Tuesday, May 24, 2016

PENGARUH KEPEMIMPINAN TERHADAP KEBIJAKAN PERTANIAN SERTA SEJARAH PERTANIAN DI INDONESIA



1.1 Perkembangan Kebijakan Pertanian/Pangan dari masa ke masa

a.     Presiden Soekarno

Pada masa kepemimpinan bapak presiden pertama Republik Indonesia yaitu Presiden Soekarno dimulai pembangunan dibidang pertanian dengan menasionalisasi semua sektor pertanian yang dulunya milik Hindia Belanda hingga menjadi milik Indonesia. Dan kebijakan dan tindakan beliau yang paling terkenal di bidang pertanian adalah Pidato nya saat hendak mendirikan Fakultet Pertanian Universitas Indonesia (IPB) di Bogor. Bahkan beliau dalam pidato peresmian dan pembukaan Fakultas Pertanian ini beliau memberi judul  “Hidup atau mati“ .[1] Dalam pidatonya ini juga ini juga bagaimana Presiden Soekarno membahas perhitungan dari kebutuhan pangan, ketersediaan pangan, tingkat pertambahan penduduk, iklim indonesia serta perekonomian negara akibat pertanian. Beliau meyakinkan seluruh pemuda-pemudi SMA pada saat itu untuk masuk fakultas Pertanian UI di Bogor sebagai cara untuk mengatasi ketergantungan Indonesia atas Import beras yang dilakukan Indonesia terus menerus. Inilah yang menjadikan Soekarno terdepan diantara semua presiden di Indonesia dalam menganalisis situasi sosial ekonomi petani. Marhaenisme yang diperkenalkan tidak lepas dari sosok petani yang hidup dengan kesederhanaan  dan berbagai keterbatasan namun masih bisa bertahan hidup. Saat Soekarno kecil hidupnya dikelilingi situasi kemiskinan petani sebagai akibat politik kaum penjajah yang tidak adil.
Tentu sebagai manusia yang terdidik di zamannya, nurani Soekarno muda yang begitu mencintai bangsanya mendorong kepribadiannya untuk berusaha melawan perilaku jahat kolonialisme dan imperialisme. Soekarno tahu betul bahwa pertanian adalah mata pencaharian utama bangsa Indonesia, tapi justru nasib petani jauh dari situasi kesejahteraan. Yang terjadi adalah semakin merosotnya derajat sosial petani Indonesia dibandingkan profesi lainnya. Pada satu pidato yang sangat terkenal di IPB, Soekarno menegaskan bahwa pangan itu hidup matinya sebuah bangsa, dan petani adalah tulang punggung utama pangan Indonesia sehingga sebenarnya petani itu sokoguru bangsa Indonesia.Sejarah membuktikan bahwa bangsa-bangsa yang maju memberikan kedaulatan pangan sebagai prioritas utama. Mengingat sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, tindakan untuk meninggalkan pertanian sebagai sektor strategis adalah tindakan mengubur lubang bagi bangsanya sendiri. Thailand, Vietnam dan India bisa menjadi contoh bahwa ketika mereka menjadikan pertanian sebagai sumber kekuatan ekonomi rakyatnya, maka hari ini bangsa-bangsa tersebut bisa duduk setara dan
disegani oleh bangsa-bangsa lainnya.
Semangat Soekarno yang menyala-nyala untuk menjadikan petani  terlepas dari berbagai belenggu kemiskinan harus menjadi PR bersama seluruh elemen bangsa. Amanat pancasila sila ke-5 dan UUD 1945  pasal 33 sudah begitu jelas, bahwa pertanian yang adil menjadi kebutuhan utama untuk mengatasi situasi yang berkembang hari ini.

