Sunday, September 25, 2016

Wawasan Nusantara


Pada dasarnya, tidak dapat dipungkiri bahwa ada keterkaitan antara orang yang hidup dalam latar geografik, klimatik, dan ekologi yang berbeda dengan cara pandang dalam memahami kehidupan, diri, dan lingkungannya. Pada dasarnya ini adalah hubungan antara konsep geografis, dengan antropologis, dengan psikologis.
Geografi pada dasarnya adalah ilmu yang mempelajari tentang bumi beserta isinya. Isi dari bumi itu sendiri adalah flora, fauna, manusia dan bentang alam yang ada dipermukaan bumi.[1] Melihat obyek kajian dari geografi yang juga menyebut manusia, maka tidak bisa dipungkiri lagi kalau geografi memerlukan antropologi dalam kajiannya. Penyebabnya karena antropologi mempelajari tentang berbagai warna manusia, baik dari segi suku bangsa, etnis, maupun ras. Sebaliknya, antropologi juga memerlukan geografi untuk memepelajari tentang bentang alam. Karena salah satu yang mempengaruhi kebudayaan manusia adalah keadaan lingkungan fisik tempat mereka hidup.[2]
Sedangkan Psikologi itu sendiri pada hakikatnya adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia dan proses-proses mentalnya. Dapat dikatakan bahwa psikologi lebih menekankan apad pendekatan internal, yaitu dari daam diri seseorang,[3] sedangkan antropologi lebih menekankan pada aspek eskternalnya, yiatu lingkungan. Kedua unsure ini saling terkait dan tidak dapat dipisahkan dalam membentuk sebuah kebudayaan. Untuk memahami pola-pola kebudayaan dalam masyarakat, seorang antropolog harus memperhatikan interaksi yang terjadi antara kedua unsure tersebut. Sedangkan seorang psikolog juga harus memperhatikan unsur eksternal yang membentuk sifat seseorang.
Selain antropologi, pendekatan dalam ilmu sosiologi juga amatlah berpengaruh. Sosiologi itu sendiri ialah ilmu masyarakat yang mempelajari tentang struktur social yakni keseluruhan jalinan social antara kaidah-kaidah social, kelompok-kelompok social, dan lapisan-lapisan social. Sosiologi juga mempelajari proses social yaitu pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama.[4]
Apabila kita andaikan dalam suatu contoh, misalkan Masyarakat yang beriklim 4 Musim, pada umumnya amat menghargai musim panas. Bahkan musim panas rata-rata dijadikan sebagai musim liburan. Masyarakat yang beriklim 4 musim amat menghargai dan memanfaatkan matahari dengan maksimal. Hal ini berbeda dengan masyarakat yang berada di garis khatulistiwa.
Contoh lainnya yang juga relevan ialah, kondisi masyarakat Afrika tengah yang rata-rata di negaranya minim air. Masyarakat Afrika tengah amatlah menghargai keberadaan sumber air. Hal ini jelas berbanding terbalik dengan masyarakat-masyarakat yang tinggal dalam negara yang memiliki banyak supply air.
Namun, hal itu tidak dapat sepenuhnya dikatakan mempengaruhi cara tiap-tiap masyarakat tersebut memahami kehidupan baik diri sendiri maupun lingkungannya. Ada begitu banyak faktor lain yang bisa mempengaruhi cara pandang seseorang dalam memaknai kehidupan itu sendiri.
Hal ini dapat terlihat dalam kenyataan sehari-hari. Misalkan orang Indonesia dan orang di seluruh dunia secara umum, pasti sama-sama memiliki keinginan untuk ramah lingkungan. Kemudian contoh berikutnya, Misalkan orang Indonesia yang tidak pernah merasakan musim dingin, tidak berada di wilayah perkotaan, berada dalam wilayah geografis strategis antar benua yang berbeda dengan kondisi geografis amerika, namun tetap mempunyai cita-cita yang sama dengan American Dreams. Sama-sama ingin mengejar kesuksesan materialistis. Meskipun, sekali lagi, letak geografis kedua tempat tersebut amatlah jauh berbeda.
Hal tersebut dipicu karena adanya berbagai macam faktor yang ada dan berbeda dalam diri masing-masing individu. Sehingga, benar memang bahwa perbedaan klimatik, ekologi, dan geografik, dapat membuat perbedaan cara pandang bagi seorang individu atau suatu kelompok masyarakat dalam memahami keadaaan disekitar, kehidupan, dan lingkungannya. Namun hal itu tidaklah mutlak dan menjamin pasti perbedaan tersebut terjadi. Semua tergantung individu masing-masing, dan bergantung pula dengan berbagai macam faktor-faktor yang ada dan yang mempengaruhi tiap-tiap individu.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbentuk republik, terletak di kawasan Asia Tenggara. Indonesia memiliki lebih kurang 17.000 buah pulau dengan luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan 3.257.483 km2.
Berdasarkan posisi geografisnya, negara Indonesia memiliki batas-batas sebagai berikut : 
     Utara : Negara Malaysia, Singapura, Filipina, Laut Cina Selatan.
     Selatan : Negara Australia, Samudera Hindia
     Barat : Samudera Hindia
     Timur : Negara Papua Nugini, Timor Leste, Samudera Pasifik
 Posisi Indonesia terdiri atas letak astronomis dan letak geografis yang berbeda pengertian dan pandangannya.
1.      Letak Astronomis
Letak astronomis suatu negara adalah posisi letak yang berdasarkan garis lintang dan garis bujur. Letak astronomis Indonesia Terletak di antara 6oLU – 11oLS dan 95oBT – 141oBT Berdasarkan letak astronomisnya Indonesia dilalui oleh garis equator, yaitu garis khayal pada peta atau globe yang membagi bumi menjadi dua bagian sama besarnya. Garis equator atau garis khatulistiwa terletak pada garis lintang 0o. 

