Pada
dasarnya, tidak dapat dipungkiri bahwa ada keterkaitan antara orang yang hidup
dalam latar geografik, klimatik, dan ekologi yang berbeda dengan cara pandang
dalam memahami kehidupan, diri, dan lingkungannya. Pada dasarnya ini adalah
hubungan antara konsep geografis, dengan antropologis, dengan psikologis.
Geografi
pada dasarnya adalah ilmu yang mempelajari tentang bumi beserta isinya. Isi
dari bumi itu sendiri adalah flora, fauna, manusia dan bentang alam yang ada
dipermukaan bumi.[1]
Melihat obyek kajian dari geografi yang juga menyebut manusia, maka tidak bisa
dipungkiri lagi kalau geografi memerlukan antropologi dalam kajiannya.
Penyebabnya karena antropologi mempelajari tentang berbagai warna manusia, baik
dari segi suku bangsa, etnis, maupun ras. Sebaliknya, antropologi juga
memerlukan geografi untuk memepelajari tentang bentang alam. Karena salah satu
yang mempengaruhi kebudayaan manusia adalah keadaan lingkungan fisik tempat
mereka hidup.[2]
Sedangkan
Psikologi itu sendiri pada hakikatnya adalah ilmu yang mempelajari tentang
perilaku manusia dan proses-proses mentalnya. Dapat dikatakan bahwa psikologi
lebih menekankan apad pendekatan internal, yaitu dari daam diri seseorang,[3]
sedangkan antropologi lebih menekankan pada aspek eskternalnya, yiatu
lingkungan. Kedua unsure ini saling terkait dan tidak dapat dipisahkan dalam
membentuk sebuah kebudayaan. Untuk memahami pola-pola kebudayaan dalam
masyarakat, seorang antropolog harus memperhatikan interaksi yang terjadi
antara kedua unsure tersebut. Sedangkan seorang psikolog juga harus
memperhatikan unsur eksternal yang membentuk sifat seseorang.
Selain
antropologi, pendekatan dalam ilmu sosiologi juga amatlah berpengaruh.
Sosiologi itu sendiri ialah ilmu masyarakat yang mempelajari tentang struktur
social yakni keseluruhan jalinan social antara kaidah-kaidah social,
kelompok-kelompok social, dan lapisan-lapisan social. Sosiologi juga
mempelajari proses social yaitu pengaruh timbal balik antara pelbagai segi
kehidupan bersama.[4]
Apabila
kita andaikan dalam suatu contoh, misalkan Masyarakat yang beriklim 4 Musim,
pada umumnya amat menghargai musim panas. Bahkan musim panas rata-rata
dijadikan sebagai musim liburan. Masyarakat yang beriklim 4 musim amat
menghargai dan memanfaatkan matahari dengan maksimal. Hal ini berbeda dengan
masyarakat yang berada di garis khatulistiwa.
Contoh
lainnya yang juga relevan ialah, kondisi masyarakat Afrika tengah yang
rata-rata di negaranya minim air. Masyarakat Afrika tengah amatlah menghargai
keberadaan sumber air. Hal ini jelas berbanding terbalik dengan
masyarakat-masyarakat yang tinggal dalam negara yang memiliki banyak supply
air.
Namun,
hal itu tidak dapat sepenuhnya dikatakan mempengaruhi cara tiap-tiap masyarakat
tersebut memahami kehidupan baik diri sendiri maupun lingkungannya. Ada begitu
banyak faktor lain yang bisa mempengaruhi cara pandang seseorang dalam memaknai
kehidupan itu sendiri.
Hal
ini dapat terlihat dalam kenyataan sehari-hari. Misalkan orang Indonesia dan
orang di seluruh dunia secara umum, pasti sama-sama memiliki keinginan untuk
ramah lingkungan. Kemudian contoh berikutnya, Misalkan orang Indonesia yang
tidak pernah merasakan musim dingin, tidak berada di wilayah perkotaan, berada
dalam wilayah geografis strategis antar benua yang berbeda dengan kondisi
geografis amerika, namun tetap mempunyai cita-cita yang sama dengan American Dreams. Sama-sama ingin
mengejar kesuksesan materialistis. Meskipun, sekali lagi, letak geografis kedua
tempat tersebut amatlah jauh berbeda.