Soekarno dan Landreform
Soekarno memahami, bahwa membangun ekonomi bangsa harus dimulai dari menata struktur penguasaan tanah khususnya lahan pertanian. Selama periode transisi 45-60, politik agraria kita masih menggunakan dasar hukum Belanda dan sebagian tata cara pengelolaan tanah pertanian dan perkebunan ala Jepang. Pola penguasaan tanah belum diatur dalam undang-undang. Dalam kondisi seperti ini, pemilikan, penguasaan,  dan pemanfaatan tanah tidak berada dalam strategi pembangunan ekonomi nasional, tetapi lebih bersifat temporer dan reaktif.
Memang di masa 1945 sampai diberlakukannya UUPA 24 September 1960, sempat juga dilahirkan beberapa UU yang mengatur soal-soal pertanahan seperti penghapusan tanah partikelir dan desa perdikan.UUPA 1960, pada prinsipnya berisi lima hal, yaitu :
1.      Sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945
2.      Negara membatasi luas maksimal pemilikan tanah untuk menghindari  tumbuhnya tuan tanah yang menghisap tenaga kerja petani melalui system sewa dan gadai
3.      Negara mempunyai wewenang untuk mengeluarkan sertifikat atas tanah bagi warga Negara Indonesia tanpa membedakan jenis kelamin dan berdasarkan prinsip nasionalitas
4.      Tanah harus dikerjakan sendiri secara aktif dan melarang pemilikan tanah pertanian yang tidak dikerjakan sendiri karena akan menimbulkan tanah terlantar atau meluaskan relasi buruh tani dan pemilik tanah yang cenderung memeras.
5.      Negara memberi bukti kepemilikan hak atas tanah untuk member i kepastian hukum kepada petani pemilik tanah

UUPA   ingin   melakukan   pembaharuan   agraria   yang   dapat   memberikan kemakmuran   kepada   rakyat   Indonesia   yang   sebagian   besar   kehidupannya tergantung kepada sector agraris.
Tujuan dari diadakannya pembaharuan agraria, antara lain :
·         Untuk   membagi   secara   adil   sumber   penghidupan   petani   dengan merombak struktur pertanahan secara revolusioner
·         Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk pertanian agar tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulatif dan obyek pemerasan
·         Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah baik setiap WNI yang bersifat social
·         Untuk mengakhiri system tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan
penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimal dan minimal untuk tiap keluarga
·         Untuk mempertinggi produksi dan mendorong pertanian intensif secara
gotong-royong dalam bentuk koperasi dan bentuk lainnya, untuk mencapai
kesejahteraan yang merata dan adil dibarengi dengan system perkreditan
yang khusus ditujukan kepada golongan tani
Upaya yang dilakukan berdasarkan UUPA untuk menata struktur agraria, yaitu:
·         Menata pola hubungan penguasaan tanah antara petani pemilik dan buruh
tani atau penggarapnya, di berlakukannya UUPBH (UU Perjanjian Hasil Bagi)
·         Membatasi luas pemilikan tanah oleh sebuah keluarga
·         Meredistribusikan tanah Negara kepada petani yang memerlukan atau sebelumnya menggarap tanah tersebut
Land reform di masa Soekarno dijalankan melalui ”Paket UU Landreform” seperti UUPA, UU Pokok Bagi Hasil. UU Penetapan Batas Maksimum Tanah Pertanian. Dalam operasionalisasinya digunakan PP 224/1961 tentang Pelaksanaan Distribusi dan Ganti Rugi Tanah, PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah, UU No.21/1964 Pengadilan Landreform. Menurut penulis, secara mudah operasionalisasi dari UU dan peraturan-peraturan tersebut adalah:
Pertama, untuk membatasi kepemilikan tanah pertanian oleh para tuan tanah, maka dilakukan pembatasan luas maksimum yang diperbolehkan petani untuk dimiliki.
Kedua, Diberlakukan penentuan bagi hasil pertanian yang menguntungkan bagi penggarap, sehingga para pemilik tanah yang tidak menggarapnya secara langsung terdorong untuk menjual tanahnya melalui kebijakan ini. Penentuan Bagi Hasil pertanian ini juga dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan harga tanah yang diambil oleh pemerintah dari para pemilik tanah lama.
Ketiga, untuk mencari tanah objek land reform di berbagai wilayah khususnya desa-desa, dilakukan pendaftaran atau registrasi tanah oleh pemerintah desa dan organisasi petani. Sehingga melalui proses pendaftaran ini ditemukan tanah guntai, tanah kelebihan maksimum dan tanah negara bebas lainnya untuk dijadikan objek land reform.
Keempat, dibentuk Panitia Land Reform yang melibatkan unsur pemerintah dan organisasi petani mulai dari tingkat nasional hingga tingkat desa. Panitia ini yang melaksanakan land reform khususnya menentukan objek, subjek dan mekanisme redistribusi.
Terakhir, meskipun terlambat disahkan, Jika terjadi konflik dalam pelaksanaan land reform apakah itu soal penentuan objek, subjek, mekanisme redistribusi dan keluhan lainnya diselesaikan melalui pengadilan landreform.