 

2.      Letak geografis
Letak Geografis dan Posisi Silang Indonesia terhadap negara lain Letak geografis adalah letak suatu daerah atau wilayah dilihat dari kenyataan di permukaan bumi. Berdasarkan letak geografisnya, kepulauan Indonesia di antara Benua Asia dan Benua Australia, serta di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Dengan demikian, wilayah Indonesia berada pada posisi silang, yang mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan iklim dan perekonomian.

A. ARTI LETAK INDONESIA di BOLA DUNIA
Letak ini sangat strategis untuk negara Indonesia, sebab tidak hanya kondisi alam yang mempengaruhi kehidupan penduduk Indonesia, tetapi juga lintas benua dan samudera ini berpengaruh terhadap kebudayaan yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan asing, yakni dalam bidang seni, bahasa, peradaban, dan agama dengan keanekaragaman suku-bangsa yang kita miliki. Selain kebudayaan, Indonesia juga mendapatkan keuntungan ekonomis, seperti: pertama, kerjasama antar negara-negara berkembang sehingga memiliki mitra kerjasama yang terjalin dalam organisasi, seperti ASEAN (Association of Southeast Asian Nations/Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara)[2]; kedua, seperti terlihat pada gambar di atas dapat diketahui Indonesia sebagai inti jalur perdagangan dan pelayaran lalu lintas dunia, jalur transportasi negara-negara lain, sehingga menunjang perdagangan di Indonesia cukup ramai dan sebagai sumber devisa negara.
Diketahui secara geografis wilayah Indonesia sangat luas, maka negara kita dikenal sebagai Negara Kepualauan atau Negara Maritim. Ini terbukti dari luas wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang terdiri dari pulau-pulau, dengan memiliki ± 17.000 buah pulau dengan luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan 3.257.483 km2. Dengan wilayah Indonesia yang begitu luasnya, maka memiliki keuntungan-keuntungan, sebagai berikut:
a)               mempermudah hubungan dengan negara lain, ikatan dagang;
b)               lalu lintas perdagangan damai dan lancar;
c)               persaingan yang menguntungkan; dan
d)              sumber daya kelautan yang berlimpah.
Keuntungan lainnya, seperti pada keanekaragaman budaya. Ini menjadi daya tarik bagi masyarakat dunia, sehingga Indonesia menjadi suatu wilayah salah satu tujuan utama untuk berwisata. Dengan kecantikan alam dan keanekaragaman budaya bangsa kita, maka sektor pariwisata menjadi salah satu sumber devisa negara.
Namun letak Indonesia ini juga mempunyai efek negatif salah satunya adalah pada tatanan kehidupan sosial, masyarakat Indonesia dapat dengan mudahnya terpengaruh oleh budaya luar yang diserap tanpa adanya proses penyaringan (selektif) terhadap budaya yang negatif, sehingga akan menumbuhkan dampak sosial yang kurang baik. Budaya negatif yang diserap tanpa proses selektif dapat mempengaruhi masyarakat Indonesia, seperti: sifat individualisme, dan cara pandang yang terlampau luas. Budaya negatif ini dapat mengakibatkan rasa hormat menghormati dan sopan santun antar sesama luntur, budaya lokal kurang dipertahankan atau mulai ditinggalkan.

