.Hum., Pengajuan
Gugatan Secara Class Action, (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2002), hal. 10.
[60]
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan hal. 258
[61]
Rudy A. Lontoh. Penyelesaian Utang
Piutang Melalui Pailit. Hal 159
[63] Ibid 11-13
No comments:
Post a Comment