Dasar dan Prinsip
Pengaturan Tanah di Indonesia
Pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
telah mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Amanat tersebut kemudian dijabarkan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA). Dalam perjalanannya, UUPA yang nasionalis, populis, dan mendasarkan
pada hukum adat Indonesia tidaklah seperti tujuan pembentukannya. Berbagai
penyimpangan UUPA mendorong munculnya Ketetapan MPR No. IX Tahun 2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang merupakan landasan
peraturan perundang-undangan di bidang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber
daya alam.
Berbagai
konflik agraria, khususnya pertanahan semakin marak terjadi di berbagai daerah,
baik konflik antara rakyat dengan pemerintah, rakyat dengan perusahaan, maupun
antarindividu dalam masyarakat itu sendiri. Dari sudut hukum, muncul berbagai
pertanyaan, antara lain: di mana letak kesalahannya, apakah peraturan hukumnya
tidak memadai, ataukah penegakan hukumnya yang tidak konsisten. Setelah 50
tahun keberadaan UUPA, berbagai kalangan memandang nilai-nilai luhur UUPA belum
mampu diimplementasikan dalam kebijakan pertanahan. Pada sisi lain, sebagian
peraturan perundang-undangan yang diamanatkan pembentukannya oleh UUPA belum
juga terwujud, sementara pembentukan berbagai undang-undang sektoral yang
berkaitan dengan bidang agraria khususnya tanah, dinilai banyak kalangan telah
melemahkan UUPA karena substansinya yang tumpang tindih atau bahkan
kontradiktif dengan nilai-nilai yang diatur dalam UUPA. Hal tersebut mendorong
wacana perlunya merevisi UUPA, meski wacana tersebut menimbulkan pro dan
kontra.
Pihak
yang menolak revisi UUPA memiliki argumentasi untuk mempertahankan keberadaan
undang-undang yang dianggap monumental sejak Indonesia merdeka. Substansi UUPA
dengan konsepsi dan politik hukum yang memihak rakyat dan kepentingan nasional
masih cukup relevan. Kekurangan terhadap kebijakan pertanahan sekarang ini,
lebih dikarenakan politik hukum agraria yang diambil oleh Pemerintah, baik
dalam pembentukkan undang-undang yang berkaitan dengan sektor agraria maupun
pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait. Sedangkan pihak yang
sependapat dengan perubahan UUPA, berpendapat seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK), banyak persoalan hukum agraria khususnya
pertanahan yang belum diatur dalam UUPA. Disamping itu, sejak Indonesia merdeka
sampai dengan lahirnya UUPA, memang sudah dibuat beberapa peraturan hukum di
bidang pertanahan yang nasionalistis. Namun, hasilnya masih parsial dan
sektoral serta tidak bisa menaungi semua kebutuhan hukum yang diperlukan.
Berikut merupakan peraturan-peraturan terkait pertanahan
1. UU
No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria
a) UU
No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil
b) UU
No. 51 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak
atau Kuasanya
c) UU
No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
d) UU
No.20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di
Atasnya
e)
UU
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah
f) UU
No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum
2. UU sectoral
a) Undang-undang
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
b) Undang-undang
No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
c) UU
No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
d) UU
No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
e) UU
No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
Banyaknya
peraturan tersebut masih belum mampu mengatasi segala masalah yang ada. Kurang
baiknya pengaturan pertanahan di Indonesia telah menimbulkan beberapa
permasalahan. Berikut gambaran pokok masalah pertanahan yang sedang dihadapi
bangsa kita.
1. Tanah
adalah sumber daya yang terbatas dan saat ini di negara kita barang yang
terbatas ini dikuasai segelintir orang
dan badan usaha sehingga terjadi ketimpangan yang tinggi.
2. Dalam
usaha mencapai tujuan dari cita-cita kemerdekaan nasional diperlukan pengaturan
tata guna tanah dan ruang, baik secara nasional maupun wilayah. Pengaturan ini
harus berdasarkan pengakuan, penghormatan, dan penguatan hak-hak rakyat dan
mengupayakan mereka terus berkembang dan dapat manfaat utama dalam proses
perkembangan dari zaman ke zaman.
3. Dalam
mengatur keseluruhan wilayah pertanahan, perlu sistem hukum dan administrasi
pertanahan menyeluruh dan berjalan dengan transparan tanpa sekat-sekat
sektoralisme pertanahan. Keempat, dibutuhkan sarana yang efektif dalam
menyelesaikan masalah-masalah pertanahan khususnya konflik pertanahan yang
terus meningkat.
Menanggapi
permasalahan tersebut, pemerintah telah berusaha untuk mengatasinya termasuk
membuat sebuah Rancangan Undang-undang tentang pertanahan. Namun, RUU tersebut
masih dianggap tidak mampu mengatasi permasalahan pertanahan di Indonesia. RUU
Pertanahan dirasa belum sungguh-sungguh menghentikan sektoralisme di bidang
pertanahan dan membangun kelembagaan pertanahan yang kuat dan dipercaya
masyarakat. Lemahnya kelembagaan pertanahan yang hendak dibangun RUU ini
tecermin dari dipertahankannya kelembagaan pertanahan seperti BPN. Dengan
begitu, kewenangan tata ruang sebagai cermin utama perencanaan dan tata guna
tanah masih akan berada di Kementerian PU; informasi geo spasial masih berada
di Badan Informasi Geospasial, dan administrasi hak atas tanah di luar kawasan
hutan masih berada di BPN, sementara yang berada di dalam kawasan hutan (70
persen daratan) masih diadministrasi Kementerian Kehutanan. Seharusnya RUU ini
mengusulkan pembentukan kementerian pertanahan yang mengatur keseluruhan
perencanaan, administrasi, informasi spasial, pendaftaran dan hak atas seluruh
tanah dalam satu wadah secara nasional.
2.
Program Nawacita tentang Pertanahan
Yang menjadi salah satu
program unggulan dari kepemimpinan dari Jokowi yang dikenal dengan Nawacita adalah
berdaulat pangan. Berdaulat pangan yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi dengan
penyediaan 9 juta hektar kepada petani yang hingga saat ini belum
terealisasikan. paya khusus untuk mencapai swasembada masih jauh dari cukup.
Impor beras kembali dilakukan, sementara impor bahan pangan lainnya masih terus
terjadi.Petani juga masih bergelut dengan kemiskinan. Kemiskinan di pedesaan jauh lebih tinggi (14,7%)
dibandingkan di perkotaan (8,34%) padahal penduduk miskin di pedesaan mayoritas
adalah petani.Tak hanya dalam hal jumlah, dari tingkat keparahan dan kedalaman
kemiskinan di pedesaan juga lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Kedalaman
kemiskinan di pedesaan 2,26% sementara di perkotaan hanya 1,25%. Adapun
keparahan kemiskinan di pedesaan 0,57% sedangkan di perkotaan 0,31%. Sehingga
jika dilihat peraturan yang ada saat ini tidak bisa mendukung program dari
Presiden Jokowi ini sehingga dianggap perlu sebuah peraturan yang mendukung
program ini dengan membuat peraturan yang berpihak pada petani kecil sehingga
Indonesia tidak perlu import segala kebutuhan pokok dari luar negeri lagi.
No comments:
Post a Comment