Hal
tersebut dipicu karena adanya berbagai macam faktor yang ada dan berbeda dalam
diri masing-masing individu. Sehingga, benar memang bahwa perbedaan klimatik,
ekologi, dan geografik, dapat membuat perbedaan cara pandang bagi seorang
individu atau suatu kelompok masyarakat dalam memahami keadaaan disekitar,
kehidupan, dan lingkungannya. Namun hal itu tidaklah mutlak dan menjamin pasti
perbedaan tersebut terjadi. Semua tergantung individu masing-masing, dan
bergantung pula dengan berbagai macam faktor-faktor yang ada dan yang
mempengaruhi tiap-tiap individu.
Indonesia
merupakan negara kepulauan yang berbentuk republik, terletak di kawasan Asia
Tenggara. Indonesia memiliki lebih kurang 17.000 buah pulau dengan luas daratan
1.922.570 km2 dan luas perairan 3.257.483 km2.
Berdasarkan
posisi geografisnya, negara Indonesia memiliki batas-batas sebagai berikut
:
• Utara
: Negara Malaysia, Singapura, Filipina, Laut Cina Selatan.
• Selatan
: Negara Australia, Samudera Hindia
• Barat
: Samudera Hindia
• Timur
: Negara Papua Nugini, Timor Leste, Samudera Pasifik
Posisi
Indonesia terdiri atas letak astronomis dan letak geografis yang berbeda
pengertian dan pandangannya.
1.
Letak
Astronomis
Letak astronomis suatu negara adalah posisi letak
yang berdasarkan garis lintang dan garis bujur. Letak astronomis Indonesia
Terletak di antara 6oLU – 11oLS dan 95oBT –
141oBT Berdasarkan letak astronomisnya Indonesia dilalui oleh garis
equator, yaitu garis khayal pada peta atau globe yang membagi bumi menjadi dua
bagian sama besarnya. Garis equator atau
garis khatulistiwa terletak pada garis lintang 0o.
2. Letak geografis
Letak Geografis dan Posisi Silang
Indonesia terhadap negara lain
Letak
geografis adalah
letak suatu daerah atau wilayah dilihat dari kenyataan di permukaan bumi.
Berdasarkan letak geografisnya, kepulauan Indonesia di antara Benua Asia dan
Benua Australia, serta di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Dengan
demikian, wilayah Indonesia berada pada posisi silang, yang mempunyai arti
penting dalam kaitannya dengan iklim dan perekonomian.
A. ARTI LETAK INDONESIA di BOLA DUNIA
Letak ini sangat strategis untuk negara Indonesia, sebab tidak
hanya kondisi alam yang mempengaruhi kehidupan penduduk Indonesia, tetapi juga
lintas benua dan samudera ini berpengaruh terhadap kebudayaan yang banyak
dipengaruhi oleh kebudayaan asing, yakni dalam bidang seni, bahasa, peradaban,
dan agama dengan keanekaragaman suku-bangsa yang kita miliki. Selain
kebudayaan, Indonesia juga mendapatkan keuntungan ekonomis, seperti: pertama,
kerjasama antar negara-negara berkembang sehingga memiliki mitra kerjasama yang
terjalin dalam organisasi, seperti ASEAN (Association of Southeast Asian
Nations/Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara)[2]; kedua, seperti terlihat pada gambar di atas dapat diketahui
Indonesia sebagai inti jalur perdagangan dan pelayaran lalu lintas dunia, jalur
transportasi negara-negara lain, sehingga menunjang perdagangan di Indonesia
cukup ramai dan sebagai sumber devisa negara.
Diketahui secara geografis wilayah
Indonesia sangat luas, maka negara kita dikenal sebagai Negara Kepualauan atau
Negara Maritim. Ini terbukti dari luas wilayah Indonesia dari Sabang sampai
Merauke yang terdiri dari pulau-pulau, dengan memiliki ± 17.000 buah pulau
dengan luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan 3.257.483 km2. Dengan
wilayah Indonesia yang begitu luasnya, maka memiliki keuntungan-keuntungan,
sebagai berikut:
a)
mempermudah hubungan dengan negara lain, ikatan dagang;
b)
lalu lintas perdagangan damai dan lancar;
c)
persaingan yang menguntungkan; dan
d)
sumber daya kelautan yang berlimpah.