b.      Presiden Soeharto

“Peningkatan produksi pangan bertudjuan agar Indonesia dalam waktu lima tahun jang akan datang tidak usah meng- impor beras lagi . Tudjuan lain ialah memperbaiki mutu gizi pola konsumsi manusia Indonesia melalui peningkatan produksi pangan jang mengandung protein chewani dan nabati, terutama ikan dan katjang-katjangan. Akibat positif dari peningkatan produksi beras ialah bahwa lambat-laun tidak perlu lagi mengimpor pangan, sehingga dengan demikian devisa jang langka itu dapat digunakan untuk mengimpor barang modal dan bahan baku jang diperlukan untuk pembangunan sektor-sektor lain, terutama sektor indus-tri. Selandjutnja, peningkatan produksi pangan akan meningkat-kan pendapatan petani-petani pangan. Ini akan meningkatkan taraf penghidupan para petani jang telah sekian lamanja hidup dalam serba kesengsaraan dan kemiskinan.”[2]
Berakhirnya masa orde lama serta dimulainya orde baru dengan pemimpin yang berbeda yaitu Jenderal Soeharto. Berbeda presiden berbeda kebijakan yang terjadi. Pada masa kepemimpinan Soeharto, beliau menjadikan Pertanian dan Pembangunan sebagai tugas utama di kepemimpinannya. Hal ini dapat dilihat dengan program REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Repelita sendiri ada 6 periode yaitu repelita 1 hingga repelita 6. Pembangunan sektor pertanian ini merupakan wujud dari Revolusi Agraria di Indonesia yang ditempuh melalui empat langkah, yaitu:
·         intensifikasi,
·         ekstensifikasi,
·         diversifikasi, dan
·         rehabilitasi pertanian.
Beras sendiri, seperti sudah disebutkan tadi, menjadi komoditas yang menjadi fokus utama di Pelita I. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi beras, antara lain melalui pembuatan dan perbaikan sarana irigasi di berbagai daerah persawahan, pemberian modal bagi masyarakat petani, penelitian dan penggunaan bibit unggul, serta modernisasi pertanian melalui teknologi.
Pada masa kepemimpinan Soeharto tepatnya pada Repelita IV yang dilaksanakan sejak tanggal 1 April 1984 – 31 Maret 1989. Yang mana Repelita IV berhasil mencapai target swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasilnya Indonesia berhasil swasembada beras. Kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia.
Pencapaian inilah yang selalu dibanggakan oleh kepemimpinan soeharto hingga saat ini. Pencapaian yang sangat luar biasa diagung-agungkan tanpa melihat cara yang dilakukan oleh pemerintahan untuk mencapai hal tersebut.


c.      Presiden Habibie

Pada masa kepemimpinan presiden Habibie yang hanya menyisakan kurang dari setahun. Beliau lebih fokus dalam mengembalikan perekonomian serta keamanan negara pasca kerusuhan 98. Sehingga kebijakan pertanian yang dia lakukan adalah melanjutkan kebijakan masa Soeharto yaitu Repelita VI.

d.     Presiden Abdurrahman Wahid

Pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid pada bidang pertanian beliau tidak terlalu memfokuskan bidang pertanian karena beliau lebih fokus bidang pemersatuan negara Republik Indonesia. Karena pada saat itu, negara Republik Indonesia banyak mengalami masalah separatisme. Akan tetapi di bidang pertanian ada satu kebijakan yang paling di ingat dari masa kepemimpinannya yaitu dimana beliau melanjutkan kembali sejumlah poin kesepakatan yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia yang tertuang di dalam LoI dengan IMF. Melalui Undang-Undang No 23 Tahun 1999, dilakukan penghapusan fasilitas pemberikan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang selama ini melekat pada Bulog. KLBI merupakan fasilitas finansial yang diberikan kepada Bulog untuk membeli kelebihan produksi beras yang dihasilkan oleh petani. Praktis dengan begitu, Indonesia tidak lagi memiliki payung hukum yang jelas mengenai keberadaan kelembagaan lumbung pangan nasional.Ini merupakan salah satu kebijakan kontroversial dari Beliau, yang mana kebijakan ini danggap telah mematikan sektor petani lokal.