 Wawasan Nusantara pada dasarnya adalah klaim kewilayahan Republik Indonesia yang sudah dimulai sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, mendapat momentum penting dengan Deklarasi Juanda 1957 dan memuncak pada diakuinya konsep negara kepulauan (archipelagic state) dalam UNCLOS 1982. Klaim kewilayahan ini dikonseptualisasikan sebagai “Wawasan Nusantara” yang merupakan klaim politik kewilayahan sebagai negara kepulauan, yang artinya Indonesia bukanlah negeri dengan pulau-pulau yang dipisahkan oleh lautan, melainkan negeri lautan yang didalamnya terdapat pulau-pulau, yang dipahami tidak saja sebagai kesatuan politik (wilayah kedaulatan RI), tetapi juga kesatuan sosial budaya (Bangsa Indonesia), dan karena itu juga satu kesatuan ekonomi (perekonomian nasional) serta kesatuan sistem pertahanan dan keamanan.
            Bangsa Indonesia sebagai satu kerakyatan (volkische staat; peopledom), di mana Bangsa Indonesia didefinisikan sebagai orang-orang yang berdiam dan berketurunan di lautan dan daratan Indonesia, di mana lautan dan daratan Indonesia dengan berbagai sumberdayanya merupakan sumber penghidupan bagi Bangsa Indonesia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
            Dengan berpegangan pada wawasan nusantara sebagai doktrin geopolitik dan geostrategi Indonesia, di mana dengan 17,508 pulau yang membentuk garis pantai sepanjang 95,181 km, dan dengan luas wilayah lautan 5,8 juta km2, sedangkan daratannya hanya 1,9 juta km2, maka Bangsa Indonesia seharusnya menginsyafi sepenuhnya untuk memusatkan perhatian dan kegiatannya di wilayah pesisir. Dalam rangka mewujudkan wawasan nusantara, maka perlu dilaksanakan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP2K) berbasis hak yang merupakan pelaksanaan dari kebijakan ekonomi lautan yang berpihak pada orang miskin (pro-poor), berorientasi mencipatakan lapangan kerja (pro job), transformasi dari moda subsisten menjadi industri (pro-growth), dan akhirnya semua harus dikelola secara berkelanjutan (pro-sustainability).





[1] Iwan Hermawan, Geografi, Sebuah Pengantar. (Jakarta: LIPI Press, 2009), hlm. 21

[2] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm.36

[3] Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta: Andi Publisher, 2006), hlm, 13
[4] Selo Soemardjan, Setangkai Bunga Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1964), hlm. 23 

No comments:

Post a Comment