Keuntungan lainnya, seperti pada
keanekaragaman budaya. Ini menjadi daya tarik bagi masyarakat dunia, sehingga
Indonesia menjadi suatu wilayah salah satu tujuan utama untuk berwisata. Dengan
kecantikan alam dan keanekaragaman budaya bangsa kita, maka sektor pariwisata
menjadi salah satu sumber devisa negara.
Namun letak Indonesia ini juga mempunyai efek negatif salah satunya
adalah pada tatanan kehidupan sosial, masyarakat Indonesia dapat dengan
mudahnya terpengaruh oleh budaya luar yang diserap tanpa adanya proses
penyaringan (selektif) terhadap budaya yang negatif, sehingga akan menumbuhkan
dampak sosial yang kurang baik. Budaya negatif yang diserap tanpa proses
selektif dapat mempengaruhi masyarakat Indonesia, seperti: sifat
individualisme, dan cara pandang yang terlampau luas. Budaya negatif ini dapat
mengakibatkan rasa hormat menghormati dan sopan santun antar sesama luntur,
budaya lokal kurang dipertahankan atau mulai ditinggalkan.
Wawasan Nusantara pada dasarnya adalah klaim
kewilayahan Republik Indonesia yang sudah dimulai sejak Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945, mendapat momentum penting dengan Deklarasi Juanda 1957 dan
memuncak pada diakuinya konsep negara kepulauan (archipelagic state) dalam UNCLOS 1982. Klaim kewilayahan ini
dikonseptualisasikan sebagai “Wawasan Nusantara” yang merupakan klaim politik
kewilayahan sebagai negara kepulauan, yang artinya Indonesia bukanlah negeri
dengan pulau-pulau yang dipisahkan oleh lautan, melainkan negeri lautan yang didalamnya
terdapat pulau-pulau, yang dipahami tidak saja sebagai kesatuan politik
(wilayah kedaulatan RI), tetapi juga kesatuan sosial budaya (Bangsa Indonesia),
dan karena itu juga satu kesatuan ekonomi (perekonomian nasional) serta
kesatuan sistem pertahanan dan keamanan.
Bangsa Indonesia sebagai satu kerakyatan (volkische staat; peopledom), di mana
Bangsa Indonesia didefinisikan sebagai orang-orang yang berdiam dan
berketurunan di lautan dan daratan Indonesia, di mana lautan dan daratan
Indonesia dengan berbagai sumberdayanya merupakan sumber penghidupan bagi
Bangsa Indonesia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan berpegangan pada wawasan nusantara sebagai doktrin
geopolitik dan geostrategi Indonesia, di mana dengan 17,508 pulau yang
membentuk garis pantai sepanjang 95,181 km, dan dengan luas wilayah lautan 5,8
juta km2, sedangkan daratannya hanya 1,9 juta km2, maka Bangsa
Indonesia seharusnya menginsyafi sepenuhnya untuk memusatkan perhatian dan
kegiatannya di wilayah pesisir. Dalam rangka mewujudkan wawasan nusantara, maka
perlu dilaksanakan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP2K)
berbasis hak yang merupakan pelaksanaan dari kebijakan ekonomi lautan yang
berpihak pada orang miskin (pro-poor),
berorientasi mencipatakan lapangan kerja (pro
job), transformasi dari moda subsisten menjadi industri (pro-growth), dan akhirnya semua harus
dikelola secara berkelanjutan (pro-sustainability).
[1]
Iwan Hermawan, Geografi, Sebuah
Pengantar. (Jakarta: LIPI Press, 2009), hlm. 21
[2]
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1990), hlm.36
[3]
Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Jakarta:
Andi Publisher, 2006), hlm, 13
[4]
Selo Soemardjan, Setangkai Bunga
Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1964), hlm. 23
No comments:
Post a Comment