e.      Presiden Megawati Soekarnoputri

Menjabatnya Presiden wanita pertama Indonesia ini setelah melengserkan Presiden Abdurrahman Wahid di puncak kepemimpinan dikarenakan tindakan kontroversial yang dilakukan oleh Gus Dur.
      Pada masa kepemimpinan Megawati peran Bulog mulai dihidupkan secara perlahan olehnya melalui Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 2003. Dimana pemerintah nampaknya sedikit berhati-hati menetapkan status Bulog agar tidak melanggar ketentuan yang digariskan melalui LoI 1998. Melalui peraturan pemerintah tersebut, untuk pertama Bulog ditempatkan sebagai lembaga logistik dengan misi ganda, yaitu misi publik (Public Service Obligation) dan misi komersial atau misi mencari keuntungan. Untuk misi PSO, Bulog diarahkan menjadi pemasok tunggal bagi program beras miskin (raskin) yang diharapkan mampu mempengaruhi harga beras (stabilisasi). Melalui peraturan pemerintah itu pula Bulog ditetapkan status kelembagaannya dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum yang berada di bawah naungan Kementrian BUMN.
Presiden Megawati juga melakukan perubahan kebijakan harga dasar yang diganti dengan kebijakan harga pembelian pemerintah (procurement price). Ketetapan tersebut dilaksanakan melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan. Secara konsepsional, harga pembelian pemerintah tidak sama dengan harga dasar (floor price). Konsep harga pembelian berpedoman pada target kuantitas, yaitu pembelian sejumlah tertentu pada harga tersebut. Pengaruh terhadap keseimbangan harga di pasar tidak menjadi prioritas. Konsep tersebut tidak selalu berpihak pada kepentingan petani, bahkan secara konseptual pula tidak bisa menjamin harga ideal yang dikehendaki oleh para petani. Pemerintah agaknya hanya mencoba menggerakkan kembali peran Bulog agar lebih mampu untuk memfungsikan secara kelembagaan untuk melakukan stabilisasi harga. Sekalipun demikian, stabilisasi harga tersebut seringkali hanya bersifat sementara, serta tidak mampu menahan kerentanan terhadap gejolak harga yang bersumber dari luar (impor beras).

f.       Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Presiden ini dikenal dengan proyek subsidinya, semua hal disubsidikan oleh beliau tidak terkecuali pertanian. Subsidi itu pada input-input penting, seperti pupuk, bibit, bunga kredit, dan penyuluhan. Kebijakan subsidi sebelumnya hanya dikenakan untuk subsidi pupuk. Sayangnya, kebijakan yang mungkin bisa disebut sebagai terobosan dalam kebijakan pertanian di Indonesia tidak banyak membantu untuk melindungi petani. Biaya oportunitas untuk mengelola lahan pertanian menjadi semakin mahal, akibat regulasi di bidang agraria yang kurang menguntungkan petani. Sekalipun biaya input seperti pupuk dan bibit bisa ditekan, tetapi biaya-biaya input yang lebih besar tidak dapat dibendung dengan hanya bertahan dengan mata pencaharian sebagai petani. Akibatnya, jumlah petani dan sumber daya manusia di sektor pertanian di pedesaan terus menyusut setiap tahunnya.
Program 'Revitalisasi Pertanian' yang dibawa oleh Presiden Yudhoyono sebenarnya berupaya untuk mendongkrak produksi padi dengan melibatkan peran dari swasta. Program ini pun terbuka bagi pemodal asing untuk mengambil bagian dalam mendirikan farm industry. Program ini sudah berjalan dari sejak tahun 2007 yang pengembangannya difokuskan di Kawasan Timur Indonesia (KTI).[3] Sayangnya, program revitalisasi pertanian tersebut tidak banyak menyentuh potensi besar dari keberagaman tanaman pangan melalui pemberdayaan tanaman pangan lokal. Kerja sama yang dijalin bersama pusat penelitian pangan di Xinchua (China) pun hanya membawa bibit-bibit beras yang diharapkan bisa cocok dibudidayakan di Indonesia. Pada akhirnya, rencana swasembada beras di tahun 2014 nanti pun tidak akan mampu menyelesaikan ketergantungan pangan utama bangsa Indonesia terhadap beras. Sehingga target yang ditetapkan oleh SBY yaitu swasembada pangan 2014 tidak pernah tercapai.

