Thursday, December 8, 2016

Pengaturan Pertanahan di Indonesia dan Program Nawacita Pertanahan Jokowi

Dasar dan Prinsip Pengaturan Tanah di Indonesia

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) telah mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Amanat tersebut kemudian dijabarkan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dalam perjalanannya, UUPA yang nasionalis, populis, dan mendasarkan pada hukum adat Indonesia tidaklah seperti tujuan pembentukannya. Berbagai penyimpangan UUPA mendorong munculnya Ketetapan MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang merupakan landasan peraturan perundang-undangan di bidang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
Berbagai konflik agraria, khususnya pertanahan semakin marak terjadi di berbagai daerah, baik konflik antara rakyat dengan pemerintah, rakyat dengan perusahaan, maupun antarindividu dalam masyarakat itu sendiri. Dari sudut hukum, muncul berbagai pertanyaan, antara lain: di mana letak kesalahannya, apakah peraturan hukumnya tidak memadai, ataukah penegakan hukumnya yang tidak konsisten. Setelah 50 tahun keberadaan UUPA, berbagai kalangan memandang nilai-nilai luhur UUPA belum mampu diimplementasikan dalam kebijakan pertanahan. Pada sisi lain, sebagian peraturan perundang-undangan yang diamanatkan pembentukannya oleh UUPA belum juga terwujud, sementara pembentukan berbagai undang-undang sektoral yang berkaitan dengan bidang agraria khususnya tanah, dinilai banyak kalangan telah melemahkan UUPA karena substansinya yang tumpang tindih atau bahkan kontradiktif dengan nilai-nilai yang diatur dalam UUPA. Hal tersebut mendorong wacana perlunya merevisi UUPA, meski wacana tersebut menimbulkan pro dan kontra.

Pihak yang menolak revisi UUPA memiliki argumentasi untuk mempertahankan keberadaan undang-undang yang dianggap monumental sejak Indonesia merdeka. Substansi UUPA dengan konsepsi dan politik hukum yang memihak rakyat dan kepentingan nasional masih cukup relevan. Kekurangan terhadap kebijakan pertanahan sekarang ini, lebih dikarenakan politik hukum agraria yang diambil oleh Pemerintah, baik dalam pembentukkan undang-undang yang berkaitan dengan sektor agraria maupun pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait. Sedangkan pihak yang sependapat dengan perubahan UUPA, berpendapat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), banyak persoalan hukum agraria khususnya pertanahan yang belum diatur dalam UUPA. Disamping itu, sejak Indonesia merdeka sampai dengan lahirnya UUPA, memang sudah dibuat beberapa peraturan hukum di bidang pertanahan yang nasionalistis. Namun, hasilnya masih parsial dan sektoral serta tidak bisa menaungi semua kebutuhan hukum yang diperlukan.
            Berikut merupakan peraturan-peraturan terkait pertanahan
1.      UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria
a)      UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil
b)      UU No. 51 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya
c)      UU No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
d)     UU No.20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya
e)      UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
f)       UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum 
2.    UU sectoral
a)      Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
b)      Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
c)      UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
d)     UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
e)      UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan

Banyaknya peraturan tersebut masih belum mampu mengatasi segala masalah yang ada. Kurang baiknya pengaturan pertanahan di Indonesia telah menimbulkan beberapa permasalahan. Berikut gambaran pokok masalah pertanahan yang sedang dihadapi bangsa kita.
1.      Tanah adalah sumber daya yang terbatas dan saat ini di negara kita barang yang terbatas  ini dikuasai segelintir orang dan badan usaha sehingga terjadi ketimpangan yang tinggi.
2.      Dalam usaha mencapai tujuan dari cita-cita kemerdekaan nasional diperlukan pengaturan tata guna tanah dan ruang, baik secara nasional maupun wilayah. Pengaturan ini harus berdasarkan pengakuan, penghormatan, dan penguatan hak-hak rakyat dan mengupayakan mereka terus berkembang dan dapat manfaat utama dalam proses perkembangan dari zaman ke zaman.
3.      Dalam mengatur keseluruhan wilayah pertanahan, perlu sistem hukum dan administrasi pertanahan menyeluruh dan berjalan dengan transparan tanpa sekat-sekat sektoralisme pertanahan. Keempat, dibutuhkan sarana yang efektif dalam menyelesaikan masalah-masalah pertanahan khususnya konflik pertanahan yang terus meningkat.
Menanggapi permasalahan tersebut, pemerintah telah berusaha untuk mengatasinya termasuk membuat sebuah Rancangan Undang-undang tentang pertanahan. Namun, RUU tersebut masih dianggap tidak mampu mengatasi permasalahan pertanahan di Indonesia. RUU Pertanahan dirasa belum sungguh-sungguh menghentikan sektoralisme di bidang pertanahan dan membangun kelembagaan pertanahan yang kuat dan dipercaya masyarakat. Lemahnya kelembagaan pertanahan yang hendak dibangun RUU ini tecermin dari dipertahankannya kelembagaan pertanahan seperti BPN. Dengan begitu, kewenangan tata ruang sebagai cermin utama perencanaan dan tata guna tanah masih akan berada di Kementerian PU; informasi geo spasial masih berada di Badan Informasi Geospasial, dan administrasi hak atas tanah di luar kawasan hutan masih berada di BPN, sementara yang berada di dalam kawasan hutan (70 persen daratan) masih diadministrasi Kementerian Kehutanan. Seharusnya RUU ini mengusulkan pembentukan kementerian pertanahan yang mengatur keseluruhan perencanaan, administrasi, informasi spasial, pendaftaran dan hak atas seluruh tanah  dalam satu wadah secara nasional.


2.    Program Nawacita tentang Pertanahan


Yang menjadi salah satu program unggulan dari kepemimpinan dari Jokowi yang dikenal dengan Nawacita adalah berdaulat pangan. Berdaulat pangan yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi dengan penyediaan 9 juta hektar kepada petani yang hingga saat ini belum terealisasikan. paya khusus untuk mencapai swasembada masih jauh dari cukup. Impor beras kembali dilakukan, sementara impor bahan pangan lainnya masih terus terjadi.Petani juga masih bergelut dengan kemiskinan. Kemiskinan di pedesaan jauh lebih tinggi (14,7%) dibandingkan di perkotaan (8,34%) padahal penduduk miskin di pedesaan mayoritas adalah petani.Tak hanya dalam hal jumlah, dari tingkat keparahan dan kedalaman kemiskinan di pedesaan juga lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Kedalaman kemiskinan di pedesaan 2,26% sementara di perkotaan hanya 1,25%. Adapun keparahan kemiskinan di pedesaan 0,57% sedangkan di perkotaan 0,31%. Sehingga jika dilihat peraturan yang ada saat ini tidak bisa mendukung program dari Presiden Jokowi ini sehingga dianggap perlu sebuah peraturan yang mendukung program ini dengan membuat peraturan yang berpihak pada petani kecil sehingga Indonesia tidak perlu import segala kebutuhan pokok dari luar negeri lagi.

No comments:

Post a Comment