g.     Presiden Jokowi

Masa kepemimpinan Presiden Jokowi yang masih kurang dari 2 tahun masih belum memberi dampak terhadap ketahanan pangan serta peningkatan produktifitas pertanian di Indonesia. Akan tetapi perencanaan beliau dengan tujuan mencapai kemandirian pangan yang tidak hanya sekadar ketahanan pangan yang di terapkan pemimpin sebelumnya. Kemandirian pangan yang dibawa oleh beliau apabila berjalan dengan baik akan sangat baik.


1.2 Kondisi Ketahanan Pangan di Indonesia

Program ketahanan pangan telah dilakukan sejak zaman Presiden Soekarno dengan Program Berdikari, begitu pula zaman Presiden Soeharto dikenal dengan Program Swasembada Pangan. Sehingga dapat dikatakan bahwa ada usaha yang cukup berperan dalam meningkatkan upaya ketahanan pangan di Indonesia. Indonesia sempat dikenal sebagai negara dunia ketiga yang sukses dalam swasembada pangan, dan bahkan pernah mendapatkan penghargaan dari FAO. Di penghujung tahun 1980-an, Bank Dunia memuji keberhasilan Indonesia dalam mengurangi angka kemiskinan yang patut menjadi contoh bagi negara-negara sedang berkembang.[4]Namun prestasi ini tidak berlangsung lama dapat dipertahankan.
Kondisi saat ini, pemenuhan pangan sebagai hak dasar masih merupakan salah satu permasalahan mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indonesia. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 menggambarkan masih terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, yaitu belum terpenuhinya pangan yang layak dan memenuhi syarat gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli, masih rentannya stabilitas ketersediaan pangan secara merata dan harga yang terjangkau, masih ketergantungan yang tinggi terhadap makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi pangan, belum efisiensiennya proses produksi pangan serta rendahnya harga jual yang diterima petani, masih ketergantungan terhadap import pangan.

1.3 Kendala Mewujudkan Ketahanan Pangan

Kondisi sekarang pembangunan pertanian khususnya pangan di Indonesia saat ini terkendala pada kondisi sumber daya manusia yang mau bergerak dan mencintai pertanian lagi, dari kondisi yang ada saat ini maka kegiatan-kegiatan pengembangan pertanian harus kita dukung dengan upaya-upaya yang sangat signifikan bisa mengungkit produksi, salah satunya bahwa kita harus swasembada pangan dalam 3 tahun ke depan (Padi, Jagung , Kedelai) kemudian ditambah lagi beberapa komoditas cabai, bawang, dan holtikultura lainnya serta termasuk juga daging dan tepung. Kondisi ini tentunya membutuhkan perhatian kita semua salah satu yang dihadapi saat ini adalah terbatasnya tenaga kerja, yang kedua semakin berkurangnya minat generasi muda untuk turun kedunia pertanian. Solusi dari Kementrian Pertanian yang pertama adalah bagaimana menumbuhkan minat generasi muda kembali kepada dunia pertanian, tentunya pertanian juga harus bisa mengikuti trend atau perkembangan dunia pertanian di negara-negara maju. Ketiga, perhatian pemerintah terhadap sector pertanian kerap kali menjadi anak tiri dibandingkan dengan sector-sektor yang lebih besar seperti pertambangan dll.
Keempat, Pemerintah yang cenderung merasa lebih aman apabila kita mengimport hasil pertanian dari luar negeri karena lebih murah dan lebih gampang.


[1] Almanak Pertanian 1953 hal: 11 – 20; di-EYD-kan oleh Winarso D Widodo
[2] Buku Pedoman Repelita
[3] Penyediaan/perbaikan infrastruktur termasuk sistem perbenihan/perbibitan dan riset, Penguatan kelembagaan, Perbaikan sistem penyuluhan, Penanganan pembiayaan pertanian terutama upaya untuk memobilisasi dana masyarakat di Perbankan dan Fasilitasi pemasaran hasil pertanian
[4] World Bank,1990

No comments:

Post a Comment